Siapakah yang mampu menolak ketetapan Allah ketika Ia menakdirkan lahirnya seorang nabi yang kemudian dibesarkan di lingkungan musuh besarnya. Dialah Musa ‘alaihissalam, nabi yang sempat mengenyam asuhan dari istri sang angkara murka, Fir’aun. Kisahnya yang agung banyak menghiasi lembar al-Qur’an serta memberikan banyak pelajaran berharga bagi umat nabi lain di kemudian hari.
Allah subhanahu wa ta’ala memaparkan kisah Nabi Musa bin ‘Imran dan saudaranya Harun ‘alaihimassalam demikian panjang. Allah menceritakan sejarah mereka pada beberapa tempat dalam al-Qur’an dengan uslub atau gaya bahasa yang berbeda-beda, kadang dengan ringkas dan kadang meluas sesuai dengan keadaannya. Tidak ada kisah yang lebih besar dalam al-Qur’an selain kisah Nabi Musa ‘alaihissalam. Karena beliau betul-betul berupaya memperbaiki Fira’un dan tentara-tentaranya, juga terhadap Bani Israil dengan upaya yang demikian hebat.
Musa ‘alaihissalam adalah nabi yang paling utama di kalangan bani Israil, begitu pula syariat serta kitabnya, Taurat. Beliau ‘alaihissalam adalah sumber rujukan para nabi bani Israil dan para ulama mereka. Pengikut beliau termasuk umat terbanyak di samping umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam.
Nabi Musa ‘alaihissalam memiliki kekuatan dan ghirah (kecemburuan) yang besar dalam menegakkan agama Allah subhanahu wa ta’ala dan mendakwahkannya, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Beliau dilahirkan pada masa semakin hebatnya penindasan Fir’aun terhadap bani Israil, di mana ia menyembelih setiap bayi laki-laki dari kalangan bani Israil dan membiarkan hidup bayi perempuan untuk dijadikan sebagai pelayan dan sekaligus cobaan.
Ketika ibunya melahirkan Nabi Musa ‘alaihissalam, timbullah rasa takut yang begitu hebat. Karena Fir’aun telah mengirimkan mata-mata yang mengawasi wanita yang sedang hamil dan akan melahirkan. Rumah ibu Nabi Musa berada di tepi sungai Nil. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala ilhamkan kepada ibunya agar meletakkan bayi Musa di dalam sebuah peti dan menghanyutkannya ke sungai Nil setelah mengikatnya agar tidak terhanyut karena goncangan air. Merupakan kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya adalah dengan mengilhamkannya,
فَإِذَا خِفۡتِ عَلَيۡهِ فَأَلۡقِيهِ فِي ٱلۡيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحۡزَنِيٓۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيۡكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٧
“Janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.” (al-Qashash: 7)
Setelah menghanyutkan ke air, pada suatu hari terlepaslah ikatan peti yang membawa Musa kecil itu dan meluncur bersama aliran air. Dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala peti itu jatuh ke tangan salah seorang keluarga atau pengikut Fir’aun. Akhirnya Musa kecil dibawa kepada istri Fir’aun yang bernama Asiyah. Begitu melihatnya, spontan tumbuh rasa cinta yang begitu besar dalam diri Asiyah terhadap Nabi Musa ‘alaihissalam. Memang Allah subhanahu wa ta’ala telah meletakkan rasa cinta tehadap beliau dalam hati setiap orang.
Berita ini segera terdengar oleh Fir’aun dan dia meminta agar Musa kecil dibunuh. Istri Fir’aun berkata, “Janganlah (engkau) membunuhnya. Dia adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak.”
Selamatlah Nabi Musa dari kekejian mereka. Ini memberikan pengaruh dan juga pengantar yang baik sebagai usaha yang perlu disyukuri di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Ini termasuk salah satu sebab bagi istri Fir’aun mendapat petunjuk dan beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam sesudah itu.
Adapun ibu Nabi Musa ‘alaihissalam, betapa terkejutnya dia dan menjadi kosonglah hatinya. Hampir saja kesabarannya goyah dan dia membocorkan rahasia tentang Musa, seandainya Allah subhanahu wa ta’ala tidak meneguhkan hatinya, supaya dia temasuk orang yang beriman (kepada janji Allah subhanahu wa ta’ala). Dia berkata kepada saudara perempuan Nabi Musa ‘alaihissalam, “Ikuti dan awasilah dia!”
Pada waktu itu istri Fir’aun sudah berkali-kali menawarkan siapa yang mau menyusui Nabi Musa, namun beliau tidak mau menerima susu dari wanita mana pun. Akhirnya beliau kehausan sampai melingkar karena laparnya. Akhirnya mereka membawanya keluar ke jalan-jalan, barangkali Allah akan memudahkannya menerima susu dari seorang wanita. Saudara perempuan Nabi Musa ‘alaihissalam memerhatikan dari tempat yang tersembunyi dan merasa iba.
Setelah mengetahui bahwa mereka mencari orang yang bisa menyusui Nabi Musa ‘alaihissalam, dia pun berkata kepada mereka sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَقَالَتۡ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰٓ أَهۡلِ بَيۡتٖ يَكۡفُلُونَهُۥ لَكُمۡ وَهُمۡ لَهُۥ نَٰصِحُونَ ١٢ فَرَدَدۡنَٰهُ إِلَىٰٓ أُمِّهِۦ كَيۡ تَقَرَّ عَيۡنُهَا وَلَا تَحۡزَنَ
“Maukah kalian aku tunjukkan ahlul bait yang akan memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya? Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berdukacita.” (al-Qashash: 12—13)
Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan kisah Nabi Musa ini secara rinci dan jelas dan bagaimana perubahan-perubahan keadaan yang dialami beliau. Dengan membaca surat ini saja sudah cukup menerangkan berbagai pengertian yang terkandung di dalamnya karena begitu jelas dan gamblang uraian kisah ini. Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah memerinci suatu permasalahan melainkan agar kita mengambil manfaat dan pelajaran dari masalah itu. Akan tetapi karena begitu banyak faedah dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini maka kami perlu memberikan sedikit keterangan terhadap sebagiannya.
Pelajaran dari Kisah Nabi Musa ‘alaihissalam
Di antara pelajaran yang dapat dipetik, antara lain:
1. Mahalembutnya Allah subhanahu wa ta’ala terhadap ibu Nabi Musa ‘alaihissalam dengan memberikan ilham (agar menghanyutkan Nabi Musa ‘alaihissalam) sehingga menyelamatkan beliau. Kemudian berita gembira dari Allah subhanahu wa ta’ala yang akan mengembalikan Nabi Musa ‘alaihissalam kepadanya, yang kalau tidak demikian dia merasa akan mati karena kesedihan mendalam saat mengingat putranya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengembalikannya dengan menakdirkan beliau menolak air susu yang ditawarkan oleh para wanita ketika itu.
Diketahui dari kisah ini bahwa sifat Mahalembutnya Allah subhanahu wa ta’ala kepada para wali-Nya tidak akan tergambar dalam benak siapa pun, bahkan tidak mungkin dapat diungkapkan dengan kalimat seindah apa pun. Perhatikanlah bagaimana berita gembira ini terjadi:
Dia (ibu Nabi Musa ‘alaihissalam) didatangi oleh putranya, menyusukannya secara terang-terangan, kemudian menerima upah, sehingga lengkaplah dia sebagai ibu secara syar’i dan juga berdasarkan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadi tenteramlah hatinya dan bertambah pula keimanannya.
Kejadian ini menjadi pendukung bagi firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ
“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.” (al-Baqarah: 216)
Memang tidak ada yang lebih dibenci oleh ibu Nabi Musa daripada jatuhnya Musa ke tangan Fir’aun, padahal ternyata kejadian berikutnya dan pengaruhnya sangat terpuji.
2. Ayat-ayat (tanda kekuasaan) Allah subhanahu wa ta’ala dan pelajaran yang terjadi pada umat-umat sebelumnya mengandung pelajaran berharga. Adapun yang dapat memetik pelajaran atau mengambil cahaya dari kisah tersebut hanyalah orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menguraikan kisah-kisah itu memang untuk mereka, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan dalam kisah ini,
نَتۡلُواْ عَلَيۡكَ مِن نَّبَإِ مُوسَىٰ وَفِرۡعَوۡنَ بِٱلۡحَقِّ لِقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ٣
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (al-Qashash: 3)
Kalau Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki sesuatu, niscaya Dia mempersiapkan sebab-sebabnya dan memunculkannya satu persatu secara berangsur-angsur, tidak sekaligus.
3. Kaum yang lemah dan tertindas sedemikian rupa, tidak sepantasnya mereka dikuasai oleh sikap malas, tidak mau berusaha memenuhi hak mereka, dan tidak pula sepantasnya berputus asa untuk menggapai kedudukan yang tinggi, terutama sekali apabila mereka adalah orang-orang yang dizalimi.
Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menyelamatkan bani Israil dari kelemahan dan keadaan mereka menjadi budak-budak Fir’aun dan para pembesarnya, kemudian mengokohkan kedudukan mereka di muka bumi dan menyerahkan kekuasaan kepada mereka mengatur negeri Fir’aun.
Bangsa mana pun juga, selama dia berada dalam keadaan terhina dan tertindas, tidak mungkin dapat menuntut hak-hak mereka. Bahkan tidak tegak urusan agama mereka, sebagaimana halnya urusan dunia mereka.
4. Rasa takut yang bersifat naluriah pada seseorang tidaklah menafikan dan melenyapkan keimanannya sebagaimana yang dialami ibu Nabi Musa terhadap Nabi Musa ‘alaihissalam.
Iman itu dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٠
“Agar dia termasuk orang-orang yang beriman.” (al-Qashash: 10)
Yang dimaksud dengan kata aliman di sini adalah pertambahannya dan bertambah ketenangannya.
5. Di antara nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang paling besar terhadap seorang hamba adalah kekokohan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya ketika menghadapi rasa takut dan gelisah. Karena sesungguhnya, sebagaimana bertambahnya keimanan dan pahala yang diperolehnya, maka semakin kuat dorongan untuk mengucapkan dan melakukan hal-hal yang benar. Tinggallah pendapat dan pemikirannya yang kokoh.
Adapun mereka yang tidak memperoleh keteguhan ini, maka kegelisahan dan ketakutannya akan membuatnya menyia-nyiakan akal pikiran sehingga tidak berguna baginya dalam keadaan demikian.
6. Seorang hamba apabila dia mengetahui bahwa qadha dan qadar adalah haq (pasti), dan janji Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi, niscaya dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan usaha-usaha yang bemanfaat. Karena sesungguhnya suatu sebab dan upaya untuk menjalankannya termasuk bagian dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berjanji kepada ibu Nabi Musa ‘alaihissalam untuk mengembalikan putranya kepadanya. Namun ketika Nabi Musa dipungut oleh Fir’aun, dia segera berupaya dengan mengutus saudara perempuan Nabi Musa ‘alaihissalam untuk mengintai dan menjalankan upaya-upaya lain yang terkait dengan keadaan waktu itu.
7. Diizinkannya seorang wanita keluar dari rumah untuk suatu keperluan dan boleh pula mengajak bicara seorang laki-laki dengan syarat tidak ada perkara yang diharamkan, sebagaimana yang dilakukan oleh saudara perempuan Nabi Musa dan dua orang wanita yang dijumpai Nabi Musa ‘alaihissalam di Madyan.
8. Diizinkannya mengambil upah dalam menjaga dan menyusukan anak, sebagaimana yang dilakukan oleh ibunda Nabi Musa ‘alaihissalam. Syariat umat sebelum kita adalah juga syariat bagi kita selama tidak ada yang menghapusnya dalam syariat kita.
9. Tidak boleh membunuh orang kafir yang mempunyai ikatan perjanjian atau kesepakatan dengan kita. Ini terlihat dari penyesalan Nabi Musa setelah membunuh seorang bangsa Qibti dan beliau memohon ampun dan bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas perbuatan tersebut.
10. Orang yang membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar dikatakan sebagai jabbar yang berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut, dan menganggap dirinya sebagai orang yang mengadakan perbaikan, sampai jelas-jelas ada ketentuan syariat yang membolehkan membunuh.
11. Berita dari seseorang kepada orang lain dengan suatu nukilan tentang keadaan dirinya dalam bentuk peringatan dari kemungkinan buruk yang akan menimpanya bukanlah dianggap sebagai namimah. Bahkan boleh jadi merupakan suatu kewajiban, seperti yang diuraikan Allah subhanahu wa ta’ala dalam bentuk pujian, tentang seorang laki-laki dari dalam kota yang segera menemui Musa untuk mengingatkannya.
12. Apabila dikhawatirkan kebinasaan karena membunuh tanpa alasan yang benar dan akan diberlakukannya hukuman di suatu tempat, hendaknya jangan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan atau menyerah. Tapi hendaklah jika dia sanggup melarikan diri dari tempat itu seperti yang diperbuat oleh Nabi Musa.
13. Apabila suatu ketika mau tidak mau seseorang dihadapkan kepada dua mafsadah (kerusakan), maka jelas baginya untuk mengambil yang paling ringan dan lebih selamat serta menolak mafsadah yang lebih berat dan berbahaya.
Di sini ketika Nabi Musa ‘alaihissalam berada di antara dua pilihan; tetap tinggal di Mesir tapi ditangkap dan dibunuh, atau melarikan diri ke negeri lain yang sama sekali belum diketahui arahnya. Beliau tidak mempunyai penunjuk jalan kecuali hanya mengharapkan bimbingan Rabb-nya. Sebagaimana diketahui hal ini lebih dekat kepada keselamatan, beliau memilih yang kedua.
14. Dalam kisah ini terdapat penjelasan yang halus bagi orang yang mempelajari suatu masalah, yaitu di saat seseorang ingin beramal atau berfatwa, namun belum jelas baginya mana dari dua pendapat yang dihadapinya ini yang lebih kuat, maka hendaklah dia memohon hidayah kepada Rabb-nya dan memohon agar Dia membimbingnya kepada yang lebih mendekati kebenaran dari kedua pendapat tersebut.
Ini tentunya sesudah dia bersungguh-sungguh mengadakan penelitian dan memang mempunyai niat yang tulus mencari kebenaran. Allah subhanahu wa ta’ala pasti tidak akan menyia-nyiakan orang yang demikian keadaannya. Sebagaimana yang dialami Nabi Musa ketika dia mengarah ke negeri Madyan dalam keadaan belum tahu arah dan jalan mana yang harus ditempuhnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلۡقَآءَ مَدۡيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّيٓ أَن يَهۡدِيَنِي سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ٢٢
“Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia berdoa: Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (al-Qashash: 22)
Allah subhanahu wa ta’ala telah membimbingnya dan memberikan apa yang diharapkannya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Sumber : Asy Syariah Edisi 010, Ibrah