Salafy Cirebon
Salafy Cirebon oleh Abu Reyhan

islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam

6 tahun yang lalu
baca 20 menit
Islam Adalah Agama Rahmat Bagi Seluruh Alam

Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed hafidzahullah

**********************************************************

Kalimat “negara Islam” telah menjadi momok yang menakutkan, terutama sejak dipaksakannya rekayasa sejarah yang mendiskreditkan Islam dan gerakan Islam. Digambarkan betapa seramnya hukum Islam jika diterapkan, betapa sadisnya hukum rajam dan potong tangan dan seterusnya.

Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan bid’ah yang berjihad tanpa ilmu, yang menambah rusaknya gambaran Islam di mata awam. Yang akibatnya orang awam dan non-Islam mengira gerakan jihad identik dengan terorisme, perampokan, penjarahan, dan seterusnya.

Akhirnya Islampobia menjalar di masyarakat, bahkan orang-orang yang berstatus Muslim pun takut kalau hukum Islam diterapkan di Indonesia Raya ini. Padahal kalau mereka mau melihat Islam dari sumbernya yang asli dari Qur’an dan Sunnah, dengan pemahaman generasi-generasi terbaik yang dipuji Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan dapati Islam adalah rahmat dan kasih sayang untuk seluruh alam.

Allah ciptakan syariat ini dan Allah utus Rasul-Nya adalah sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada seluruh manusia. Allah berfirman: “Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiya: 107)

Ibnu Abbas radliyallahu `anhu berkata tentang ayat ini: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka Allah tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun mendapat rahmat dengan datangnya Rasul yaitu keselamatan dari adzab di dunia, seperti ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/222)

Oleh karena itu ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan beliau terusir dari kaumnya, dilempari dengan batu di Thaif hingga berdarah kakinya, duduk di luar kota tanpa kawan, bermunajat kepada Allah. Malaikat itu berkata: “Aku diutus Allah untuk mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui.” Melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berdoa seperti itu, Jibril mengatakan: “Maha benar Allah yang menamakanmu ra’ufur rahim.” (lihat Nurul Yaqin hlm. 56)

Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau memilih berdoa agar Allah memberikan hidayah.

Pernah suatu hari beliau didatangi oleh Thufail Ad-Dausi. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus menentang dan menolak dakwah ini. Maka doakanlah agar Allah menghancurkan mereka.” Maka Rasulullah pun menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Para shahabat yang ada di situ berucap: “Binasalah Daus!” Ternyata Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengucapkan doa: “Ya Allah, berilah hidayah pada suku Daus dan bawalah mereka kemari” (beliau mengucapkannya tiga kali). (HR. Bukhari dan Muslim).

Doa beliau ternyata maqbul. Suku Daus datang berbondong-bondong kepada Nabi untuk masuk Islam.

Demikian pula diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa dia berkata: Pernah dikatakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Hanya saja aku diutus sebagai rahmat yang diberikan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3 / 222).
Maka Islam adalah agama kasih sayang, dibawa oleh seorang penyayang dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Negara Islam Mengapa Takut?

Kalau demikian kenyataannya mengapa kita mesti takut terhadap munculnya negara Islam, negara yang mengayomi rakyat semesta dan membawa bangsa kepada kemakmuran yang hakiki, yang memberi kesempatan kepada rakyat non Islam untuk menjalankan agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka akan masuk Islam tanpa paksaan. Dan ini berarti rahmat yang lebih sempurna lagi bagi mereka.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban mereka.” (HR. Abu Dawud).

Demikianlah warga negara non-Islam diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak boleh dirampas hartanya atau dibunuh jiwanya dengan dhalim selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara Islam, walaupun kita sama-sama tahu bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari kaum Muslimin, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu: “Rendahkanlah mereka tapi jangan dhalimi mereka.” (Fatawa 28 / 653)

Demikian pula orang-orang non-Muslim yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian damai. Seperti para pendatang dari negara asing yang tidak dalam keadaan berperang (dengan Muslim) atau dalam kata lain terikat perjanjian damai. Maka kita tidak boleh mengganggu, apalagi membunuh mereka selama mereka mengikuti peraturan-peraturan negara Islam. Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di negara Islam. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang mengganggu atau mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir mu’ahhad (yaitu terikat perjanjian):

“Ketahuilah barang siapa mendhalimi seorang mu’ahad; atau mengurangi hak-haknya; atau membebaninya di luar kemampuannya; atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa keridlaannya. Maka aku akan menjadi penentangnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 1 / 807).

Apalagi membunuh seorang mu`ahad, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lebih keras lagi mengancamnya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal harumnya surga didapati dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu para duta-duta asing atau tamu-tamu asing yang non-Muslim tidak perlu khawatir masuk negara Islam dan tidak perlu takut berdirinya negara Islam di bumi persada Indonesia ini karena Islam merupakan rahmat untuk seluruh manusia.

Bahkan kalau pendatang non-Muslim itu merupakan utusan, walaupun utusan itu dari negara kafir yang sedang berperang dengan negara Islam sekali pun, mereka tidak perlu takut karena Islam dengan rahmatnya tidak membolehkan menangkap, menahan atau membunuh para utusan (yang diistilahkan dalam syari’at dengan wufud).

Pernah suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam didatangi dua orang utusan dari Musailamah al-kadzab, seorang nabi palsu yang memusuhi Rasulullah. Kemudian Beliau bersabda: “Apakah kalian mau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?” Mereka berkata: “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah.” maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: “Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya! Kalau saja aku membolehkan untuk membunuh seorang utusan tentu akan aku bunuh kalian berdua!”

Bahkan walaupun utusan kafir tersebut kemudian masuk Islam, Rasulullah tetap memerintahkannya untuk kembali kepada kaum yang mengutusnya sebagaimana diriwayatkan dari Abu Rafi’ sebagai berikut: Aku diutus oleh orang-orang kafir Quraisy menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Ketika aku melihat beliau, masuklah Islam ke dalam hatiku. Maka aku mengatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, demi Allah aku tidak akan kembali kepada mereka selama-lamanya.”

Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak akan melanggar perjanjian dan tidak akan menahan para utusan. Maka kembalilah engkau! Kalau pada dirimu tetap ada keimanan seperti sekarang ini maka kembalilah engkau kemari.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Ahmad. lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 / 316).

Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya aku tidak melanggar janji dan tidak akan menangkap seorang utusan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Inilah Islam, inilah keadilan. Tidak akan didapati kebijaksanaan yang seperti ini dalam agama lain. Hanya saja orang-orang bodoh dan para ahli bid’ah merusak gambaran yang indah ini dengan melanggarnya, atau dengan mengada-adakan aturan-aturan baru (bid’ah) dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sendiri yang mereka anggap baik dengan emosi dan hawa nafsunya. Yang akhirnya justru merusak gambaran Islam dan membuat manusia takut kepadanya.

Rahmat Islam dalam Perang

Demikian pula dalam peperangan, Agama Islam tidak lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang boleh dibunuh dan siapa yang tidak. Bolehkah merusak jasad musuh atau tidak, dan seterusnya. Setiap melepas suatu pasukan untuk berperang Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberikan wasiat kepada mereka, yang berisi nasihat dan peraturan peperangan. Di dalamnya kita akan dapati rahmat dan kasih sayang. Simaklah wasiat beliau berikut ini:

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dari Aisyah radliyallahu `anha, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam jika mengutus seseorang komandan yang membawa sebuah pasukan –besar atau kecil– beliau mewasiatkan kepada pribadinya untuk bertakwa kepada Allah dan mewasiatkan untuk kaum muslimin dengan kebaikan.

Kemudian bersabda: “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah! Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah).

Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam) maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah.

Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah ingin meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah pada mereka atau tidak.” (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta’mirul Imam no. 1731)

Di awal wasiatnya Beliau memperingatkan untuk jangan mencuri, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak, dan seterusnya. Sebuah nasihat yang merupakan kasih sayang Islam kepada seluruh manusia walaupun terhadap orang kafir.

Kemudian Beliau menganjurkan untuk memberikan pilihan kepada musuh. Apakah mereka akan masuk Islam atau membayar jizyah yang berarti mereka akan selamat; atau tidak mau memilih keduanya yang berarti perang. Ini merupakan kasih sayang yang sangat besar, memberikan kesempatan kepada musuh untuk selamat dunia dan akhirat. Kalau mereka memilih Islam berarti mereka selamat di dunia dan di akhirat. kalau memilih jizyah berarti selamat di dunia. Sedangkan kalau mereka tidak ingin selamat, maka barulah mereka diperangi. Pantaskan?!

Selanjutnya Beliau menasihatkan dalam memberikan keputusan terhadap musuh tidak boleh mengatasnamakan Allah. Karena bisa jadi dia tidak tepat atau tidak mencocoki hukum Allah dalam memutuskan. Wanita juga termasuk pihak yang tidak boleh dibunuh dalam peperangan. Islam dengan rahmatnya tidakmembolehkan pembunuhan terhadap wanita.

Pernah pada suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berjalan bersama pasukannya dalam suatu peperangan. Kemudian Beliau melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau pun mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata mereka mengerumuni seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan. Waktu itu pasukan terdepan dipimpin oleh Khalid bin Walid. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: “Berangkatlah engkau menemui Khalid dan katakan kepadanya: Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau untuk membunuh dzuriyah (wanita dan anak-anak, ed) dan pekerja / pegawai.” (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Katakan pada Khalid jangan ia membunuh wanita dan pekerja.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thahawi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 / 314).

Dalam riwayat yang lebih shahih dikatakan: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melihat seorang wanita terbunuh dalam suatu peperangan. Maka beliau pun mengingkari pembunuhan wanita dan anak-anak.” (Muttafaqun `alaihi)

Dari riwayat-riwayat ini jelas bahwa wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh dalam peperangan. Sedangkan pegawai atau pekerja yang dimaksud adalah warga sipil yang tidak ikut dalam peperangan. Mereka ini juga tidak boleh dibunuh. Demikianlah peraturan Islam, betapa indahnya peraturan tersebut. Kaum muslimin sudah mengenal istilah “warga sipil” yang tidak boleh dibunuh sejak turunnya Al-Qur’an ribuan tahun yang lalu. Inilah kasih-sayang Islam yang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk kepada musuhnya sekali pun.

Rahmat dalam Hukum Had

Termasuk dalam hukum had dan qishas, kasih sayang Islam tidak pernah hilang. Di samping hukum itu sendiri memang membawa rahmat, penerapannya pun tidak sembarangan. Membutuhkan penyelidikan dan kepastian serta masih terkait dengan tuntutan korban atau maafnya.
Seperti hukum qishas, hukum seorang yang membunuh adalah dibunuh pula. Hukum ini membawa rahmat kepada seluruh kaum muslimin yaitu keamanan dan ketentraman. Bahkan hukum yang sepintas terlihat akan membawa korban lebih banyak, ternyata bagi orang yang cerdas akan terlihat bahwa sesungguhnya hukum ini justru menjaga kehidupan. Allah berfirman : “Sesungguhnya pada hukum qishash ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 179)

Namun hukum ini pun terkait dengan tuntutan keluarga korban. Jika mereka memaafkan maka tidak dilakukan hukum bunuh melainkan membayar diat, semacam uang denda atau tebusan senilai harga seratus ekor unta yang diberikan kepada keluarga korban. Ini pun merupakan rahmat dan keringanan dari Allah untuk mereka sebagaimana Allah katakan sendiri dalam ayat-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Al-Baqarah: 178)

Ini pun kalau benar-benar terbukti ia membunuh dengan sengaja, kalau ternyata tidak sengaja maka tidak ada qishas yang ada adalah diat. Bahkan kalau keluarga korban akan menginfakkan tebusan tersebut kepada sipembunuh dan mema’afkannya, berarti ia tidak perlu membayar diat.

Walaupun yang dibunuh adalah seorang kafir mu’ahad yang terikat perjanjian, tetap wajib bagi si pembunuh yang Muslim membayar diat kepada keluarga korban serta memerdekakan seorang budak. Tetapi tidak ada qishas baginya. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia mukmin, (maka hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.

Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 92)

Sedangkan hukum potong tangan bagi pencuri atau hukum cambuk (bagi penzina yang belum menikah) dan rajam (bagi penzina yang telah menikah) dan lain-lain merupakan kejahatan yang jika sudah sampai kasusnya kepada pemerintah maka harus ditegakkan hukum padanya. Inipun sesungguhnya merupakan rahmat bagi seluruh kaum muslimin bahkan seluruh manusia.

Hukum potong tangan bagi pencuri -misalnya– membawa keamanan dan ketenangan bagi seluruh rakyat. Hukum cambuk dan rajam bagi penzina membawa keselamatan bagi seluruh manusia dari berbagai penyakit-penyakit kelamin disamping menjaga keturunan dan nasab, agar tidak tercampur dan kacau.

Hukum-hukum ini pun tidak begitu saja diterapkan, tetapi melalui proses dan aturan-aturan yang jelas. Seperti pada hukum potong tangan, tidak semua pencuri di potong tangannya. Jika ia mencuri di bawah tiga dirham, maka ia tidak dipotong tangannya. Berarti ada jumlah tertentu yang menyebabkan seorang pencuri mendapatkan hukuman potong tangan. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Jangan dipotong tangan seorang pencuri kecuali pada pencurian seperempat dinar ke atas.” (Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafadz Muslim).

Sedangkan dalam riwayat Bukhari dengan lafadh sebagai berikut: “Dipotong tangan seorang pencuri pada pencurian seperempat dinar ke atas.” (HR. Bukhari)
Seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar adalah duabelas dirham. Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar yang juga dirkeluarkan oleh bukhari dan muslim disebutkan bahwa Rasulullah memotong tangan seorang pencuri yang mencuri sebuah tameng seharga tiga dirham: “Dari Ibnu Umar radliyallahu `anhuma bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam memotong tangan pada pencurian sebuah tameng seharga tiga dirham.” (Muttafaqun `alaihi)

Seperti kita katakan tadi bahwa hukum ini dilaksanakan jika sudah sampai kasusnya pada pemerintah. Adapun jika belum sampai kasusnya pada pemerintah, maka dianjurkan untuk saling memaafkan dan tidak saling menuntut. Abu Majidah menceritakan: Pernah pada suatu hari aku duduk bersama Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu, maka beliau pun berkata: Aku ingat orang pertama yang dipotong tangannya oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Waktu itu didatangkan seorang pencuri kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Lalu beliau pun memerintahkan untuk dipotong tangannya. Aku melihat wajah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sepertinya memendam kekecewaan. Maka para shahabat pun berkata: “Wahai Rasulullah, sepertinya engkau tidak suka orang itu dipotong tangannya?” Maka beliau pun bersabda: “Apa yang menghalangiku untuk memotongnya?” Kemudian beliau bersabda: “Janganlah kalian menjadi pendukung-pendukung setan terhadap saudaramu! Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang imam jika telah sampai kepadanya hukum had kecuali harus menegakkannya. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan cinta pada pemaaf. Maka saling memaafkanlah kalian dan saling memaklumi. Bukankah kalian suka kalau Allah mengampuni kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Baihaqi. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah 4 / 181).

Demikianlah kasih sayang Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah yang Maha Penyayang untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam.

Kemudian mengenai hukum cambuk dan hukum rajam bagi para pezina.

Apakah ini kalian anggap menghalangi kebebasanmu dalam bergaul ? Kalau kalian cerdas dan tidak sempit pandangan, kalian akan melihat bahwa hukum ini menjaga dan melindungi istrimu, anak perempuanmu, bibimu, saudara perempuanmu dan seterusnya. Bukankah ini rahmat dan kebaikan bagimu?

Pernah seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam meminta ijin untuk berzina. Maka dengan sabar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menerangkan kepadanya cara berfikir yang benar: “Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada ibumu?” Anak itu menjawab: ” Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku tidak akan ridla.” “Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada istrimu?” Anak muda itu menjawab: “Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku tidak akan ridla.” Demikian seterusnya Beliau menanyakan bagaimana kalau terjadi perzinaan itu pada keluarganya, anak perempuannya, kakak perempuannya, bibinya, ternyata dia tidak ridla. Maka beliaupun bersabda: “Kalau begitu orang lain pun tidak ridla perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka, istri-istri mereka, anak-anak perempuan mereka, saudara-saudara perempuan mereka, atau pun bibi-bibi mereka.”

Inilah hikmah ditegakkannya hukum bagi para pezina dengan cambuk atau rajam. Menjaga istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, ibu-ibu kita, saudara-saudara perempuan kita, bibi-bibi kita, dan seterusnya. Di samping itu juga penerapannya tidak sembarangan, harus didatangkan empat saksi untuk ditegakkannya hukum ini. Dan saksi-saksi itu harus mengetahui betul kejadiannya. Bahkan harus yakin betul kalau “timba telah masuk ke dalam sumurnya”. Adapun dugaan, prasangka, atau melihatnya berpelukan, berciuman dan lain-lain belum bisa diterima sebagai saksi sampai ia yakin betul bahwa “timba telah masuk ke dalam sumurnya”.

Empat saksi dalam keadaan yang seperti ini sangat susah didapat. Keadaan seperti ini tidak akan didapat kecuali pada beberapa kemungkinan:
Kemungkinan pertama adalah seorang yang datang mengakui bahwa dirinya telah berzina. Ini pun Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berusaha untuk memberikan kesempatan kalau dia mau mencabut ucapannya kembali sebagaimana dalam riwayat berikut: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa datang seseorang dari kaum Muslimin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sedang beliau berada di masjid. Orang itu memanggil Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah berzina.” Rasulullah pun memalingkan wajahnya. Kemudian orang itu bergeser ke hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sambil berkata kembali: “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina.”

Beliau pun berpaling kembali ke arah lain. Dan orang itu pun kembali mengikuti ke hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan mengucapkan kembali ucapannya, demikian sampai empat kali. Setelah empat kali orang itu mempersaksikan atas dirinya dengan zina, Rasulullah memanggilnya dan bersabda: “Apakah engkau gila?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Beliau berkata lagi: “Apakah engkau seorang yang muhsan ?” Orang itu menjawab: “Ya.” Maka Nabi pun memerintahkan kepada kaum Muslimin: “Pergilah kalian membawa orang ini dan rajamlah ia.” (HR. Muttafaqun `alaih)

Dalam riwayat Bukhari, orang tersebut ketika dirajam sempat lari. Yaitu pada saat mulai terasa batu-batu itu menyakiti tubuhnya. Namun orang-orang mengejarnya dan melanjutkan hukuman rajam sampai matinya. Ketika disampaikan kejadian larinya orang tersebut, Rasulullah bersabda: “Tidakkah kalian biarkan orang itu lari. Barangkali orang itu bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya.” Dalam riwayat lain, beliau bersabda: “Mengapa kalian tidak membawanya kembali kemari.” (HR. Abu Dawud)

Oleh karena itu, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan: Bolehnya seorang yang sudah mengaku berzina mencabut kembali pernyataannya dan jika orang tersebut lari tidak dikejar, semoga dia mau ruju’ dan mencabut kembali ucapannya. Sekali lagi ini adalah khusus bagi yang datang mempersaksikan dirinya bahwa ia telah berzina. Inilah kasih sayang Islam kepada manusia. Tidak sekejam apa yang digambarkan oleh orang-orang kafir dan munafiqin

Kemungkinan kedua adalah seorang yang sangat biadab, berzina di tempat terbuka dan menjadi tontonan manusia tanpa merasa malu apalagi merasa berdosa. Atau bahkan — maaf-maaf — menjadi pemain dalam adegan-adegan porno didepan para penonton yang membayarnya. Sungguh fitrah kita pun ingin merajam orang yang seperti ini sebelum kita mengerti hukum rajam. Atau kemungkinan ketiga terbukti dengan kehamilan. Berkata Umar bin Khattab dalam khutbahnya: “…Sesungguhnya rajam itu adalah hak di dalam kitab Allah bagi orang yang berzina jika ia seorang yang muhsan, baik ia laki-laki maupun perempuan jika telah tegak bukti-bukti (saksi-saksi). Atau adanya kehamilan, atau ia mempersaksikan dirinya dengan zina.” (Muttafaqun `alaih).

Rahmat Kepada Hewat

Kepada hewan sekali pun Islam tetap mengajarkan untuk memberikan kasih sayangnya. Dalam memelihara kita harus memberinya makan yang cukup. Dalam menunggangi kita dilarang memberikan beban yang terlalu berat. Dalam menyembelih kita harus menggunakan pisau yang tajam dan di tempat yang langsung mematikan, yaitu di lehernya. Dan seterusnya.

Pernah suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memasuki perkampungan kaum Anshar. Kemudian beliau masuk ke suatu tembok kebun salah seorang dari mereka. Tiba-tiba beliau melihat seekor unta yang kurus. Ketika melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, unta itu menangis, merintih dan meneteskan air mata. Maka beliau pun mendekatinya lalu mengusap perutnya sampai ke punuknya dan ekornya. Unta itu pun tenang kembali. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Siapa penggembala unta ini?”
Atau dalam riwayat lain beliau bersabda: “Siapa pemilik unta ini?” Maka datanglah seorang pemuda dari Anshar, kemudian berkata: “Itu milikku ya Rasulullah.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berkata: “Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam memelihara ternak yang telah Allah berikan kepadamu itu? Sesungguhnya ia mengeluh kepadaku bahwa engkau melaparkan dan melelahkannya.”

Yakni beliau menegur si pemilik unta tersebut karena dia kurang dalam memberi makan, tetapi mempekerjakannya dengan beban yang terlalu berat. Maka beliau menegurnya dengan ucapan: “Tidakkah kamu takut kepada Allah.” Ini mengandung ancaman bagi orang yang menyiksa hewan peliharaannya. Bukankah ini suatu rahmat dan kasih sayang yang besar.

PENUTUP

Demikianlah apa yang bisa saya tulis tentang kasih sayang dan rahmat Islam kepada seluruh manusia. Mudah-mudahan Allah menambahkan kepada kita dan para pembaca sekalian keilmuan dan keimanan. Amin.
Wallahu a`lam bis-shawab.

MARAJI’:
1). Tafsirul Adhim, Ibnu Katsir, cet. Darus Salam, tahun 1413 H / 1992 M.

2). Fathul Bari, Ibnu Hajar, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1992 M.

3). Shahih Muslim dengan Syarah Imam Nawawi, Muslim bin Hajjaj, cet. Darul Ma’rifah, tahun 1414 H / 1994 M.

4). Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh Al-Albani, cet. Maktabah Al-Ma’arif, tahun 1415 H / 1995 M.

5). Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Imam Ash-Shan`ani, cet. Darul Kitab, th. 1414 H / 1994 M.

6). Al-Hilm, Al-Hafidh Ibnu Abi Dunya dengan tahqiq Majdi Sayyid Ibrahim, cet. Maktabatul Qur’an, tanpa tahun.

7). Nurul Yaqin, Syaikh Muhammad Al-Khudari, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1994.

8). An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Ibnu Atsir, cet. Darul Fikr, tahun 1399 H / 1979.

Sumber:https://salafy.or.id/

Oleh:
Abu Reyhan