Suatu subuh, di negeri Yaman, kupasang cerita di aplikasi WhatsApp bertuliskan tentang cita-cita, pada akhir kalimat, kutuliskan,
“Apa cita-citamu kawan?”
Ternyata saat itu, engkaulah yang paling pertama berkometar menanggapi pertanyaan itu, “Hidup di Makkah dan meninggal di sana.”
Alhamdulillah, Allah mengabulkan doamu itu, Kawan! Meskipun, hati bersedih dan air mata bercucuran karena ditinggalkanmu, tetapi kita tidak mengucapkan kecuali yang Allah ridhai.
Aku mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا أراد الله قبض عبد بأرض جعل له بها حاجة
“Jika Allah hendak mewafatkan seorang hamba, Allah akan menunjukkan dia ke tempat tersebut karena satu kebutuhan.”
Hari ini, Selasa 3 Oktober 2023, kepergianmu baru saja diketahui.
Lima hari sebelumnya, aku pamit untuk mengantar jamaah umrah ke Madinah, ternyata itu merupakan perjumpaan kita yang terakhir, kutitipkan pesan saat itu
أستودكم الله لا تضيع ودائعه
Engkaupun membalasku dengan jawaban dengan doa mukim bagi musafir yang seolah itu merupakan pesan terakhirmu, “Hati-hati di jalan!”, sembari bersalaman.
Aku tahu engkau adalah seorang pemuda yang giat dalam ibadah, engkau habiskan waktumu di Masjid Al-Haram.
Saat subuh kubangun pukul 04:00 menuju kamar mandi, selalu saja sandalmu di depan kamar sudah tak ada lagi, kakimu sudah kau langkahkan ke Masjidil Haram untuk bersujud dan menghadap Rabbmu.
Rutinitas itu selalu engkau lakukan dan tak pernah engkau tinggalkan.
Pernah suatu hari kita berjalan menuju lantai 3 Masjidil Haram, engkau menyeletuk,
“Ana kalau lihat pemandangan manusia sebanyak ini, teringat bagaimana, ya, kita nanti di padang mahsyar yang dikumpulkan dari orang pertama sampai terakhir.”
Demikianlah ungkapanmu kepadaku, semangatmu untuk membantu sesama kawan merupakan kebiasaan baikmu yang selalu teringat, engkau selalu memberikan bantuan sebelum diminta, memberikan perantara untuk memudahkan saudaramu dan saran-saranmu yang sangat membangun.
Beberapa hari sebelum hilangnya kabarmu, engkau selalu mengulang tekadmu itu. Obrolan terakhir yang terekam adalah pesanmu, “Aku mau tinggal di Makkah dan Madinah saja”.
***
Malam Selasa sehabis shalat Maghrib, kurebahkan badanku di Masjid Nabawi, pesan teks dan telepon masuk dari seorang kawan di Bogor, ia menyampaikan,
“Tolong sampaikan ke Abdurrahman suruh telepon istrinya!”.
Pesan itu baru kujawab di pagi hari karena kelelahanku malam itu.
Akhirnya, aku menyampaikan kepada kawan yang kamarnya tak jauh dari kamar Abdurrahman.
***
Begini bunyi obrolan kami,
Abu Zur’ah: “Man, Abdurrahman lagi ngapain sih, dihubungi nggak bisa-bisa?”
Luqman: “Wah! Nggak tau juga, ya, ana terakhir jumpa Sabtu kemaren.”
Abu Zur’ah: “Beliau belum pulang kelihatan, kah?”
Luqman: “Sandalnya ada dua-duanya di luar”
Abu Zurah: “Coba antum ketok-ketok. Masalahnya, istri beliau nanya terus lewat perantara.”
Luqman: “Antum udah coba nelpon? Dia biasanya ditelpon langsung ngangkat. Coba nanti ana cek”
abu Zur’ah : “Nggak aktif nomornya”.
Luqman: “Pake Google Meet coba. Jangan pakai WA.”
Abu Zur’ah: “Kalau bisa, sih, sekarang, ya,antum cek, karena sudah urgent.”
Luqman: “Oke. Nggak ada respon udah ana ketok-ketok pintu kamarnya. Atau mungkin ke Jeddah ya nganter keluarganya Reza.”
Abu Zur’ah: “Itukan Sabtu!”
abuzurah: “Keluarganya Reza pulang kapan?
Luqman: “Mereka berangkat dari sini bakda subuh. Terus mereka bareng Pak Fadlu juga sama istrinya. Sampai sekarang mereka belum keliatan juga”.
Abu Zur’ah: “Coba antum tanya, Abdurrahman ikut ngak”?
Luqman: “Ana nggak punya nomornya.”
Luqman: “Belum, hari Ahad bakda subuh.”
***
Setelah percakapan itu, tepatnya di siang hari setelah aku bangun tidur, ada informasi kalau beliau sudah meninggal dunia di kamarnya.
Innalilahi wa innailaihi Raji’un,
badanku langsung lemas dan berazam untuk membantu proses beliau.
Allah sudah mengabulkan doa yang engkau panjatkan dan cita-citakan, Kawan! Hidup dan meninggal di tempat terbaik di muka bumi. Subhanallah.
Beliau wafat ketika sedang beristirahat di atas pembaringan dan di bawah selimutnya di usia yang masih muda dan tampak sehat. Namun, ini semua adalah ketetapan Allah atas hamba-Nya.
Semoga Allah merahmati beliau dan menjadikan jannah tertinggi sebagai tempat kembalinya. Amin.
***
Kisah di atas ditulis oleh Abu Zur’ah Muhammad Shalihin melalui kanal Telegram @RihlahSyabab dan dipublikasikan di SyababSalafy dengan beberapa penyesuaian.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa hidup dan kematian adalah ketetapan Allah. Kita harus menerima segala ketetapan-Nya dengan ikhlas, walaupun hati kita bisa merasa bersedih atas kehilangan orang yang kita cintai.
Pun perihal kematian, ia tak memandang usia ataupun kesehatan, ia akan datang sesuai dengan waktu yang telah Allah tetapkan. Tak ada nilai kompromi antara tua ataupun muda. Semoga Allah mewafatkan kita semua dengan husnul khatimah. Amin.
***
Jangan lupa untuk menyempatkan waktu sejenak demi melayangkan doa untuk beliau rahimahullah. Pembaca juga dapat menuliskan pesan-pesan dan ibrah dari kisah di atas melalui kolom komentar.