Salafy Cirebon
Salafy Cirebon oleh Abu Reyhan

belajar mengucapkan “saya tidak tahu”

11 tahun yang lalu
baca 8 menit
Belajar Mengucapkan “SAYA TIDAK TAHU”

Belajar Mengucapkan “SAYA TIDAK TAHU”

Penulis : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Di samping golongan para pengingkar sunnah yang menolak hadits-hadits shahih dengan akal dan hawa nafsunya, ada pula golongan yang “sok tahu”. Mereka berbicara sesuatu tanpa ilmu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Dajjal itu akan keluar dari segitiga bermuda, Dajjal adalah Amerika karena memandang dengan sebelah mata yaitu mata dunia, Ya’juj wa ma’juj adalah pasukan mongol dan lain-lain.

Maka pada kesempatan kali ini akan kami bawakan beberapa dalil dan ucapan para shahabat dan ulama yang membimbing kita untuk bejalar mengatakan “tidak tahu” terhadap hal-hal yang memang tidak diketahui, apalagi pada perkara-perkara ghaib yang tidak ada perincian dan penjelasannya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah Subhanahu Wara’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً. (الإسراء: 36)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan ten-tangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabannya. (al-Israa’: 36)

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wata’ala mengajarkan kepada kita agar tidak berbicara tentang sesuatu, kecuali dengan ilmu. Apalagi jika masalah itu berkaitan dengan perkara-perkara ghaib, apakah yang berkaitan dengan dzat Allah, perbuatan Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, atau pun perkara-perkara yang belum terjadi dan akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, hisab, surga dan neraka atau pun yang selainnya.
Dalam masalah-masalah tersebut, kita tidak mungkin bisa mengetahuinya dengan panca indera atau akal kita. Kita hanya mengetahui sebatas apa yang diberitakan dalam al-Qur’an dan hadits yang shahih sesai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat Radhiallahu ‘anhum

Mu’adz bin Jabbal Radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka beliau menjawab allahu wa rasuluhu a’lam. Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayat-kan dari Mu’adz bin Jabbal Radhiallahu ‘anhu Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada Mu’adz:

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ؟

Ya Mu’adz tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?
Mu’adz Radhiallahu ‘anhu menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.

Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَلاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْئًا.

Hak Allah atas hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bertanya lagi:

أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟

Tahukah engkau apa hak mereka jika telah menunaikannya?
Mu’adz menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.

Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan adab seorang shahabat ketika ditanya dengan sesuatu yang tidak dia ketahui, mereka mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”1).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam sendiri pun diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk menjawab “allahu ‘alam” ketika ditanya tentang ruh, karena itu adalah urusan Allah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً. (الإسراء: 85)

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urus-an Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (al-Isra’: 85)

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak malu untuk mengatakan “tidak tahu” pada perkara-perkara yang memang Allah tidak turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau menunda jawabannya hingga turun jawaban dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Hikmah dari jawaban-jawaban beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam ini adalah: kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui betul bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Jika ada keterangan wahyu dari Allah beliau jawab, dan jika tidak, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam menundanya.

Imam asy-Sya’bi Rahimahullah pernah ditanya tentang satu masalah, beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Maka si penanya heran dan berkata: “Apakah engkau tidak malu mengatakan ‘tidak tahu’, padahal engkau adalah ahlul fiqh negeri Iraq?” Beliau menjawab: “Tidak, karena para malaikat sekalipun tidak malu mengatakan ‘tidak tahu’ ketika Allah tanya:

أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. (البقرة: 31)

“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!”. (al-Baqarah: 31)

Maka para malaikat menjawab:

قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. (البقرة: 32)

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah: 32)
(Lihat ucapan asy-Sya’bi dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadllihi (2/51) melalui Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim karya Salim bin ‘Ied al-Hilali).

Dakwah ini adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam jelaskan. Bukan buatan sendiri, berpikir sendiri, atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada ilmu padanya.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ (86) إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (87) وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ. (ص: 86-88)

Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri).” Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui (kebenaran) berita al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi. (Shaad: 86-88

Karena ayat inilah Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu marah ketika ada seseorang yang berbicara tentang tanda-tanda hari kiamat dengan tanpa ilmu. Beliau Radhiallahu ‘anhu berkata:

مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمُ فَلْيَقُلْ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمُ فَلْيُقُلْ: اللهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ اللهَ قَالَ لِنَبِيِّهِ عَلَيْهِ وَسَلاَّمَ: ((قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ)).

“Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah: ‘Allahu a’lam!” Karena sesungguhnya Allah telah mengatakan kepada nabi-Nya: ((“Kata-kanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (me-maksakan diri”))”.
(Atsar riwayat ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil Ilmi, juz 2/51; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 797; al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi al-Mu’allim, hal. 59)

Demikian pula Abu Bakar Shiddiq radhiallahu ‘anhu ketika ditanya tentang tafsir suatu ayat yang tidak beliau ketahui, beliau menjawab: “Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yang akan menaungiku, mau lari ke mana aku atau apa yang akan aku perbuat kalau aku mengatakan tentang ayat Allah tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki”. (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, juz 2/52; Bai-haqi dalam al-Madkhal, no. 792. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’allim, hal. 60)

Diriwayatkan ucapan yang semakna dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu dan juga dinukilkan dari para shahabat oleh para ulama setelahnya seperti Maimun bin Mihran, Amir asy-Sya’ bi, Ibnu Abi Mali-kah dan lain-lain. (Lihat sumber yang sa-ma hal. 60)
Pernah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ditanya tentang satu masalah, kemudian beliau menjawab: “Aku tidak mempunyai ilmu tentangnya”, (padahal pada saat itu beliau sebagai khalifah –pent.). Beliau berkata setelah itu: “Duhai dinginnya hatiku (3x)”. Maka para penanya berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, apa maksudmu?” Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menjawab: “Yakni dinginnya hati seseorang ketika ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui, kemudian ia menjawab: “Wallahu a’lam”“. (Riwayat ad-Darimi 1/ 62-63; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal. 171; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 794 dari jalan yang banyak. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim hal. 60)

Kejadian yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma , ketika beliau ditanya: “Apakah bibi mendapatkan warisan?” Be-liau menjawab: “Saya tidak tahu”. Kemudian si penanya berkata: “Engkau tidak tahu dan kami pun tidak tahu, lantas…?” Maka Ibnu UmarRadhiallahu ‘anhuma berkata: “Pergilah kepada para ulama di Madinah, dan tanyalah kepada mereka”. Maka ketika dia berpaling, dia berkata: “Sungguh mengagumkan, seorang Abu Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar radhiallahu ‘anhum) ditanya sesuatu yang beliau tidak tahu, beliau katakan: “Saya tidak tahu”. (Riwayat ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal. 171-172; al-Baihaqi dalam al-Madkhal, 796. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim hal. 61)

Datang seseorang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah bertanya tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan: “Saya tidak tahu”. Sampai kemudian orang itu datang dan berkata: “Wahai Abu Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu (yakni meminta jawaban)”. Maka Imam Malik menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangat kepalanya dan berkata: “Masya Allah Ya hadza, aku berbicara adalah untuk mengharapkan pahala. Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang kamu tanyakan.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi, 2/53; Baihaqi dalam al-Madhkal no. 816; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, 2/174; Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim, hal. 63).

Dari beberapa ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan apa yang kita ketahui dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dan dilarang untuk berbicara pada sesuatu yang tidak kita ketahui.

Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang ulama sebagai berikut:
“Belajarlah engkau untuk mengucapkan ’saya tidak tahu’. Dan janganlah belajar mengatakan ’saya tahu’ (pada apa yang kamu tidak tahu –pent.), karena sesungguh-nya jika engkau mengucapkan ’saya tidak tahu’ mereka akan mengajarimu sampai engkau tahu. tetapi jika engkau mengatakan ‘tahu’, maka mereka akan menghujanimu dengan pertanyaan hingga kamu tidak tahu”. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 2/55 melalui nukilan Hilyatul ‘Alim al-Mu’alim, Salim bin ‘Ied al-Hilaly, hal. 66)

Perhatikanlah pula ucapan Imam asy-Sya’bi rahimahullah : “Kalimat ’saya tidak tahu’ adalah setengah ilmu”. (Riwayat ad-Darimi 1/ 63; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2/173; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 810. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim hal. 65)
Maka kalau seseorang ’sok tahu’ tentang sesuatu yang tidak ada ilmu padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya dan bodoh tentang dirinya (Tidak menyadari kebodohannya).

Catatan Kaki:
1) Jawaban di atas diucapkan jika pertanyaannya berkaitan dengan masalah syari’at. Namun, jika perta-nyaannya berkaitan dengan masalah takdir dan sejenisnya, jawabannya cukup dengan “wallahu a’lam”, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam sendiri pun tidak mengetahuinya. (Demikianlah yang kami dapatkan dari Syaikh ‘Utsaimin dalam majlisnya).

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 74/Th. II 07 Rajab 1426 H/12 Agustus 2005 M

Oleh:
Abu Reyhan