Salafy Cirebon
Salafy Cirebon

kisah nabi syu’aib -alaihis-salam-

8 tahun yang lalu
baca 13 menit
Rumah Peninggalan kaum Madyan

Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seseorang yang sebenarnya tidak terdesak untuk melakukan perbuatan tersebut dosanya lebih besar daripada orang yang berbuat maksiat karena memang ia terdesak untuk berbuat demikian. Seperti umat Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang telah dikaruniai harta yang berlimpah namun mereka masih berbuat dosa dengan melakukan kecurangan dalam timbangan. Allah subhanahu wa ta’ala pun mengazab mereka dengan azab yang pedih.

Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Syu’aib ‘alaihissalam menjadi nabi dan mengutus beliau ke negeri Madyan. Kejahatan yang dilakukan penduduk Madyan tidak hanya melakukan kesyirikan, tetapi juga berbuat curang dalam timbangan dan takaran. Melakukan kecurangan dalam bermuamalah dan mengurangi hak orang lain mereka lakukan. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja dan melarang mereka berbuat syirik. Beliau juga memerintahkan agar berbuat adil dan jujur dalam bermuamalah, serta mengingatkan mereka agar jangan merugikan orang lain.

Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya tentang kebaikan yang telah Allah subhanahu wata’ala limpahkan kepada mereka berupa rezeki yang beraneka ragam. Sesungguhnya dengan itu semua, mereka tidak perlu sampai menzalimi manusia dalam urusan harta. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam juga mengancam dengan azab yang mengepung mereka di dunia sebelum di akhirat nanti. Namun mereka menyambutnya dengan ejekan dan menolak seruan itu sambil mengejek. Mereka berkata,

قَالُواْ يَٰشُعَيۡبُ أَصَلَوٰتُكَ تَأۡمُرُكَ أَن نَّتۡرُكَ مَا يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوۡ أَن نَّفۡعَلَ فِيٓ أَمۡوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُاْۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلۡحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ ٨٧

“Hai Syu’aib, apakah shalatmu (agamamu) menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami berperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)

Yakni, kami tetap akan bertahan menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami. Kami akan tetap berbuat terhadap harta kami dengan berbagai bentuk muamalah yang kami inginkan, tidak berada di bawah aturan atau ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya.

Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata (sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala),
قَالَ يَٰقَوۡمِ أَرَءَيۡتُمۡ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّي وَرَزَقَنِي مِنۡهُ رِزۡقًا حَسَنٗاۚ

“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan dianugerahkan kepadaku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintahnya?” (Hud: 88)

Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah mencukupi aku (dengan rezeki-Nya).

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أُخَالِفَكُمۡ إِلَىٰ مَآ أَنۡهَىٰكُمۡ عَنۡهُۚ…

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)

Yakni, tidaklah aku melarang kalian dari berbagai muamalah yang buruk dan di dalamnya terdapat perbuatan yang menzalimi manusia, melainkan aku adalah orang pertama yang meninggalkannya, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi aku harta dan memperluas rezeki untukku. Saya sangat membutuhkan adanya hubungan muamalah ini. Namun saya terikat dengan kewajiban taat kepada Rabbku.

Saya tidak bermaksud dengan tindakan dan perintahku ini kepada kalian kecuali mendatangkan perbaikan. Artinya, semampu saya, saya akan berusaha agar keadaan dunia dan akhirat kalian menjadi baik.
وَمَا تَوۡفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِۚ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ ٨٨

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud: 88)

Kemudian beliau mengancam mereka dengan siksaan yang pernah menimpa umat-umat yang masa dan tempatnya di sekitar mereka.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَيَٰقَوۡمِ لَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شِقَاقِيٓ أَن يُصِيبَكُم مِّثۡلُ مَآ أَصَابَ قَوۡمَ نُوحٍ أَوۡ قَوۡمَ هُودٍ أَوۡ قَوۡمَ صَٰلِحٖۚ وَمَا قَوۡمُ لُوطٖ مِّنكُم بِبَعِيدٖ ٨٩

“Janganlah sekali-kali pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu berbuat aniaya sehingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth tidak (pula) jauh dari kalian.” (Hud: 89)

Beliau menawarkan kepada mereka agar bertaubat dan membangkitkan keinginan mereka untuk bertaubat. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, ,
وَٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٞ وَدُودٞ ٩٠

“Dan mohonlah ampunan kepada Rabb kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Hud: 90)

Namun semua seruan itu tidak berfaedah sedikit pun. Mereka berkata,
مَا نَفۡقَهُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَقُولُ…

“Kami tidak banyak mengerti apa yang kamu katakan.” (Hud: 91)

Perkataan ini jelas karena sikap keras kepala mereka dan kebencian yang sangat besar terhadap kebenaran.
وَإِنَّا لَنَرَىٰكَ فِينَا ضَعِيفٗاۖ وَلَوۡلَا رَهۡطُكَ لَرَجَمۡنَٰكَۖ وَمَآ أَنتَ عَلَيۡنَا بِعَزِيزٖ ٩١

“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seseorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami sudah merajam kamu, sedangkan kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.” (Hud: 91)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ يَٰقَوۡمِ أَرَهۡطِيٓ أَعَزُّ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَٱتَّخَذۡتُمُوهُ وَرَآءَكُمۡ ظِهۡرِيًّاۖ إِنَّ رَبِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ ٩٢

“Syu’aib menjawab, ‘Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandangan kalian daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya Rabbku meliputi apa yang kamu kerjakan’.” (Hud: 92)

Ketika melihat kekerasan mereka, beliau berkata,
وَيَٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ إِنِّي عَٰمِلٞۖ سَوۡفَ تَعۡلَمُونَ مَن يَأۡتِيهِ عَذَابٞ يُخۡزِيهِ وَمَنۡ هُوَ كَٰذِبٞۖ وَٱرۡتَقِبُوٓاْ إِنِّي مَعَكُمۡ رَقِيبٞ ٩٣
وَلَمَّا جَآءَ أَمۡرُنَا نَجَّيۡنَا شُعَيۡبٗا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥ بِرَحۡمَةٖ مِّنَّا وَأَخَذَتِ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ ٱلصَّيۡحَةُ فَأَصۡبَحُواْ فِي دِيَٰرِهِمۡ جَٰثِمِينَ ٩٤

“Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah (azab Allah), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kalian.’

Dan ketika datang azab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami. Sedangkan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka.” (Hud: 93—94)

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan rasa panas yang hebat kepada mereka yang menyumbat pernapasan mereka sehingga mereka hampir tercekik karena dahsyatnya. Di saat demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan awan dingin yang menaungi mereka, lalu mereka pun panggil-memanggil untuk bernaung di bawahnya. Setelah mereka berkumpul di bawahnya, tiba-tiba muncullah nyala api demikian hebat membakar mereka hingga mereka pun mati dalam keadaan mendapat azab, kehinaan, dan kutukan sepanjang masa.

Beberapa Pelajaran

Merugikan timbangan dan takaran secara khusus ataupun merugikan manusia secara umum merupakan kejahatan yang pantas menerima azab di dunia dan akhirat.
Kemaksiatan yang terjadi pada seseorang yang sebetulnya tidak ada faktor pendorong dalam dirinya dan tidak pula berhajat kepada kemaksiatan itu, dosanya lebih besar dibandingkan orang yang bermaksiat didorong oleh suatu keinginan atau kebutuhan.

Oleh karena itu, zina yang dilakukan oleh seorang tua atau orang yang sudah pernah menikah, jauh lebih buruk keadaannya dibandingkan zina yang dilakukan oleh seorang pemuda atau orang yang belum pernah menikah.

Begitu pula kesombongan pada diri seorang fakir (miskin), jauh lebih buruk keadaannya dibandingkan kesombongan yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai harta. Demikian pula pencurian yang dilakukan oleh orang yang sebetulnya tidak membutuhkan harta curian itu, dosanya jauh lebih besar daripada pencurian yang dilakukan oleh orang yang memang sangat membutuhkan harta yang dicurinya.

Oleh karena inilah Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengatakan sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنِّيٓ أَرَىٰكُم بِخَيۡرٖ

“Sesungguhnya aku melihat kalian dalam keadaan yang baik (mampu).” (Hud: 84)

Yakni, kalian dalam keadaan penuh kenikmatan dan kesenangan yang berlimpah, maka apa sesungguhnya yang mendorong kalian sehingga kalian begitu tamak kepada apa yang ada di tangan manusia dengan cara yang diharamkan?

Pelajaran yang lain, firman Allah subhanahu wa ta’ala,

بَقِيَّتُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لَّكُمۡ

“Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu.” (Hud: 86)

Di dalamnya terdapat dorongan untuk rela dengan apa yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala, merasa cukup dengan yang halal dan (menjauhi) yang haram, membatasi pandangan kepada milik sendiri dan tidak perlu melihat kepada harta benda manusia.

Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa shalat merupakan sebab terlaksananya suatu kebaikan dan meninggalkannya merupakan suatu kemungkaran serta ditunaikannya nasihat untuk sesama hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Orang-orang kafir mengetahui hal itu sebagaimana mereka katakan kepada Nabi Syu’aib ‘alaihissalam. Firman Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang ucapan mereka,
أَصَلَوٰتُكَ تَأۡمُرُكَ أَن نَّتۡرُكَ مَا يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوۡ أَن نَّفۡعَلَ فِيٓ أَمۡوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُاْۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلۡحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ ٨٧

“Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (al-‘Ankabut: 45)

Dari sini, diketahui hikmah dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala mengapa Dia wajibkan shalat ini kepada kita lima kali sehari semalam, (yaitu) karena begitu tinggi nilainya, betapa besar manfaatnya, dan sangat indah pengaruhnya. Segala pujian yang sempurna hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala atas semua kenikmatan itu.

Seorang manusia dalam setiap gerak-geriknya dan dalam bermuamalah masalah harta berada di bawah ketentuan hukum syariat. Maka apa saja yang dibolehkan, itulah yang harus dikerjakan dan apa yang dilarang oleh syariat sudah tentu harus ditinggalkannya.

Barang siapa yang menganggap dia bebas berbuat dengan hartanya dalam bermuamalah dengan cara yang baik ataupun buruk, maka sama saja keadaannya dengan orang yang menganggap amalan atau gerak-gerik badannya juga bebas tidak terikat aturan syariat. Dengan demikian, tidak ada bedanya menurut dia antara kekafiran dan keimanan, kejujuran dan kebohongan, perbuatan yang baik dan yang buruk, semua boleh.

Tentunya jelas bagi kita bahwa ini adalah mazhab (pendapat dan keyakinan) orang-orang ibahiyyin (yang menganggap mubah atau halalnya segala sesuatu), dan mereka ini merupakan sejahat-jahatnya makhluk.

Mazhab kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam tidak jauh berbeda dengan mazhab ini. Karena mereka mengingkari Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang melarang mereka dari muamalah yang bersifat zalim, dan mengizinkan muamalah yang selain itu. Mereka menentangnya karena menganggap mereka bebas berbuat apa saja terhadap harta mereka.

Sama seperti ini adalah perkataan orang-orang yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ

“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Barang siapa yang menyamakan antara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berarti dia telah menyimpang dari fitrah dan akalnya, setelah dia melakukan penyimpangan pula dari agamanya.

Orang yang memberi nasihat kepada orang lain, memerintahkan (kebaikan) dan melarang mereka (dari kejelekan), agar sempurna penerimaan manusia terhadap nasihatnya itu, maka apabila dia memerintahkan suatu kebaikan hendaklah dia menjadi orang yang mula-mula mengerjakan kebaikan tersebut. Apabila dia melarang mereka dari suatu kemungkaran, maka hendaklah dia menjadi orang yang pertama sekali meninggalkan dan menjauhinya.

Demikianlah yang dikatakan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أُخَالِفَكُمۡ إِلَىٰ مَآ أَنۡهَىٰكُمۡ عَنۡهُۚ…

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)

Para nabi diutus dengan membawa kebaikan dan untuk memperbaiki, serta mencegah timbulnya kejahatan dan kerusakan.

Seluruh kebaikan dan perbaikan dalam urusan agama dan dunia merupakan ajaran para nabi, terutama imam dan penutup para nabi tersebut yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah menampakkan dan mengulang kembali landasan utama ini dan telah pula meletakkan dasar-dasar yang besar manfaatnya, di mana mereka berjalan di atasnya dalam berbagai urusan duniawi, sebagaimana juga beliau telah meletakkan dasar-dasar utama dalam urusan agama.

Pada dasarnya wajib bagi tiap orang untuk berupaya dengan sungguh-sungguh dalam kebaikan dan perbaikan. Wajib pula baginya untuk meminta pertolongan Rabbnya dalam usaha tersebut agar dia mengetahui bahwa dia tidak mampu melakukan atau menyempurnakannya kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti yang dikatakan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَا تَوۡفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِۚ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ ٨٨

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud: 88)

Seorang da’i yang mengajak umat kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala sangat membutuhkan sifat santun, akhlak yang baik, serta kesanggupan mengimbangi perkataan dan perbuatan yang buruk yang ditujukan kepadanya dengan perbuatan yang sebaliknya.

Sepantasnya dia tidak memedulikan gangguan orang lain dan jangan sampai menghalangi mereka sedikit pun dari seruannya. Akhlak seperti ini yang paling sempurna hanya ada pada diri para rasul ‘alaihimussalam.

Perhatikanlah keadaan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam dan kemuliaan akhlaknya bersama kaumnya. Bagaimana beliau mengajak kaumnya dengan segala macam cara, sementara mereka justru memperdengarkan kepada mereka kata-kata yang buruk dan membalas seruan itu dengan perbuatan-perbuatan yang keji. Beliau ‘alaihissalam tetap menunjukkan sikap santun, memaafkan mereka dan berbicara kepada mereka dengan kalimat-kalimat yang tidak keluar dari orang seperti beliau selain kebaikan.

Akhlak seperti ini adalah akhlak orang-orang yang berhasil dan memiliki keberuntungan yang besar. Tentunya pemiliknya mempunyai kedudukan mulia dan kenikmatan yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Dengan ini semua, menjadi ringanlah baginya untuk mengobati umat yang telah demikian rusak akhlak mereka, (yang bagi orang lain) adalah suatu perkara yang sangat sulit dan bahkan lebih sulit daripada upaya membongkar sebuah gunung dari dasarnya.

Sementara itu kaumnya terus-menerus tenggelam dalam keyakinan dan pemikiran yang rusak, bahkan mereka kerahkan semua harta, jiwa, dan raga mereka untuk mengutamakan dan melebihkannya di atas segala-galanya.

Apakah Anda mengira, bahwa orang-orang seperti mereka ini akan merasa cukup puas hanya dengan ucapan semata bahwa keyakinan dan pemikiran yang mereka anut adalah salah dan rusak? Ataukah Anda mengira bahwa mereka akan memaafkan orang yang mencaci-maki mereka dan menghina keyakinan mereka? Sekali-kali tidak, demi Allah.

Sesungguhnya mereka ini betul-betul membutuhkan bermacam-macam cara untuk memperbaiki keyakinan mereka, dan itu hanya dengan cara yang diserukan oleh para rasul. Di mana para rasul itu mengingatkan manusia dengan nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan bahwa Dzat yang sendirian memberikan kenikmatan kepada mereka itulah yang sesungguhnya berhak menerima peribadahan, apa pun bentuknya. Demikian pula para rasul itu menyebutkan kepada mereka berbagai kenikmatan yang terperinci dan tidak mungkin dapat dihitung oleh siapa pun kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.

Para rasul itu mengingatkan pula bahwa dalam keyakinan dan pendirian mereka terdapat kerusakan dan penyimpangan, kegoncangan serta pertentangan yang dapat merusak keyakinan atau keimanan yang mendorong untuk ditinggalkan.

Para rasul juga mengingatkan manusia tentang hari-hari Allah subhanahu wa ta’ala yang ada di hadapan dan di belakang mereka serta siksaan-Nya yang telah menimpa umat-umat yang mendustakan para rasul, mengingkari tauhid. Mereka mengingatkan bahwa hanya dengan beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya akan mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan serta kemanfaatan dalam agama dan dunia, yang tentunya akan menarik hati siapa pun dan memudahkan untuk mencapai semua tujuan.

Dengan ini semua maka seseorang membutuhkan sikap yang baik terhadap mereka. Minimal, adalah bersabar atas gangguan dan semua keburukan yang muncul dari mereka dan selalu berkata lemah lembut dengan mereka. Perlunya pula mengupayakan semua jalan yang mengandung hikmah dan berdialog bersama mereka dalam berbagai urusan dengan mencukupkan sebagian yang diizinkan (diterima) jiwa mereka untuk menyempurnakannya.

Perlu diperhatikan pula perlunya mendahulukan hal-hal yang paling utama kemudian yang berikutnya. Yang paling besar usahanya melaksanakan semua ini adalah penutup para nabi dan imam seluruh makhluk ini, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Sumber : Asy Syariah Edisi 009, Ibrah