Inspiratif

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

faedah kisah julaibib

KONSEP CINTA (Renungan Kisah Julaibib bag.1) Akhi...tahukah engkau tentang konsep cinta hakiki? Mungkin selama ini, realita saat ini, konsep cinta yang sering kita saksikan identik dengan uang, intrik, putus-nyambung yang tak jelas, romantis dan air mata yang dipaksakan, perceraian, perselingkuhan, retak, ruwet, menyakitkan, buta, dan gelap. Konsep-konsep cinta yang indah dan penuh dinamika perjuangan hanya ada dalam film, sinetron, novel, cerita fiksi, bayangan kawula muda, khayalan pujangga, dan dendangan para penyair. Konsep cinta pun seolah menyakitkan. Pahit. Atau, indah dalam khayalan. Maka, jika engkau bertanya, adakah konsep cinta hakiki dalam dunia nyata, inilah jawabannya! Inilah kisah yang memuat konsep cinta hakiki, terlahir dari relung hati, tanpa paksaan, dan terikat benang Ilahi. Kisah ini bermula saat Rasulullah iba melihat salah seorang shahabatnya. Julaibib namanya. Ia adalah manusia yang tak pernah dirasakan keberadaannya, meskipun di zaman shahabat sekalipun. Perawakannya kerdil. Warnanya bagaikan arang. Wajahnya diungkapkan dalam bahasa Arab dengan lafaz "damim". Artinya bukan sekedar buruk rupa. Tapi buruk rupa yang mengerikan. Karenanya orang-orang tak berminat berdekat-dekat dengannya. Bahkan sekedar untuk mengingatnya. Apalagi menanyakan kabarnya. Atau merasakan segala gejolaknya. Keberadaannya bagaikan tiada. Ia itu miskin, kusut, dan tak memiliki nasab yang jelas. Ia terasing, walau di negri sendiri. Meskipun di zaman terbaik, zaman shahabat. Rasa iba Rasulullah menjadi berkuadrat karena Julaibib tak pernah memerdulikan keterasingannya. Ia acuh atas sikap manusia kepadanya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara memenuhi panggilan Allah untuk shalat. Bagaimana cara memenuhi panggilan Rasulullah untuk berjihad. Itu saja! Hingga akhirnya, rasa iba menggerakkan kaki Rasulullah yang mulia untuk berkunjung ke rumah salah seorang shahabat Anshari. "Sahabat, maukah engkau nikahkan putrimu?" tanya Rasulullah. "Sungguh!? Betapa mulianya tawaran darimu, duhai Rasulullah," jawab Anshari. "Namun bukan untukku." "Lantas?" "Sahabatku. Julaibib." Mendengar nama Julaibib, Anshari bagaikan terserang demam tingkat tinggi. Lesu bukan main. Semangat nan riang yang tadi terpancar indah dari wajahnya seolah menjadi mendung dan gelap. Saking gelapnya, ia sampai tak sadar bahwa yang meminang untuk Julaibib Rasulullah sendiri. Padahal, apakah pantas rekomendasi Rasulullah ditolak? Begitulah. Bukan salah Anshari —juga Istrinya nanti—. Namun karena jeleknya image Julaibib sampai membuat Anshari lupa bahwa yang datang meminang adalah Rasulullah sendiri. Dan kemungkinan besarnya Allah mengampuni shahabat tadi. Sebab kesalahan seseorang saat batinnya tidak karuan, seperti terlalu gembira, terlampau sedih, begitu tertekan, dan semisalnya akan diampuni oleh Allah. Terlebih ia —juga istrinya— adalah shahabat Rasulullah. Bukankah orang yang saking gembiranya berkata, "Ya Allah, Engkau hambaku sedang aku adalah rabb-Mu" diampuni oleh Allah!? Rasulullah pun manusia bijak bestari. Beliau paham shahabatnya. Memang butuh ketegaran sebesar-besarnya untuk menerima Julaibib masuk ke dalam anggota keluarganya. Makanya, saat Anshari berkata, "Bolehkah aku musyawarahkan kepada ibunya terlebih dahulu, wahai Rasulullah,"--tentu ekspresi pesimis--, Rasulullah mengiyakan dan pamit pulang. "Hah! Julaibib!? Aneh!" teriak sang istri Anshari mendengar berita yang dibawa sang suami. Ia tidak bisa membayangkan putrinya yang cantik jelita, ayu menawan bersanding dengan si "damim". "Aneh! Pokoknya aneh!" Bahkan sang istri mengucapkan kata 'aneh' sampai tiga kali. Dari balik kamar, ternyata sang putri mendengar percakapan kedua orang tuanya. Sang putri terlihat cemas, gusar, galau. "Ayahanda..Ibunda..," kata sang putri sesaat sebelum ayahnya beranjak menemui Rasulullah hendak menyampaikan permohonan maaf tidak bisa menerima lamaran beliau. Ternyata sang putri mendengarkan percakapan kedua orang tuanya tanpa sepengetahuan keduanya. Dari tadi ia terlihat cemas, gusar, galau. "Pantaskah kita menolak pinangan Rasulullah?" Ayah Ibunya terdiam. Dramatis! Kata-kata itu tepat membasahi kalbu beliau berdua. Menyadarkan bahwa apa yang hendak mereka berdua lakukan kurang tepat. Kurang diberkahi. "Jika beliau ridha dengan pilihan tersebut, bukankah sebaiknya engkau berdua nikahkan aku saja dengan lelaki itu," lanjut sang putri meyakinkan. "Rasulullah tidak akan pernah menyia-nyiakanku." Luar biasa! Rangkaian kata yang tidak keluar kecuali dari kalbu mukmin, shadiq, hazim. Seketika kedua orang tuanya pun tersadar. "Engkau benar, putriku." Maka diberlangsungkanlah pernikahan antara Julaibib dengan Sang Putri. (bersambung, in sya Allah...) Buah goresan: Abu 'Uzair Khairul Huda (thalib Ma'had Daarus Salaf, SKH) Dikutip dari: Majalah santri Al Mufid Sumber Refrensi: -Shahih Muslim -Musnad Ahmad -Shahih Ibnu Hibban HIDUP TAK DISEBUT, WAFAT SEMERBAK HARUM NAMANYA (Kisah Julaibib bag.2/akhir) Jika kita merasa hidup kita sengsara, seharusnya kita malu dengan Julaibib. Sesengsara-sesengsaranya kita, coba bandingkan dengan...ah, janganlah! Memang tabiat kita suka mengeluh. Tidak mau disalahkan! Selalu bersembunyi di balik kalimat: 'tapi kan–tapi kan'. Selepas peristiwa menggegerkan Julaibib dengan sang putri Anshari itu — setidaknya menggegerkan menurut kita —, tetap saja Julaibib tak dikenal. Mungkin berbeda dengan kita kalau dapat anak juragan herbal kaya raya yang cantiknya bukan buatan. Atau, kalau dapat anak ustadz kondang yang sering safari dakwah hampir ke seluruh pelosok nusantara. Kadang-kadang kita terkena sindrome sok terkenal menumpang figur mertua kita. Astaghfirullah! Julaibib? Tetap dalam keterasingan. Waktu itu, kaum muslimin baru saja mendapatkan kemenangan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Tiba-tiba saja Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, "Tidakkah kalian kehilangan seseorang?" Serta merta para shahabat berebutan menjawab seolah yang mereka sebutkan namanya akan mendapat kabar gembira dari beliau, "Iya, iya, ya Rasulullah. Aku kehilangan si Fulan dan si Fulan." Rasulullah bergeming dari jawaban mereka, "Tidakkah kalian kehilangan seseorang?" "Saya, saya, ya Rasulullah. Saya kehilangan si Fulan dan si Fulan," para shahabat dengan sangat antusias menjawab dengan seribu satu harapan dari Rasulullah. Namun beliau tetap bergeming. Tetap menyiratkan wajah terpukul kehilangan. Dengan nada parau, beliau ulangi pertanyaan beliau, "Tidakkah kalian kehilangan seseorang?" Suasana menjadi hening. Para shahabat yang tadinya sangat antusias sekarang terdiam seribu bahasa merasa bersalah. Mereka merasa, semakin mereka menjawab, akan semakin membuat Rasulullah sedih dan terpukul. Maka Rasulullah tidak sanggup lagi menahan kesedihannya, "Aku kehilangan Julaibib." Deg.!! Mereka baru sadar bahwa di tengah-tengah mereka ada yang bernama Julaibib. Seketika nama itu benar-benar menohok hati para shahabat. Seakan mereka ingin mengutuk diri sendiri akibat lancang terhadap seseorang yang sangat dimuliakan Rasulullah. Mereka benar-benar ingin menangis. Menangisi diri sendiri. "Tolong carikan shahabatku Julaibib," pinta Rasulullah sendu. Segera para shahabat mencari Julaibib demi menebus kesalahan mereka. Akhirnya para shahabat menemukan jasad beliau berada di tengah bangkai tujuh orang musyrik. Rasulullah bersabda, "Dengan hebat dia membunuh tujuh musyrik ini, mereka pun membunuhnya." Setelah bersabda demikian, Rasullah semakin terisak-isak. Menambah suasana semakin sedih, mengharu biru, dan menyayat hati para shahabat yang semakin merasa bersalah. Dengan tangannya yang mulia, Rasulullah mengangkat kepala Julaibib dan menyandarkannya ke dada Rasulullah. "Sungguh Julaibib dariku dan aku dari Julaibib." Rasulullah terus mendekap Julaibib yang membuat para shahabat semakin menangis tersedu-sedu, sembari menunggu shahabat selesai menggali liang kubur untuk beliau. Julaibib, semoga Allah meridhainya. Sangat indah perjalanan beliau. Hidup tak disebut, meninggal semerbak wangi namanya. Bagaimana istri beliau? Disebutkan beliau adalah janda paling dermawan sekota Madinah. Janda? Iya, kawan. Pergaulan Julaibib kepada istri beliau sangatlah menyenangkan. Membuat istri beliau tidak ingin menikah lagi setelah wafatnya. Berharap tetap menjadi istri Julaibib di Surga kelak. Sumber Refrensi: - Shahih Muslim. - Musnad Ahmad. Buah Goresan: Abu Uzair Khairul Huda (kelas 10) KASYAF telegram.me/karyasyababdaarussalaf =====*****===== Publikasi: WA Salafy Solo Channel Salafy Solo https://bit.ly/salafysolo Jumadal Ula 1437 H Di publikasikan oleh : Tholibul Ilmi Cikarang Pada, . Ahad 05 Jumadil Awwal1437H/14 February 2016 M jam 17.35 wib
9 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah yang menakjubkan : "buah dari menunaikan amanah"

KISAH MENAKJUBKAN NAN MENGHARUKAN Kisah ini terjadi pada salah satu ulama ahli hadits, beliau adalah Al Qadhi Muhamad bin Abdul Baqi Al Anshari Al Bazzar, beliau dikenal dengan julukan Qadhi Al Marastan, beliau meninggal pada tahun 535 Hijriyah. Kisah ini benar-benar menakjubkanku dan juga mengharukan. Padanya terdapat pelajaran yang banyak yang bisa kita petik dari kisah tersebut. Nah, penasaran kan? Ayo kita simak bersama-sama kisah ini! “BUAH DARI MENUNAIKAN AMANAH” Dikisahkan, pada suatu hari beliau sedang berada di Mekkah, . bertepatan dengan musim haji. Pada saat itu, beliau kehabisan bekal, tidak memiliki harta sedikitpun dari harta dunia. Suatu hari, beliau ditimpa oleh rasa lapar yang luar biasa. Beliau akhirnya keluar untuk mencari sepotong roti atau sesuatu yang dapat mengganjal perutnya dari rasa lapar. Tiba-tiba beliau menemukan sebuah bungkusan dari kain sutra berwarna merah yang terjatuh di tanah. Beliau mengambil bungkusan tersebut dan membukanya. Beliau mendapatkan didalamnya sebuah kalung yang berharga terbuat dari permata, diperkirakan kalung tersebut senilai 50 ribu dinar. Beliau pun segera mengikatnya kembali dan menyimpannya. Tatkala beliau sedang menyusuri perjalanannya, tiba-tiba ada seorang laki-laki berteriak-teriak kehilangan kalung. Dia berteriak-teriak kepada manusia bahwa dia telah kehilangan bungkusan yang terbuat dari kain sutra. Dia menjanjikan bahwa barangsiapa yang menemukannya maka akan diberi hadiah 50 dinar. Al Qadhi pun bertanya kepada orang tersebut tentang isi bungkusan tersebut. Dia pun menjawab bahwa didalamnya terdapat sebuah kalung permata yang mahal. Kemudian beliau bertanya tentang ciri-ciri bungkusannya kepada orang tersebut. Ketika orang tersebut telah mengkabarkan ciri-ciri bungkusan kalung tersebut dengan benar, maka Al Qadhi bersegera mengembalikan bungkusan yang ia temukan kepada orang tersebut. Orang tersebut kemudian mengeluarkan 50 dinar dan diserahkan kepada Al Qadhi, namun beliau enggan menerimanya, sembari berkata: “Tidak sepantasnya bagiku mengambil upah dari barang temuan yang aku temukan dan aku kembalikan kepada pemiliknya. Sesungguhnya aku mengembalikan kalung ini kepadamu bukan karena aku berkeinginan besar untuk mendapatkan hadiah, tetapi aku berkeinginan besar untuk mendapatkan keridhoan Rabb-ku. Sungguh luar biasa! Beliau enggan menerima hadiah tersebut,  padahal beliau sedang dalam keadaan ditimpa kelaparan dan belum mendapatkan sepotong roti yang kering yang bisa mengganjal perutnya dari kelaparan. Pemilik bungkusan tersebut akhirnya mendoakan kebaikan untuk beliau, lalu pergi meninggalkannya. Al Qadhi Al Muhaddits menetap beberapa hari di Mekkah, kemudian beliau putuskan untuk pergi naik kapal, barangkali bisa menemukan sesuatu yang bisa dijadikan modal. Tatkala beliau berada ditengah laut, tiba-tiba datanglah badai, mengombang-ambingkan kapal beliau, sampai akhirnya badai tersebut menghantam dan menghancurkan kapal serta menenggelamkannya. Al Qadhi bertaut pada sebuah papan pecahan perahu. Beliau terus bertautan dengannya, sedangkan ombak terus mengombang-ambingkan beliau selama beberapa hari ditengah laut, sampai akhirnya menghempaskan beliau ke daratan. Sungguh-sungguh beliau telah kehabisan tenaga dan tertimpa keletihan yang sangat. Beliau berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan menyeret tubuhnya hingga sampai di sebuah masjid. Setelah tiba didalam masjid, beliau tersungkur jatuh karena keletihan dan kelaparan. Beliau tidak tahu tempat apa yang dia singgahi ini, dan tidak pula mengenal seorang pun dari penduduk tempat tersebut. Datanglah seorang penduduk dan masuk kedalam masjid, dan tatkala dia melihat Al Qadhi, lalu dia mendekatinya dan bertanya tentang keadaan beliau. Beliau pun menceritakan apa yang telah menimpa beliau. Setelah beliau menceritakan kisahnya, orang tersebut menghidangkan makanan dan minuman serta pakaian untuk menghangatkan badan. Orang tersebut mengkabarkan bahwa penduduk negeri ini sedang mencari orang yang bisa dipekerjakan sebagai imam shalat di dalam masjid ini. Dan ketika Al Qadhi menyampaikan bahwa dia telah hafal Al Quran, maka bersegera penduduk negeri tersebut mempekerjakan beliau untuk menjadi imam masjid. Dan ketika mereka tahu bahwa beliau pintar menulis, maka mereka bersegera mempekerjakan beliau untuk juga menjadi guru untuk mengajari anak-anak mereka. Beliau berkata: “Akhirnya aku pun mendapatkan uang dari pekerjaan tersebut, kini keadaanku jauh lebih baik”. Suatu hari, penduduk negeri datang menemuiku, mereka berkata: “Sesungguhnya kami memiliki anak perempuan yang yatim, kami ingin menikahkan dia denganmu.” Mereka terus mendesakku, dan akhirnya aku pun setuju. Tatkala mereka membawaku masuk untuk menemui anak perempuan tersebut, aku melihat sebuah kalung mutiara yang indah melingkar di lehernnya. Aku tidak dapat mengedipkan mataku memandangi kalung tersebut, aku benar-benar dalam keadaan bingung dan heran. Kalung tersebut adalah kalung yang aku temukan di Mekkah. Tatkala aku masih terus memandang kalung tersebut, tiba-tiba saja anak perempuan tersebut lari keluar sambil menangis terisak-isak. Ia berkata kepada penduduk negeri,  “Sesungguhnya dia (Al Qadhi) tidak ingin melihat wajahku, dia hanya mengangkat pandangannya ke kalung yang tergelantung didadaku.” Keesokan harinya, ketika aku selesai mengimami mereka shalat Shubuh, mereka menyampaikan kepadaku tentang keluhan anak perempuan itu. Aku pun menceritakan kepada mereka,  bahwa dulu aku menemukan kalung itu tergeletak di tanah di Al Masjidil Haram terbungkus oleh kain sutra berwarna merah, kemudian aku kembalikan kepada pemiliknya. Tiba-tiba saja mereka semua bertakbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!”, Masjid bergema, sampai-sampai masjid terasa bergetar disebabkan oleh takbir-takbir mereka. Kemudian mereka menceritakan kepadaku, bahwa pemilik kalung tersebut adalah ayah dari anak perempuan yang yatim tersebut, dia tidak memiliki anak selain dia. Dahulu ayahnya menjadi imam shalat di masjid ini. Dia sudah meninggal dunia pada tahun yang lalu. Semenjak dia pulang dari ibadah haji, dia tidak pernah berhenti berdoa dengan doa ini, dan kami pun men-amin-kan dibelakangnya: “Wahai Rabb-ku, aku tidak pernah mendapatkan seorang pun semisal orang yang menemukan kalungku, Wahai Rabb-ku, pertemukanlah aku dengannya, sehingga aku bisa menikahkan dia dengan anak perempuanku satu-satunya!” “Sungguh Allah telah mengkabulkan doanya, Allah telah mendatangkanmu kesini dan menikahkanmu dengan anak perempuannya, meskipun setelah ayahnya meninggal.” INILAH BALASAN DARI PENUNAIAN AMANAH DAN  KEMURNIAN DIRI. Sumber: “Mir’aatuz Zamaan Fi Tarikhul A’yan”. Diringkas oleh Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Sungguh kisah ini terkandung didalamnya faedah bahwa tidak boleh menerima hadiah dari penunaian sebuah amanah, karena wajib baginya mengembalikan suatu amanah tanpa upah balasan, hal ini jika dia mengambil barang temuan tersebut tidak diniatkan untuk mendapatkan upah yang telah dipersyaratkan. Telah ternukil dari Imam Ahmad -semoga Allah meridhoinya- bahwa termasuk yang semisal ini adalah wadhi’ah (barang titipan). Tidak boleh bagi orang yang mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya mengambil hadiahnya, kecuali jika memang dia niatkan (dari amalannya) untuk mendapatkan upah.” Berkata Ibnu Rajab rahimahullah: “Demikian pula dikisahkan kisah ini oleh Yusuf bin Khalil Al Hafizh dalam kitabnya ‘Al Mu’jam”. Semoga kisah ini banyak memberikan faedah yang bermanfaat untuk kita semua. Barakallahu fikum. Lihat: Dzail Thabaqat Al Hanabilah: 1/434. Siyar A’lam An Nubala: 20/23. Syadzarat Adz Dzahab 4/108.  Alih bahasa: Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi. ~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~ WA. Permata Muslimah Salafiyyah إتباع السنة  Ittiba’us Sunnah http://ittibaus-sunnah.net/kisah-menakjubkan-nan-mengharukan/ Kajian terkait :
9 tahun yang lalu
baca 11 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

antara anak, orang tua dan ma'had (sebuah renungan)

ANTARA ANAK, ORANG TUA, DAN MA'HAD # Sebuah Renungan # 1. Pada asalnya, anak adalah tanggung jawab orang tua, termasuk dalam hal pendidikan mereka. Ma’had dengan berbagai kekurangan yang ada bukanlah pembimbing utama, melainkan hanya membantu orang tua untuk mencetak anak yang saleh. Ketika anak disekolahkan di ma’had, secara tidak langsung orang tua telah memberikan kepercayaan kepada ma’had. Apabila hal ini disadari, tentu ada beberapa konsekuensi dari rasa percaya orang tua terhadap ma’had. Yang terpenting di antaranya ialah adanya kerja sama yang baik guna mendukung perkembangan belajar anak. 2. Peraturan yang dikeluarkan oleh ma’had adalah salah satu bentuk kasih sayang dan kepedulian ma’had terhadap anak. Perlu diketahui, peraturan tersebut merupakan hasil musyawarah asatidzah yang ada di ma’had, bukan hasil pemikiran individual. Maka dari itu, harus ada kesepahaman dan dukungan dari orang tua agar peraturan yang dibuat dapat berjalan efektif. Contoh, larangan penggunaan motor, hp, dan internet, baik di rumah ataupun di ma’had. 3. Keluarnya ST (Surat Teguran) atau SP (Surat Peringatan) bagi santri adalah hasil musyawarah yang panjang dari asatidzah di ma’had. Oleh karena itu, selayaknya orang tua mendukung dan husnu zhan dengan ketetapan tersebut sehingga bisa menjadi terapi yang efektif bagi anak. Selain sebagai terapi bagi pelaku, ST atau SP juga bermanfaat guna meminimalisir efek buruk yang bisa menulari santri lain yang relatif masih baik perilakunya. 4. Orang tua diminta lebih peduli terhadap proses pendidikan anaknya. Bukankah tujuan orang tua mencari maisyah adalah untuk maslahat keluarga? Adalah sangat naif jika kepentingan mencari maisyah sampai mengalahkan perhatian terhadap pendidikan anaknya. Salah satu indikator rendahnya kepedulian orang tua terhadap anak adalah minimnya pemeriksaan dan penandatanganan Buku Komunikasi. Bahkan, dalam sebuah kelas, tidak sampai 20% orang tua yang mengecek dan menandatangani Buku Komunikasi putra/putrinya. Akhirnya, orang tua . pun tidak tahu perkembangan pelajaran anak, sampai mana hafalan anaknya, apa saja yang terjadi pada anak di sekolah hari itu, pesan apa saja yang disampaikan oleh guru, dll. Karena itu, orang tua diharapkan lebih intensif lagi ikut mengiringi dan memberikan perhatian pada proses pendidikan anaknya, mengecek hasil pelajaran yang didapat di sekolah, dan membantunya jika ada kesulitan dalam memahami pelajaran. Hindarkan kesan bahwa ketika anak sudah masuk ma’had, orang tua sudah tidak lagi bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Ini anggapan yang perlu diluruskan. Di antara bentuk kepedulian terhadap pendidikan anak, orang tua dan guru memberi teladan yang baik dalam kehidupan keseharian. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap sisi kejiwaan anak. Masih terngiang di benak kita, nasihat asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari di masjid al-Anshar ini beberapa tahun yang lalu. Beliau menceritakan, ketika berdakwah di Prancis, ada seorang ayah yang mengeluhkan tingkah laku anaknya. Sebelum menjawab, beliau bertanya terlebih dahulu kepadanya, “Apa yang sudah Anda lakukan untuk kebaikan diri Anda? Sudahkah Anda belajar agama? Sudahkah Anda beribadah dengan benar? Sudahkah… sudahkah….” dst. Ya, kesalehan seorang anak sangat dipengaruhi oleh faktor kebaikan dan kesalehan kedua orang tuanya. Di antara bentuk kepedulian terhadap anak ialah kebijakan yang selaras dari abi dan ummi. Abi dan ummi tidak boleh berselisih tentang sebuah aturan tertentu terkait dengan anak ketika di rumah. Misal, abi melarang anak melakukan sesuatu, tetapi ummi membolehkannya; atau sebaliknya. Efeknya, anak kurang menghormati kedua orang tuanya. Di antara bentuk kepedulian terhadap anak, ketika timbul perbedaan pemahaman antara orang tua dan ma’had tentang sebuah masalah, adalah tidak bijak untuk memberitahu atau membiarkan anak mengetahuinya. Sebab, hanya efek negatif yang akan didapat. Bisa jadi, anak akan berpihak kepada orang tua dan kehilangan kepercayaan terhadap ma’had (baca: guru); ini tentu buruk. Bisa jadi pula, anak akan berpihak kepada guru dan kehilangan kepercayaan terhadap orang tua; dan ini lebih buruk dari yang pertama. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, hendaknya orang tua selalu mendoakan anaknya agar menjadi anak yang saleh. Patut kita sadari, merekalah sebenarnya harta kita. Apabila mereka menjadi anak yang saleh, merekalah yang akan mendoakan kita setelah wafat. Pun demikian bagi para guru, tidak ada yang lebih membahagiakan mereka selain melihat anak didiknya menjadi generasi yang saleh, memiliki adab yang sempurna, muamalah yang baik, serta mengerti hak dan kewajiban sebagai seorang muslim. Tidak ada yang diinginkan dari semua itu, kecuali bahwa para guru juga ikut mendapatkan pahala dari kebaikan yang diamalkan oleh anak didik mereka. (Ringkasan taushiyah al Ustadz Syafruddin pd acara penerimaan rapor Ramadhan 1435 H, tahun lalu) Dikirim dari seorang ikhwan, Al-Akh Abu Abdillah Aris
9 tahun yang lalu
baca 6 menit

Tag Terkait