Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya, serta para sahabat beliau seluruhnya.
Adapun setelah itu:
Sesungguhnya di antara perkara yang tidak ada keraguan padanya dari perkara yang telah Allah tetapkan dan bimbingkan adalah bahwasanya kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus-menerus di dalam kebatilan. Karena sikap terus-menerus di dalam kebatilan merupakan tanda seorang yang tidak diberi taufik dan terkena makar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim di dalam Al-Fawa’id:
والخذلان أن يكلك الله إلى نفسك
“Khidzlan adalah Allah membiarkanmu diurus oleh dirimu sendiri.”
Ada beberapa sebab seseorang tetap berada di dalam kebatilan setelah datang penjelasan kepadanya, di antaranya:
1. Hubbur ri’asah (cinta kekuasaan) dan hubbut tashaddur (senang tampil)
Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah berkata di dalam Al-I’thisham:
آخر الأشياء نزولاً من قلوب الصَّالحين: حبُّ السُّلطة والتَّصدر
“Perkara terakhir yang keluar dari hati orang-orang saleh adalah rasa cinta kepada kekuasaan dan senang tampil.”
Ibrahim bin Adham berkata:
مَا صَدق َاللهَ عَبدٌ أَحَبَّ الشُّهرة
“Seorang hamba yang menyukai ketenaran tidaklah bersikap jujur kepada Allah.”
Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengomentari ucapan Ibrahim bin Adham,
عَلاَمَة ُالمُخلِصِ الذي قد يُحِبُّ شُهرَةً، ولا يشعرُ بها، أنّه إذا عُوتب في ذلك لا يَحْرَدُ ولا يُبَرِّئُ نفسَهُ، بل يعترف ويقول: رحمَ الله من أهدى إليَّ عُيوبي، ولا يَكُنْ مُعْجباً بنفسِه؛ لا يشعرُ بعيوبها، بل لا يشعر أنّه لا يشعر، فإنّ هذا داءٌ مزمنٌ
“Tanda orang ikhlas yang terkadang ia senang ketenaran tetapi ia tidak menyadarinya adalah: apabila ia ditegur, maka ia tidak marah dan tidak pula berlepas diri dari kesalahannya. Bahkan ia mengakuinya dan berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang telah menunjukkan aib-aib diriku kepadaku.” Dia bukan orang yang berbangga diri, bukan pula orang yang tidak menyadari aib-aibnya. Bahkan ia bukan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak sadar. Sesungguhnya ini semua merupakan penyakit kronis.” [Siar A’lamin Nubala’ (7/397)]
Ibnu Abdil Barr melantunkan dalam Jami’ Bayanil Ilm (1/975):
حبُّ الرئاسـة داءٌ يحلــق الدنيا ويجعل الحبَّ حرباً للمحبينا
يفري الحلاقيم والأرحام يقطــعها فلا مروءة يبقها و لا ديـنا
مَنْ دان بالجهل أو قبل الرسوخ فما تَلفـيه إلاَّ عـدواً للمحقينا
يشنا العلوم ويقلي أهلها حســداً ضاهى بذلك أعداءَ النبيينا
“Hubbur ri’asah adalah penyakit yang bisa menghancurkan dunia dan menjadikan kecintaan tersebut sebagai ajang peperangan bagi para pecintanya.
Hubbur ri’asah akan menebas leher-leher dan memutus hubungan silaturahim, sehingga tidak menyisakan kehormatan dan tidak pula agama.
Barang siapa beragama dengan kebodohan atau sebelum kokoh keilmuannya, niscaya engkau tidak mendapatinya kecuali sebagai musuh bagi para pembawa kebenaran.
Ia akan membenci ilmu dan para pembawanya karena hasad. Dengan itu, ia telah menyerupai musuh-musuh para nabi.”
Abu Nu’aim berkata:
والله ما هلك مَنْ هلكَ إلاَّ بحبِّ الرِّئاسة
“Demi Allah, tidaklah binasa orang yang telah binasa, kecuali karena hubbur ri’asah.”
2. Sombong dan enggan menerima kebenaran
Al-Imam Sufyan bin Uyainah berkata:
ليس العاقل الذي يعرف الخير والشر، وإنما العاقل الذي إذا رأى الخير اتبعه وإذا رأى الشر اجتنبه
“Orang berakal bukanlah orang yang mengetahui kebaikan dan kejelekan. Orang berakal hanyalah orang yang: bila melihat kebaikan, ia pun mengikutinya dan bila melihat kejelekan, ia pun menjauhinya.” [Al-Hilyah (8/339)]
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata di dalam Al-Fawa’id (155):
Di antara tanda-tanda kebahagiaan dan keberuntungan adalah seorang hamba setiap kali ilmunya bertambah, bertambah pula sikap rendah hati dan kasih sayangnya. Setiap kali amalnya bertambah, bertambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya. Setiap kali umurnya bertambah, semakin berkurang ketamakannya. Setiap kali hartanya bertambah, bertambah pula kedermawanannya. Setiap kali kedudukan dan kemuliaannya bertambah, bertambah pula kedekatannya kepada manusia, usahanya dalam memenuhi segala kebutuhan mereka, dan sikap rendah hatinya kepada mereka.
Sedangkan tanda-tanda kesengsaraan adalah setiap kali ilmunya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya. Setiap kali amalannya bertambah, bertambah pula sifat bangga dirinya, sikap merendahkan manusia, dan berbaik sangka kepada dirinya sendiri. Setiap kali umurnya bertambah, bertambah pula ketamakannya. Setiap kali hartanya bertambah, bertambah pula sifat bakhil dan kikirnya. Setiap kali kedudukan dan kemuliaannya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya.
Seluruh perkara ini adalah ujian dan cobaan dari Allah. Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai perkara tersebut. Maka, dengan hal-hal tersebut sebagian orang menjadi berbahagia dan sebagian lainnya menjadi sengsara.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata:
علامة الجهلِ ثلاثة: العجبُ، وكثرة المنطق فيما لا يعنيه، وأنْ ينهى عن شيءٍ ويأتيه
“Tanda kebodohan ada tiga, yaitu ujub, banyak bicara pada perkara yang bukan urusannya, melarang dari suatu perkara tapi dia sendiri melanggarnya.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
الإعجاب آفة الألباب
“Sifat bangga diri adalah petaka bagi akal.”
Sebagian salaf selain beliau pun berkata:
إعجاب المرء بنفسه دليلٌ على ضعف عقله
“Sifat bangga diri adalah tanda kelemahan akal seseorang.”
Mereka juga berkata:
لا ترى المعجب إلاَّ طالباً للرئاسة
“Engkau tidaklah melihat seorang pun yang berbangga diri, melainkan pasti ia menginginkan kepemimpinan.” [Jami’ Bahanil ‘Ilm (1/570-571)]
Seseorang harus menyadari dengan sebaik-baiknya bahwa Allah maha mengawasi dirinya, mengetahui mata yang khianat, dan mengetahui segala hal yang disembunyikan oleh hati. Menyadari bahwa hati-hati manusia berada di antara dua jari-jemari Ar-Rahman. Allah membolak-balikkan hati-hati itu sekehendak-Nya subhanahu wa ta’ala.
Ibnu Abi Hatim menyampaikan di dalam Az-Zuhd (59) ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah:
إنَّ القلب لأشد طيرورة من الريشة في يومٍ عاصفٍ
“Sesungguhnya hati adalah benda yang lebih mudah terbang daripada sebuah bulu di hari yang penuh angin badai.”
Semoga Allah menutup hidup kita dengan kebaikan. Semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad, serta kepada keluarga dan para sahabatnya.
Ditulis:
Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari hafizhahullah
3 Zulhijah 1429