3. Konsekuensi keimanan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Oleh :
? Al Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed -hafidzahullah-
Sesungguhnya konsekuensi keimanan kepada Nabi Muhammad -shalallahu’alaihi wa sallam- telah disinggung pada edisi yang lalu, namun kita perlu membicarakannya lebih rinci. Ketahuilah konsekuensi keimanan kepada seorang Rasul yang diutus oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- adalah mencintainya sebagai seorang yang paling mulia dan paling sayang kepada kaum muslimin. Mentaatinya sebagai seorang yang menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, mempercayai apa yang dikatakannya sebagai seorang Rasul yang tidak mungkin berdusta dalam menyampaikan berita dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan mengutamakannya diatas seluruh manusia yang lain.
1. Mencintai Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam-
Diantara konsekuensi keimanan kita kepada kerasulan Nabi Muhammad -shalallahu’alaihi wa sallam- adalah mencintainya dan memuliakannya. Betapa tidak, ia adalah seorang yang paling perhatian kepada kita, mementingkan kebaikan-kebaikan untuk kita dan sayang kepada kita dan kepada seluruh kaum muslimin. Allah memuji sifat-sifat Rasulullah ini di dalam Al- Quran :
لقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”.(At-Taubah:128)
Maka kaum muslimin yang telah bersyahadat dengan syahadat yang kedua dan telah mengenali sifat-sifat Rasulullah yang mulia ini, sudah semestinya mencintai beliau dengan kecintaan yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada cintanya kepada anaknya, bapaknya, atau seluruh manusia yang lain. Bahkan diperintahkan untuk mencintai lebih daripada dirinya sendiri. Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Hisyam -radhiallahu ‘anhu- berkata :
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَرُ
“Suatu hari kami bersama Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, dan beliau memegang tangan ‘Umar bin Khaththab. Maka ‘Umar berkata kepada Rasulullah: “Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku”. Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Tidak yang demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya sehingga engkau menjadikan aku lebih engkau cintai daripada dirimu”. Maka ‘Umar berkata kepadanya: “Maka sesungguhnya sekarang -Demi Allah- engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “ (Ya) Sekarang wahai ‘Umar”. (H.R. Bukhari)
Dengan inilah seorang mukmin akan merasakan lezatnya iman sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika seseorang memilikinya akan merasakan manisnya keimanan yaitu ; ia menjadikan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi dari segala-galanya. Menjadikan cintanya kepada seseorang dilandasi karena Allah. Dan ia benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah, sebagaimana bencinya ia jika di lemparkan ke dalam neraka ”.(Muttafaq ‘alaihi)
2. Mentaati Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam-
Termasuk konsekuensi keimanan bahwa Nabi Muhammmad -shalallahu’alaihi wa sallam- adalah seorang Rasul utusan Allah, tentunya mentaati beliau yang tidak pernah mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(An-Najm:3-4)
Maka mentaati beliau adalah mentaati Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.(An-Nisa’:80)
Yang demikian karena Allahlah yang memerintahkan seluruh manusia untuk mentaati Rasul yang diutus-Nya.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah”.(An-Nisa:64)
Bahkan Allah perintahkan berulang-ulang dalam Al-Quran untuk mentaati Rasul-Nya lebih dari 20 ayat dalam Al- Quran, seperti ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”.(Al-Anfal:20)
Maka mereka yang konsekuen dengan syahadat yang kedua, ia akan mentaati semua perintah-perintah Rasulullah -shalllahu’alaihi wa sallam- dan menjauhi larangan-larangannya. Sedangkan mereka yang tidak mau tunduk dengan perintah dan larangan Nabi, maka bisa jadi dia ragu atau tidak percaya bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang ucapannya dari wahyu Allah.
3. Mempercayai berita Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-
Termasuk konsekuensi keimanan kita bahwa Nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- utusan Allah adalah percaya segala yang diberitakannya.
Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- menyampaikan berita-berita tentang hari kiamat, kebangkitan, mahsyar, hisab, syurga, neraka dan seluruh apa yang terjadi setelah hari kiamat. Maka berita-berita tersebut merupakan berita-berita ghaib yang harus kita percayai. Demikianlah ciri khas seorang mukmin yang muttaqin. Allah -Ta’ala- berfirman :
الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ…
“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…”(Al-Baqarah:1-3)
Demikian pula Rasulullah -shalallhu ‘alaihi wa sallam- menjabarkan apa-apa yang terjadi diakhir zaman ; munculnya Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa -’alaihi salam- , keluarnya Imam Mahdi, munculnya binatang yang dapat berbicara, keluarnya Yajuj wa ma’juj dan lain-lain. Seorang yang beriman bahwa Nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- adalah benar-benar utusan Allah, semestinya percaya dengan berita-berita tersebut. Karena terbukti diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam-.
Kepercayaan kepada berita-berita Rasul ini mengalahkan semua berita-berita lain. Maka seorang mukmin tidak mungkin akan menolak berita Nabi dengan akalnya, dengan perasaannya, atau hanya karena penelitian orang-orang kafir yang -katanya- ‘ilmiah’. Seorang mukmin akan berkata: “Saya lebih percaya dengan ucapan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- daripada hasil penelitian siapapun!”
4. Mengutamakan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam-
Termasuk konsekuensi keimanan kepada Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- adalah mengutamakan Rasulullah diatas seluruh manusia dan mendahulukan ucapannya di atas seluruh ucapan manusia, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya “.(Al-Hujaraat:1)
Oleh karena itu Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma- sangat khawatir akan turun adzab dari langit ketika ia menyampaikan ucapan Nabi ada yang membantah dengan perkataan Abu Bakar dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma-. Ibnu ‘Abbas berkata :
“Hampir-hampir diturunkan bebatuan dari langit, ketika aku mengatakan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, kalian malah mengatakan “tapi Abu Bakar dan ‘Umar telah berkata…”(Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 4/281 dan 295)
5. Membela Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam-
Termasuk konsekuensi keimanan kita kepada Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- dan kecintaan kita kepada beliau adalah membelanya, Allah berfirman :
لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membela (agama) Nya, memuliakan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (Al-Fath : 9)
Termasuk pembelaan terhadap Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- adalah pembelaan terhadap sunnah-sunnahnya, membelanya dari orang-orang yang berupaya mematikan sunnah atau berupaya menyelewengkannya dengan merubah, menambahi dan mengurangi apa yang sudah diajarkan oleh Nabi -shalallahu’alaihi wa sallam-.
Maka mereka-mereka yang cinta kepada Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam-tidak akan ridho mendengarkan ayat-ayat yang dipermainkan atau sunnah-sunnah yang dilecehkan. Allah -Ta’ala- berfirman :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”.(An-Nisaa’:140)
Maka Allah melarang untuk duduk-duduk mendengar ocehan mereka yang memperolok-olok sunnah dan mempermainkan agama.
? Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 22 / th.IV – 16 Jumadits Tsani 1429 H / 20 J u n i 2008 M