Literasi menurut KBBI adalah kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang mencakup membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah literasi di Indonesia pada zaman kemerdekaan dulu sangat mengkhawatirkan, hanya 2% dari penduduk negeri ini yang bisa membaca, sedangkan 98% lainnya dinyatakan buta huruf.
Anggaran negara yang dialokasikan untuk memberantas buta aksara pun diklaim minim karena keterbatasan ekonomi pada masa itu.
Bahkan, seorang Presiden Soekarno pernah berjalan kaki untuk mengajari orang membaca dalam rangka pemberantasan buta huruf.
Sekarang yang terjadi justru kebalikannya.
Menurut survei terkini, 96% warga Indonesia sudah bebas dari buta huruf dan 4% lainnya masih berjuang dengan keterbatasan.
Sekilas, kalau melihat perbandingan angka dulu dan sekarang, kita bisa mengatakan itu adalah pencapaian yang bagus.
Namun, kenyataannya tidak begitu.
Menurut survei di tahun 2021, literasi Indonesia menempati urutan ke 62 dari 70 negara yang terdata.
Selain itu, data UNESCO menyebutkan bahwa tingkat minat membaca di Indonesia hanya sekitar 0.001%, artinya dari 1.000 orang, hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca. Hasil survei tersebut cukup memprihatinkan.
Tingkat literasi yang rendah di negara kita memang masih menjadi masalah serius.
Ini sangat berpengaruh pada perkembangan suatu negara.
Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat literasi di Indonesia, seperti,
Namun, jika kita melihat dari sudut pandang agama, khususnya menoleh pada ajaran dakwah salafy, literasi tidak pernah lepas dari keseharian mereka.
Baca-tulis-menghafal adalah bagian integral dari hidup mereka.
Hari-hari mereka diisi dengan mengkaji kitab, menulis faedah, berdakwah, mengajarkan ilmu, menyusun kitab, berfatwa, dan sejenisnya.
Islam sebetulnya adalah agama yang erat kaitannya dengan literasi.
Jika kita menilik sedikit rekam jejak literasi dalam dakwah ahlus sunnah, ada baiknya kita mulai dengan meninjau contoh dan teladan dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di samping berkhutbah dan menyampaikan ilmu secara lisan kepada para shahabat dan selainnya, beliau juga berdakwah melalui tulisan.
Beliau acapkali membuat surat-surat yang berisi ajakan dakwah pada para pemimpin dan penguasa dunia masa itu.
Para shahabat pun juga demikian.
Mereka menghafal hadits Rasul, menyampaikannya, menyebarkannya, mengkaji, dan menulisnya.
Selanjutnya, mari kita tengok bersama cuplikan demi cuplikan dari kalangan para generasi emas sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Total jumlah lembar kertas yang dihabiskan oleh at-Thabari untuk menulis karya sejak lahir sampai wafat mencapai sekitar 60 halaman sehari atau bahkan lebih. Ini adalah dedikasi yang luar biasa dalam literasi.
Para salaf tidak hanya menulis, mereka juga berjuang untuk mengkaji ilmu semalam suntuk, membaca di tempat minim cahaya, berjuang mencari alat tulis hingga berakhir menulis pada tulang hewan atau pelepah kurma.
Semua ini adalah bukti nyata dari komitmen mereka terhadap literasi dalam mendukung dakwah dan agama Rabbul Izzah.
Kita masih memiliki banyak kemudahan di zaman ini, seperti akses mudah ke buku, artikel dakwah di berbagai situs salaf, dan alat tulis yang tersedia secara melimpah.
Kesimpulannya, Islam dan literasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Seorang muslim yang benar-benar beriman akan aktif dalam berliterasi.
Literasi adalah senjata terkuat manusia, dan ini bisa dicapai dengan mengkaji dan belajar, serta membiasakan diri menulis dan membaca.
Literasi adalah alat krusial yang digunakan para salaf untuk menyiarkan agama. Itulah mengapa kita juga harus bersungguh-sungguh dalam literasi.
Cara memulainya adalah dengan memahami bahwa literasi dan thalabul ilmi adalah bagian dari ibadah.
Mari mulai dari diri sendiri, lalu sekitar kita.
Biasakan membaca, manfaatkan fasilitas untuk membaca, dan latih diri untuk menganalisis masalah serta menyampaikan ilmu.
Semua ini memerlukan usaha, namun itulah esensi ibadah. Semakin berat perjuangannya, semakin besar pahala yang menanti.
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak semua saudara-saudara muslim untuk bersama-sama memantapkan hati dan berkolaborasi dalam memajukan literasi melalui thalabul ilmi di seluruh Indonesia.
Semua ini adalah bagian dari dakwah yang sangat dibutuhkan, dan dakwah butuh orang-orang seperti kita yang memiliki semangat literasi.
Mari kita mulai dengan niat ikhlas untuk meneladani Rasul-Nya dalam hal ini, karena meneladani beliau adalah kewajiban setiap insan.
Terakhir, bijaklah dalam berekspresi dan berbahasa.
Kata-kata memiliki pengaruh besar, baik dalam membentuk diri kita maupun dalam menyampaikan pesan dakwah.
Literasi adalah alat yang kita gunakan untuk menyebarkan agama Allah.
Semua yang kita tulis, katakan, dan bagikan haruslah menjadi bagian dari upaya kita untuk menunjukkan kebenaran.
Dakwah membutuhkan orang-orang yang paham akan pentingnya literasi, orang-orang yang hobi menulis dan membaca, serta orang-orang yang siap mengembangkan bakat ini untuk kebaikan umat dan agama.
Terakhir, saya ingin mengutip kata-kata bijak,
“Aku mendengar sendiri isi kitab ini. Aku sendiri yang menulis dengan tanganku. Tanganku akan hancur sementara kitab ini akan tetap ada.” Sahnun (Abdussalam bin Said bin Habib).
Ini adalah inspirasi bagi kita untuk terus menulis dan meningkatkan literasi sebagai warisan yang akan tetap ada bahkan setelah kita tiada.