Para Shahabat Tidak Ma’shum ( Bantahan Terhadap Syubhat Ke-3)
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Pada edisi kali ini kami lanjutkan kajian jawaban tentang syubhat-syubhat dalam penerapan sunnah yang merupakan kelanjutan dari edisi ke-22.
Para penentang sunnah memiliki berbagai macam syubhat untuk menggugurkan keotentikan sunnah nabawiyah. Di antara langkah-langkah mereka untuk menjatuhkan sunnah adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan kedudukan para shahabat, khususnya yang banyak meriwayatkan hadits seperti Abu Hurairah, Aisyah dan segenap istri-istri nabi.
2. Menjatuhkan para ulama ahlul hadits, khususnya yang banyak dipegang oleh ahlus sunnah seperti Bukhari dan Muslim.
3. Menjatuhkan para khalifah-khalifah dan pemerintahan waktu itu. Khususnya penguasa yang memberantas kebid’ahan syi’ah dan khawarij, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan khalifah-khalifah Bani Umayyah.
4. Mencela fiqih dan ulama ahlul fiqh.
5. Melecehkan hadits-hadits dan memperolok-0lokkannya dengan tujuan menjatuhkan para perawinya.
Pada edisi kali ini kita bahas yang pertama yaitu menjatuhkan kedudukan dan kehormatan para shahabat serta melecehkannya agar ditolak hadits-hadits yang dibawanya, maka yang paling banyak dicerca dijatuhkan adalah para shahabat yang banyak meriwayatkan hadits seperti Abu Hurairah, Aisyah dan lain-lain. Di antara tokoh sesat yang menulis tentang Abu Hurairah dengan berbagai macam tuduhan kepadanya adalah Abu Royyah, seorang orientalis dari Mesir dan Abdul Husain al-Musawwi, seorang tokoh syi’ah rafidlah itsna atsariyah. Keduanya menulis buku dengan judul Abu Hurairah, di dalamnya penuh dengan tuduhan, cacian, kritikan, bahkan pernyataan bahwa Abu Hurairah dalah pendusta pertama dalam sejarah Islam.
Hampir semua aliran sesat berupaya menjatuhkan kedudukan para shahabat. Ini adalah upaya mereka untuk mengugurkan hadits-hadits yang dibawa oleh mereka. Sehingga untuk selanjutnya mereka bebas menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsu mereka. Pertama kaum kaum khawarij yang menganggap kafir Ali dan Muawiyah, menghalalkan darah Utsman bin Affan, mengkafirkan kedua penengah antara Ali dan Muawiyah, dan seluruh pengikut mereka. Akhirnya dengan itu mereka menafsirkan al-Qur’an secara ekstrim tidak melalui pemahaman sunnah yang dibawa oleh para shahabat.
Berikutnya kaum syi’ah rafidlah yang merupakan lanjutan kaum Saba’iyah, pengikut Abdulah bin Saba’ juga menjatuhkan hadits kedudukan para shahabat, mengkafirkan sebagian dari mereka, memfasikkan sebagian yang lain dan mencerca hampir seluruh para shahabat.
Dengan demikian mereka dengan beraninya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan hawa nafsu dan kesesatan mereka. Kemudian tidak ketinggalkan kaum mu’tazilah pun golongan yang menuhankan akalnya juga melecehkan para shahabat dengan bahasa mereka: “Mereka lebih selamat, tetapi kami lebih tahu”. Yang demikian karena mereka merasa lebih alim dari sisi pengetahuan umum fisika, kimia dan biologi dan ilmu-ilmu lainnya sehingga menganggap dirinya lebih hebat dalam menafsirkan al-Qur’an sebaliknya mereka menganggap para shahabat bodoh, jumud, terbelakang, kuno, pikiran mereka tidak berkembang dan kalimat-kalimat celaan lainnya.
Demikian pula halnya kaum sufi yang membagi tingkatan manusia dalam agama menjadi beberapa tingkatan dari yang paling rendah yaitu tingkatan syari’at kemudian tingkatan ma’rifat, dan kemudian tingkatan hakekat. Tingkatan yang tertinggi derajatnya para wali yang tidak terikat lagi dengan syariat dan sudah mengerti hakekat segala sesuatu dan dapat menyingkap segala tabir-tabir ghaib. Kelompok inipun sama menganggap remah dan merendahkan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka dianggap masih tingkatan syariat yang terendah masih tingkatan syariat yang terendah masih terpaku pada halal haram secara lahir, ini merkea ucapkan agar kaum muslimin memaklumi kesesatan mereka dan kemaksiatan mereka karena menganggap syariat mereka karena menganggap syariat mereka syariat batin yang dipahami hanya oleh para wali dan kassaf.
Demikianlah bisa dikatakan seluruh aliran sesat, para pengekor hawa nafsu, ahlil bid’ah dengan segala macam alirannya, yang dulu atau pun yang sekarang sama-sama berusaha menjatuhkan dan melecehkan para shahabat. Bahkan tokoh-tokoh hizbi, politikus, para demokrat yang mengatasnamakan agama pun sama menganggap para shahabat tidak berkembang pikirannya, jumud dan terbelakang. Termasuk para khawarij gaya baru seperti Sayyid Quthb dalam bukunya keadilan sosial dalam Islam yang melecehkan Utsman bin Affan dan juga Maududi dalam bukunya Khilafah-Khilafah Kerajaan yang melecehkan para shahabat seperti Muawiyah dan lain-lain.
Yang lebih menyedihkan adalah ketika kita berusaha membela para shahabat dari tuduhan-tuduhan mereka muncul pula di hadapan kita kelompok lain yang tidak kalah bahayanya, kelompok yang tidak jelas di pihak manakah ia, benderanya hanya ucapan persatuan dan persatuan, slogannya adalah kalimat jangan berpecah belah, jargonnya adalah ucapan yang terus diulang-ulang jangan saling salah menyalahkan. Kelompok ini membantah pembelaan kita terhadap para shahabat dengan kalimat: “Shahabat kan memang tidak ma’shum, bisa saja mereka punya salah”.
Sunguh kalimat ini mengerikan dari caci-makian ahlul bid’ah kepada para shahabat karena kalimat ini bersayap atau dengan kata lain merupakan syubhat yang mengandung hak dan kebatilah sekaligus di dalamnya. Kalimat sejenis inilah yang dikatakan oleh Imam Ali radhiallahu’anhu:
Kalimat yang hak, tapi yang dimaukan dengannya kebatilan.
Jika seorang ahlus sunnah yang cinta kepada para shahabat mendengar cacian ahlul bid’ah kepada para shahabat, niscaya mereka akan bangkit ghirahnya dan membela para shahabat radhiallahu ‘anhum. Tetapi jika mendengar kalimat dari kelompok aneh dia tas bahwa para shahabat tidak ma’shum, niscaya dia akan bingung bahkan bisa jadi terfitnah dan terbawa untuk memaklumi segala cacian ahlus bid’ah tersebut. Inilah yang menyebabkan ucapan kelompok-kelompok ini lebih berbahaya dan lebih menipu.
Kita ahlus sunnah wal jama’ah beriman bahwa tidak ada yang ma’shum dan terjaga dari kesalahan, kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah para shahabat:
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya.
Apalagi pada perkara-perkara yang telah disepakati oleh mareka, maka Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin kebenarannya, seperti dalam sabda beliaushalallahu ‘alaihi wa sallam:
Tidak akan bersepakat umatku atas kesesatan.
Dan Imam Ahmad menyatakan yang dimaksud Ijma’ adalah kesepakatan para shahabat. Karena setelah mereka manusia sulit untuk bersepakat. Sedangkan kesalahan dan kekeliruan para shahabat tidak mungkin sengaja menentang Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya:
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni’mat) yang mulia. (Al-Anfaal: 4)
Kesalahan-Kesalahan yang merupakan khilaf dan kealpaan itupun telah dijamin akan mendapatkan ampunan oleh Allah dalam ayat-Nya:
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Fath: 29)
Dalam hadits dinyatakan pada ahlul badr bahwa Allah berfirman kepada mereka sebagai berikut:
Berbuatlah semau kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian. (HR. Bukhari Muslim)
Adapun masalah kedustaan apalagi atas nama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu tidak mungkin mereka lakukan dengan dalil ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
Orang yang beriman tidak akan berdusta.
Sedangkan kita sudah mengetahui dalam surat al-anfaal dia tas, bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman, maka para ulama ahlus sunnah wal jama’ah telah sepakat secara keseluruhan bahwa para shahabat adil dan jujur sehingga semua riwayat mereka diterima. Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali orang-orang yang sesat.