1.Sifat Basyariyah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Oleh :
? Al Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed -hafidzahullah-
Beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad -shalallahu’alaihi wa sallam- adalah beriman bahwa seorang manusia, laki-laki, dari kalangan Arab, dari suku Quraisy, dari Bani Hasyim, yang bernama Muhammad bin Abdillah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- adalah seorang Rasul yang diutus oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- untuk menyampaikan risalah dakwah tauhid.
Dikatakan seorang manusia karena dia tidak memiliki sifat ketuhanan, tidak memiliki sifat Rububiyah, Uluhiyah atau sifat-sifat yang khusus bagi Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Allah berfirman :
قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا
“Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini kecuali hanyalah seorang manusia biasa yang menjadi rasul?”(Al-Israa : 93)
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. (Fushilat : 6)
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”.(Al-Kahfi : 110)
Dalam ayat-ayat diatas Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menyatakan bahwa dirinya memang manusia biasa, hanya saja Allah memberikan keistimewaan kepadanya sebagai Rasul yang diberi wahyu. Maka sifat basyariyah (kemanusiaan) beliau hanya menunjukkan bahwa beliau bukan tuhan, bukan jelmaan tuhan, bukan pula satu kesatuan dengan tuhan seperti yang dikatakan oleh nasrani terhadap Nabi Isa -‘alaihi sallam-. Oleh karena itu Rasulallah -shalallahu’alaihi wa sallam- bersabda :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana nasrani memuji-muji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba-Nya. Maka katakanlah oleh kalian bahwa aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya”. (H.R. Bukhari)
Maka sifat kemanusiaan dan kehambaan Rasulallah -shalallahu’alaihi wa sallam- adalah satu keyakinan dan aqidah kaum muslimin sehinggga mereka selamat dari kekufuran dalam bentuk penuhanan nabinya atau memperlakukannya seperti tuhan.
Namun bukanlah keimanan terhadap kemanusiaan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- sebagai satu alasan untuk merendahkannya. Karena dari sisi lain beliau adalah seorang Rasul, orang pilihan yang dipilih oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai utusan-Nya, maka beliau adalah sebaik-baik manusia dan semulia-mulia makhluk.
Maka kita sebagai Ahlussunnah mengimani sifat basyariah (kemanusiaan) beliau sekaligus mengimani sifat risalah (kerasulan) beliau.
Berbeda dengan kaum musyrikin yang beralasan dengan kemanusiaan Rasul untuk menentang Tauhid yang dibawanya, sekaligus meremehkan dan merendahkannya. Allah menceritakan tentang mereka dalam beberapa ayat-Nya:
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”.(Huud : 27)
وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَرًا مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ
“Dan jika kalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi”.(Al-Mu’minuun : 34)
قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
“Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata”.(Ibrahim : 10)
مَا أَنْتَ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا فَأْتِ بِآيَةٍ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; maka datangkanlah sesuatu mu`jizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”.(Asy-Syu’araa’ : 154)
وَمَا أَنْتَ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَإِنْ نَظُنُّكَ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami, dan sesungguhnya kami yakin bahwa kamu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta”.(Asy-Syu’araa’ : 186)
Dan lain-lain dari ayat-ayat yang seperti ini.
Maka kalau kita menolak perintah-perintahnya atau menentang Sunnahnya atau tidak percaya pada berita-beritanya dengan alasan bahwa dia adalah manusia, berarti kita mengikuti jejak orang-orang musyrikin dan orang-orang kafir. Merekalah orang-orang yang percaya dengan kemanusiaannya tapi kafir terhadap kerasulannya. Namun bagaimana jika sebaliknya? Beriman dengan kerasulannya namun melupakan sifat kemanusiaannya?
Golongan pertama (golongan yang melupakan sifat kerasulannya) seperti kelompok ingkarus-sunnah, syiah dan sejenisnya. Ingkarus-sunnah menganggap Rasul sebagai tukang pos pembawa surat. Maka mereka terima suratnya yaitu Al-Qur’an dan tidak ada urusan apapun dengan tukang posnya. Sedangkan syiah menganggap bahwa Rasul kedudukannya sama dengan imam-imam mereka, tidak ada kelebihan apapun.
Sedangkan kelompok kedua (yang melupakan sifat kemanusiaannya) adalah orang-orang yang menuhankan Nabi Muhammad -shalallahu’alaihi wa sallam-.
Maka barangsiapa yang berdo’a kepada Nabi berarti dia meyakini bahwa Nabi adalah pengabul do’a (mujibas-sa’iliin) padahal itu adalah sifat Allah. Demikian pula mengajak bicara Rasul setelah wafatnya dari manapun ia berada, berarti dia meyakini bahwa Nabi maha mendengar lagi maha mengetahui, sedangkan itu adalah sifat khusus bagi Allah tidak ada yang menyerupainya sesuatupun.
Allah -Ta’ala- berfirman :
يْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Asy-Syuraa:11)
Juga orang-orang yang memanggil nabi di kala duka, meratap, memohon dengan mengucapkan :”Ya Nabi Allah, ya habib Allah”, juga sama hukumnya dengan diatas.
Termasuk kelompok kedua adalah orang-orang yang menyanjung nabi dengan sifat-sifat Allah, seperti kalimat :”Anta shamad, antal-mu’tamad” (engkau tempat bergantung, engkau tempat bersandar). Padahal Allah -Ta’ala- berfirman :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ – اللَّهُ الصَّمَدُ
“Katakanlah:”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu (kepada-Nya)”. (Al-Ikhlas:1-2)
Atau ucapan mereka :”Wamin ‘ilmika ilmil- lauhi wal qolami” (dan termasuk ilmumu adalah ilmu tentang lauhil mahfudz dan apa yang ditulis dengan pena). Padahal Allah berfirman :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”. (Al-An’aam:59)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا
“(Dia adalah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”. (Al-Jin:26)
Bahkan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- sendiri diperintahkan untuk mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui hal-hal ghaib. Allah -Ta’ala- berfirman :
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ
“Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”.(Al-An’aam: 50) dan (Huud:31)
Juga dalam ayat-Nya :
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfa`atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.(Al-A’raaf : 188)
Juga diperintahkan untuk menyatakan bahwa hanya Allahlah yang mengetahui hal-hal ghaib. Seperti dalam ayat-Nya:
فَقُلْ إِنَّمَا الْغَيْبُ لِلَّهِ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
“…Maka katakanlah: ” Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah; sebab itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu”.(Yunus :20)
Dan juga dalam ayat-Nya :
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”.(An-Naml : 65)
Termasuk kelompok yang lupa terhadap sifat basyariyah Rasul adalah yang mendendangkan kalimat :”Wamin judika ad-dunya wa dharrataha” (dan dari kedermawananmulah adanya langit dan bumi). Ungkapan pujian yang berlebihan kepada Nabi hingga menyatakan bahwa langit dan bumi adalah dari Rasul. Inipun menunjukkan bahwa Nabi memiliki seperti apa yang Allah miliki, bahkan menganggap bahwa seluruh alam ini dari Nabi. Kalau langit dan bumi ini adalah dari kedermawanan Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, maka apa sisanya yang merupakan milik Allah? Padahal berkali-kali Allah sebutkan dalam Al-Quran tentang kepemilikannya terhadap langit dan bumi seperti :
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”.(Al-Baqarah:284)
أَلَا إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi”.(Yunus:66)
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ
“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”.(Yunus:68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Termasuk mereka yang mengabaikan sifat basyariyah Rasul adalah mereka yang menyatakan dalam shalawatnya :
“Allahuma shalli ‘alaa Muhammad al-fatih lima aglaq” (Ya Allah sampaikanlah shalawat kepada Muhammad yang Maha pembuka segala sesuatu yang tertutup) atau “Allahuma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman taamman ‘alaa sayyidina muhammadil-ladzi tunhalu bihil-uqadu wa tanfariju bihil-kurabu wa tuqdho bihil-hawaaiju wa tunaalu bihir-ragaaibu…” (Ya Allah berikanlah shalawat dengan shalawat yang sempurna. Dan sampaikanlah salam dengan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepaslah ikatan. Dan dengannya dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya diluluskan hajat keinginan…).
Di dalam shalawat-shalawat diatas Nabi diberi sifat menyembuhkan segala macam penyakit, yang melepaskan dari segala kesulitan, yang menghilangkan segala musibah, yang membuka segala sesuatu yang tertutup. Bukankah gelar-gelar ini menunjukkan bahwa Nabi memiliki sifat ketuhanan yaitu berkuasa atas segala sesuatu. Bukankah yang maha penyembuh adalah Allah? Sebagaimana dalam do’a Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- :
أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkanlah kesusahan wahai Rabbnya manusia, sembuhkanlah ia, Engkau adalah Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan kecuali dari penyembuhan-Mu, penyembuh yang dengannya tidak ada rasa sakit lagi”. (Muttafaq ‘alaih)
Bukankah yang maha berkuasa untuk melepaskan dari segala macam kesulitan hanyalah Allah?
مَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan?” (An-Naml:62)
Bukankah yang mengeluarkan seseorang dari kesulitan-kesulitannya dan yang memberikan jalan keluar dari segala problemnya adalah Allah?
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar”.(Ath-Tholaaq : 2)
Maka janganlah kita jadi kelompok pertama yang meremehkan Sunnah, menentang ajaran-ajaran Nabi dengan alasan bahwa Nabi adalah seorang manusia biasa. Namun jangan pula menjadi kelompok yang kedua yang melupakan sifat basyariyah Rasul sehingga menuhankan Rasul atau memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada Rasul, atau memperlakukannya seperti tuhan . Namun jadilah Ahlus-Sunnah yang mengimani sifat basyariyah dan risalahnya sekaligus. Allahu a’lam.
? Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 20/th.IV 17 Jumadil Ula 1429 H / 23 M e i 2008 M