Islam Nusantara Penerus Islam Liberal
Ditulis oleh al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed
Umat Islam di Indonesia yang masih mencintai al-Qur’an dan as-Sunnah, kian dibuat sakit hati dengan munculnya orang-orang yang memiliki keyakinan bebas berbicara atas nama agama seenaknya. Merekalah orang-orang liberal yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL).
Para liberalis seperti mereka memiliki pemikiran bahwa agama Islam bisa dibuat warna-warni, tergantung pada penafsirnya. Menurut mereka, kita bisa menafsirkan agama sesuai dengan akal dan pemikiran yang kita miliki. Semua orang tidak boleh mengklaim bahwa penafsirannya paling benar.
Jika demikian yang mereka inginkan, sungguh hal ini mengerikan. Orang bisa menafsirkan agama Islam sesuai selera masing-masing; sementara semua orang wajib saling menghormati penafsiran setiap individu. Artinya, kebenaran yang diyakini oleh seseorang bisa jadi benar, bisa jadi pula salah. Lebih parah lagi: agama Islam belum tentu benar, karena agama lain bisa jadi memiliki kebenaran.
Astaghfirullah. Mereka tidak meyakini bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar. Jika pernyataan di atas dilontarkan oleh nonmuslim, bisa dimaklumi. Akan tetapi, mereka menyatakan diri sebagai muslim. Sebagian mereka membanggakan diri sebagai anggota salah satu ormas Islam besar di Indonesia.
Berawal dari obrolan di Jl. Utan Kayu No. 68H, Jakarta Timur, mereka membuat sebuah forum sederhana. Tokoh liberal pun bermunculan, seperti Goenawan Mohamad (redaktur senior Majalah “Tempo”), Akhmad Sahal, Nong Darol Mahmada (aktivis perempuan), M. Luthfi Assyaukani, dan Ulil Abshar Abdalla—yang sebenarnya diharapkan menjadi tokoh kiai Nahdhatul Ulama (NU).
Forum tersebut pada hakikatnya adalah kumpulan pegandrung sastra, seni, teater, musik, film, dan seni rupa. Awalnya mereka berbicara di dunia maya lewat milis (mailing list). Kemudian berlanjut di radio-radio dengan tema “Agama dan Toleransi”. Jalur media cetak juga mereka tempuh dengan menulis bahasan “Kajian Islam”.
Melalui media cetak, muncul tokoh seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaludin Rakhmat, Masdar F. Mas’udi, dll. Mereka selalu membahas pengutakatikan masalah agama yang tidak perlu dibahas, di antaranya tentang emansipasi wanita, perbandingan antaragama, dan kebebasan dari kungkungan agama tertentu. Sebuah harian yang terbit di Surabaya menampilkan rubrik khusus satu halaman yang menampilkan kajian liberal. Demikian pula beberapa harian lokal di bawah manajemennya.
Berikutnya, muncul secara resmi situs liberal www.islamlib.com yang dipublikasikan pada akhir Juli 2001. Dengan situs tersebut, kaum liberalis menegaskan bahwa mereka mengusung pemikiran Islam liberal.
Tentu saja, pihak yang diuntungkan dalam kondisi ini adalah para musuh Islam dari kalangan kaum kafir Yahudi dan Nasrani, para politikus dan orang-orang yang hanya memiliki pemikiran nasionalis tanpa berpikir tentang agama.
Upaya yang dilakukan oleh JIL sudah pernah dilakukan oleh sekian banyak pihak, tetapi tidak berhasil. Di antaranya Musthafa Kemal Ata Turk yang dikenal sebagai “Bapak Turki”. Dia berupaya menjadikan Islam memiliki warna budaya Turki murni, seperti azan dengan bahasa Turki. Siapa pendukungnya? Michel Aflaq, seorang Nasrani.
Demikian pula Islam Liberal. Mereka didukung oleh penyandang dana asing sehingga jaringannya semakin besar. Sebagian pihak yang merasa diuntungkan oleh adanya Islam Liberal memberi bantuan dana lantaran khawatir akan munculnya “Islam Radikal” atau Islam fundamentalis. Sebenarnya, yang mereka maksud adalah kekhawatiran munculnya Islam yang bersungguh-sungguh mengamalkan agamanya.
Ini adalah hal yang aneh. Jika mereka adalah orang kafir, kemudian takut dengan Islam yang sesungguhnya, itu wajar. Namun, jika mereka juga sesama muslim, apa yang dikhawatirkan? Sebab, jika Islam ditegakkan, sungguh kehidupan akan damai, indah, dan mengayomi seluruh masyarakat, bahkan nonmuslim sekalipun. Jika Islam ditegakkan, nonmuslim mendapatkan perlindungan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa membunuh seorang kafir mua’had, tidak akan mencium wangi surga.”
Mengapa harus khawatir dan takut dengan agama Allah subhanahu wa ta’ala yang sempurna, lengkap, dan penuh rahmat?
Mereka khawatir, jika Islam fundamentalis bangkit, akan membahayakan dan membantai mereka. Padahal, yang mereka khawatirkan tidak muncul dari Islam, tetapi dari pemikiran sesat, baik Syiah maupun Khawarij yang ekstrem dan ghuluw.
Demikian sekilas perkembangan kaum Islam liberal. Bermula dari obrolan, siaran, tulisan, pembentukan jaringan, hingga pemaksaan pemikiran dengan menuduh orang-orang yang bersemangat belajar agama Islam dengan tuduhan yang buruk.
Ada sedikit perbedaan antara kaum liberal di Indonesia dan di negeri Barat. Kaum liberalis di negeri barat diisi oleh orang-orang kafir yang tidak mau mengikuti ajaran agama mana pun, baik Nasrani, Yahudi, maupun Islam. Sampai-sampai mereka berupaya untuk melegalkan pernikahan sesama jenis dan menyerukan penerimaan terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Adapun kaum liberal di Indonesia masih menggunakan nama Islam, Islam liberal. Akan tetapi, pemikiran yang mereka serukan mirip: reaktualisasi Islam, persamaan gender, dan lainnya. Menurut pikiran mereka, al-Qur’an tidak adil. Aturan hukum waris harus diubah karena dianggap tidak adil.
Setelah itu, muncul M. Quraish Shihab dengan bukunya, Membumikan Al-Qur’an, yang bertujuan memunculkan Islam yang sesuai dengan budaya bumi persada Indonesia. Berikutnya, muncul Islam Nusantara, bentuk Islam khusus yang dirombak dan disesuaikan agar sesuai dengan kondisi di Nusantara, Indonesia.
Sekian banyak kelompok di atas memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin menunjukkan Islam toleran, Islam yang lembut, Islam yang mengayomi; bukan Islam yang kaku, Islam Arab, Islam yang hanya bertujuan untuk perang. Mereka menginginkan agama Islam sesuai dengan budaya Indonesia yang lembut. Padahal dengan melihat berita, kita tahu bahwa hampir setiap hari di Indonesia terjadi pembunuhan, pemerkosaan, mutilasi, pembakaran, dan kasus kriminalitas yang lain.
Demikianlah keadaan umum sebuah negara, ketika tidak dibimbing oleh agama, ia akan hancur. Namun, ketika dibimbing oleh agama, negara itu akan aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Oleh karena itu, jangan menyalahkan dan menuduh bahwa agama menyebabkan negara menjadi kacau sehingga muncul keinginan untuk merombak agama.
Orang kafir di Amerika saja punya slogan, “Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta kemerdekaan.” Maksudnya, mereka mencintai kedamaian, tetapi siap berperang untuk mempertahankan kedamaian tersebut.
Jadi, sebenarnya mereka sepakat bahwa perang diperlukan untuk menegakkan kedamaian. Jika kaum liberalis Indonesia menentang peperangan, lantas bagaimana cara pemerintah memerangi para pemberontak? Karena itulah, jihad diperlukan. Inilah yang disyariatkan oleh Islam yang sempurna dan lengkap.
Said Agil Siraj pada awal kepulangannya ke Indonesia dari studinya sempat mengatakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pikun. Mulai dari situ, disinyalir bahwa orang ini akan menjadi orang berbahaya pemikirannya. Akhirnya, saat ini, setelah menjadi pemimpin ormas besar di Indonesia, dia mulai berbicara hal-hal yang aneh.
Di antara pernyataannya ialah Islam Nusantara lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, bukan Islam Arab. Apa yang dimaksud Islam Arab oleh Said? Apakah Islam yang menggunakan al-Qur’an yang berbahasa Arab? Ataukah agama Islam yang diajarkan oleh orang Arab?
Padahal sudah kita ketahui, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang Arab, dari suku Quraisy, bani Hasyim, keturunan Nabi Ismail q. Lantas, apa yang dipermasalahkan?
Jika orang Indonesia beragama Islam, orang Arab beragama Islam, orang dari negara lain juga beragama Islam, seharusnya orang Islam di dunia seperti ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kalian semua dari Adam, sedangkan Adam dari tanah.”
Tidak ada keutamaan orang Arab di atas ajam, tidak ada keutamaan orang ajam di atas orang Arab kecuali dengan ketakwaan.
Oleh karena itu, hendaknya jangan kita permasalahkan beda Islam Arab, Islam Indonesia, ataupun Islam Turki. Yang dipertanyakan, apakah sebuah amalan berasal dari agama Allah subhanahu wa ta’ala, al-Qur’an, dan as-Sunnah? Jika ya, amalan tersebut berlaku untuk seluruh bangsa dan negara di dunia.
Kalimat dan tuduhan seperti di atas yang sejatinya menjadi pemicu perpecahan. Dampaknya, orang yang tidak mendalami agama Islam mulai meragukan dan mempertanyakan syariat Islam. Salah satunya menyatakan bahwa hijab muslimah adalah budaya Arab sehingga tidak perlu digunakan oleh bangsa lain. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, ditemukan bahwa hijab juga bukan budaya Arab. Budaya Arab dalam berpakaian sebelum Islam datang adalah penggunaan pakaian yang terbuka. Dengan datangnya Islam, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para wanita menutup aurat.
Agama Allah subhanahu wa ta’ala itu dari Allah subhanahu wa ta’ala, disampaikan oleh utusan-Nya, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam ash-Shawa’iq al-Mursalah (hlm. 113), “Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama ini dengan Nabi-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama-Nya lewat ajaran Nabi-Nya. Agama ini sudah sempurna, tidak perlu tambahan untuk Islam dan umatnya, baik dari akal, nukilan, pendapat, mimpi, maupun kasyaf siapa pun.”
Agama Islam sudah sempurna. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Jika Islam harus mengikuti budaya setiap negeri, akan jadi berapa macam agama Islam ini?
Di antara prinsip kaum liberalis adalah membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Mereka menganggap bahwa ijtihad adalah penalaran rasional. Jadi, semua orang boleh berijtihad. Jika demikian adanya, konsekuensinya seluruh kitab para ulama dan kitab tentang kaidah penafsiran tidak perlu dibaca. Sebab, setiap orang boleh menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan kehendaknya. Ujung-ujungnya, agama akan hancur dengan dibukanya pintu ijtihad bagi setiap orang.
Kita meyakini bahwa para kiai di belakang mereka mengetahui kaidah tafsir bahwa ayat ditafsirkan dengan ayat, dengan hadits, dan dengan ucapan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Kita meyakini pula bahwa para kiai mereka tahu—sesuai dengan ajaran al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah—tentang siapa saja yang boleh berijtihad, yaitu yang mengetahui bahasa Arab, tafsir, kaidah ilmu tafsir, hadits, dan penjelasannya. Jadi, ijtihad harus berdasarkan ilmu, bukan lamunan.
Bermula dari lamunan, ada liberalis yang menyatakan bahwa manusia berasal dari monyet. Hal itu didukung oleh Nurcholis Majid. Dia menguatkan pendapat itu dengan dalih ayat al-Qur’an, “Inni ja’ilun fil ardhi khalifah.” Ja’ilun berasal dari kata ja’ala, yang membutuhkan dua maf’ul, sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan satu saja. Jadi, perlu satu maf’ul lagi dalam ayat, “Sesungguhnya Aku menjadikan …. sebagai khalifah.” Titik-titik yang masih kosong itu menurut kaum liberalis bisa jadi monyet.
Kebebasan berpikir yang mereka serukan seperti ini bertujuan untuk merusak agama, baik sengaja maupun tidak. Akibatnya, semua orang, dengan latar pendidikan apa pun, berani berbicara masalah agama. Mereka membahas agama dari sisi sosial, ekonomi, dan ritual seenaknya.
Akan tetapi, ketika dibalik, apakah mereka mau menerimanya? Jika para kiai turut berbicara tentang ilmu yang mereka bidangi, apakah mereka mau menerima? Tentu jawabnya tidak boleh, karena setiap ilmu itu ada ahli yang membidanginya. Sungguh, pemikiran mereka itu sangat tidak adil.
Kaum liberal lebih mengutamakan semangat religio-etik (penafsiran baru yang universal), bukan makna literal-teks (penafsiran lama yang telah ditetapkan).
Mereka menafsirkan ayat al-Qur’an tidak tekstual, tetapi kontekstual; sehingga mereka memutarbalikkan ayat dan hadits. Mereka sebut hal ini sebagai tafsir. Memang benar bahwa ada beberapa ayat yang memang perlu dijelaskan secara kontekstual, tetapi dengan qarinah; tidak sembarangan sabagaimana halnya penafsiran kaum liberal. Semua hal ini diterangkan dalam ilmu ushul tafsir.
Masuknya pemikiran liberal ke beberapa ormas Islam di Indonesia adalah musibah besar. Kericuhan pada Muktamar NU 2015 memberi sinyalemen bahwa masih ada para kiai yang membaca kitab para ulama Ahlus Sunnah sehingga kaum liberal tidak mudah memasuki organisasi NU.
Di antara prinsip kaum liberal ialah meyakini bahwa kebenaran itu relatif.
Padahal dalam al-Qur’an dan as-Sunnah disebutkan bahwa meragukan kebenaran agama Allah subhanahu wa ta’ala adalah kekafiran.
Dinukil dari ucapan salah seorang liberalis yang mempermainkan dan mendustakan perkara agama, Muhammad Amin, “Nanti, akan ketemu Muhammad, Yesus, dan Gusdur. ‘Muhammad, maaf ya. Kemarin umat saya membakar masjid umatmu,’ Kata Yesus. ‘Oh, ndak apa-apa kok. Umat saya juga pernah membakar gereja umatmu,’ Jawab Muhammad. Gusdur menyahut, ‘Sudah, dibuat saja Gerejid (Gereja-Masjid). Jadi kalau hari Ahad dipakai Misa, hari Jumat dipakai Jumatan. Kan beres, gitu aja kok repot.’
Dinukil pula dari orang yang sama, “Nanti ketika laporan di hari kiamat, Allah cuma tersenyum dan melihat surga sangat luas. Begitu dia melihat surga, di sana ada Muhammad, Yesus, Mahatma Gandhi, Martin Luther, dan Bunda Theresa.”
Penyimpangan kaum liberal yang semakin jelas ini semoga membuat para kiai semakin berpikir untuk kembali kepada agamanya, membuka kembali kitab para ulama, seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan al-Imam asy-Syafi’i rahimahumullah sehingga mengetahui agama Islam sebenar-benarnya.
Di antara pemikiran liberalisme adalah berpihak kepada minoritas yang tertindas, baik dalam hal agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, maupun ekonomi.
Padahal, jika mengaku beragama Islam, seharusnya mereka berpihak kepada yang benar. Kita harus mengakui bahwa seluruh manusia tidak tahu hal terbaik untuk manusia sendiri. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui kebaikan yang paling baik untuk umat manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menggariskan wahyu-Nya sejak diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam bentuk al-Qur’an lengkap 30 juz dan diajarkan dengan sempurna. Al-Qur’an sudah memberi solusi terhadap hal yang mereka khawatirkan berupa peperangan, perpecahan, pertikaian, dan kekacauan.
Munculnya kaum liberal semacam ini bermula dari adanya kaum radikal dan ekstrem yang mengafirkan pemerintah dan kaum muslimin. Akan tetapi, keekstreman dilawan dengan keekstreman pula.
Mereka selalu meneriakkan pembelaan terhadap kaum minoritas. Kaum Kristiani yang membakar masjid dibela. Kaum perempuan dibela karena dianggap minoritas. Mereka terus meneriakkan emansipasi wanita. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah laki-laki itu sama dengan perempuan.” (Ali Imran: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa wanita itu kurang akal dan agamanya. Semestinya para liberalis berpikir bahwa para wanita yang lemah itu perlu dilindungi oleh kaum lelaki, karena mereka lemah agama dan lemah akalnya. Para wanita perlu dibimbing dan dijaga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita.” (an-Nisa’: 34)
Mereka meneriakkan emansipasi agar para wanita dianggap sejajar dengan para lelaki. Mereka menganggap wanita boleh menjadi pemimpin atau khatib. Di Amerika, pernah terjadi shalat Jumat dengan khatib seorang perempuan, dan jamaah laki-laki bercampur dengan perempuan tanpa hijab.
Kebebasan berpikir ala kaum liberal dikhawatirkan juga akan mengarah ke dalam masalah pemerintahan. Mereka akan bebas berbicara dan berkomentar tentang masalah pemerintahan.
Jika pemikiran liberal yang diterapkan di Barat benar-benar diterapkan di Indonesia, seharusnya tidak muncul istilah Islam Nusantara. Akan tetapi, mestinya dinamakan Islam Barat atau bahkan sama sekali tanpa embel-embel Islam. Sebab, jika dinamakan Islam Nusantara, seharusnya tidak boleh meniru cara orang kafir di negeri Barat. Inilah keanehan yang mereka buat, mereka menamakan Islam, tetapi liberal. Dua hal yang tak bisa disatukan.
Kaum liberal meyakini kebebasan memeluk agama. Hal ini didasarkan pemikiran mereka yang menyatakan bahwa kebenaran itu relatif. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sungguh, agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
Ketika kaum muslimin menyebut kaum Nasrani, Yahudi, Hindu, dan Budha adalah kafir, apakah bisa disebut Islam mengajarkan permusuhan, perpecahan, dan pertikaian? Jawabnya, tidak.
Kaum muslimin harus membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Menurut kaum muslimin, orang yang masuk surga adalah yang beramal berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang berjalan di agama lain adalah penduduk neraka.
Islam tidak memaksa orang yang beragama lain untuk memeluk agama Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (al-Baqarah: 256)
Toleransi yang diberikan kaum muslimin kepada nonmuslim adalah memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih menjadi mukmin atau kafir tanpa paksaan. Kaum muslimin hanya menjelaskan mana yang benar mana yang salah, dan mana agama yang lurus mana agama yang kafir. Toleransi kaum muslimin juga berarti bahwa mereka tidak mengganggu kaum Nasrani di gereja-gereja.
Jika kaum muslimin di Indonesia berpegang al-Qur’an dan as-Sunnah, Indonesia akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik yang diampuni oleh Rabb) yang diturunkan berkah dari langit dan bumi. Namun, jika kita berdusta, yang datang dari langit dan bumi adalah azab.
Di Indonesia, pernah dicetuskan bahwa tidak akan bisa menjadi persatuan dalam perbedaan kecuali jika ditanamkan pemikiran bahwa semua agama sama. Padahal, hal itu justru menjadi pemicu perpecahan. Biarkan setiap pemeluk agama mengamalkan ajaran masing-masing dan tidak saling mengganggu. Al-Qur’an menyebutkan,
Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun: 1—6)
Jika kandungan surat ini diajarkan di Indonesia, niscaya negeri ini akan aman. Toleransi melebihi batasan syariat justru akan mendatangkan kerusakan dan azab Allah subhanahu wa ta’ala.
Di antara pemikiran kaum liberal ialah memisahkan antara otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Mereka meyakini bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Mereka melarang pembicaraan agama disangkutpautkan dengan politik, sosial, bahkan dunia. Jadi, ketika ada yang mencoba membahas salah satu isu di atas dengan sisi pandang agama, mereka akan menjulukinya sektarian.
Inilah yang menyebabkan kaum muslimin tidak mau berpegang dengan ajaran agama pada bidang-bidang yang dianggap terpisah dari agama menurut kaum liberal.
Hal semacam ini pernah terjadi pada agama Nasrani beberapa abad yang lalu. Saat itu para pendeta gereja bertentangan dengan para ilmuwan di universitas. Perseteruan itu berujung pada perdebatan yang memberi solusi agar ilmu agama dipisahkan dengan ilmu pengetahuan alam.
Akan tetapi, itu adalah agama Nasrani, yang berbeda dengan agama Islam. Agama Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup segala urusan manusia di dunia. Allah subhanahu wa ta’ala menjamin akan menjaga agama Islam sampai hari akhir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kami yang menurunkan adz-Dzikr, kami yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Dari pemaparan di atas, bisa kita nyatakan bahwa Islam liberal sebenarnya mencampurkan beberapa pemikiran sesat sekaligus: sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
Di antara yang didengungkan sebagai ciri Islam Nusantara adalah:
Said Aqil Siraj menyebutnya sebagai salah satu ciri Islam Nusantara. Berbeda halnya dengan “Islam Arab” yang kaku, penuh teror, dan kekerasan.
Pernyataan ini sudah dibahas di atas.
Ciri ini disebutkan oleh Ulil Abshar Abdalla. Menurutnya, Islam Nusantara menganggap Syiah sebagai bagian yang sah dari umat Islam. Tentu saja, ini adalah cerminan prinsip liberalisme: kebenaran itu relatif dan kebebasan berpikir & berpendapat.
Akan tetapi, Ulil ternyata tidak konsekuen. Ia tidak mau mengatakan Islam “Wahabi” sebagai bagian yang sah dari umat Islam.
Misalnya, tradisi sesajen yang merupakan warisan budaya Hindu. Islam Nusantara mengikuti alur budaya tersebut dengan memberi makna baru, yaitu kepedulian terhadap sesama. Ini diucapkan oleh Abdul Muqsith Gazali, seorang tokoh Islam liberal.
Jadi, yang mereka gambarkan tentang Islam Nusantara ialah Islam yang sejuk dan lembut, tidak pernah keras dan berkonfrontasi. Namun, ironisnya, ketika muktamar membahas Islam Nusantara, terjadi keributan dan kericuhan (baca: konfrontasi, kekerasan, dan caci maki). Jadi, ketika di satu sisi mencerca “Islam Arab” , mereka sendiri terjatuh dalam hal yang mereka sematkan dan tuduhkan terhadap “Islam Arab” .
Tentu saja, hal ini tidak luput dari pengamatan para kiai sepuh mereka. Mereka pun mengungkapkan keprihatinan dan rasa malu atas apa yang terjadi pada muktamar tersebut.
Himbauan & Seruan
Kita yakin bahwa selama mengaku muslimin, tentu mereka memiliki pegangan dan anutan yang sama. Kita berpegang dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai anutan.
Oleh karena itu, tidak perlu dibuat hal-hal baru dalam agama hanya karena ingin menampakkan wajah Islam yang lebih toleran, lebih sejuk. Seakan-akan dia bisa membuat yang lebih bagus dari apa yang ada dalam al-Qur’an dan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) sedangkan dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (al-Ankabut: 51)
Sikap keras dan marah pada keadaan tertentu diperlukan sebagai bentuk sikap rahmat (kasih sayang). Kita bersikap keras terhadap kelompok yang menyimpang sebagai sikap rahmat kita terhadap mereka agar berhenti, dan terhadap kaum muslimin agar tidak mendapatkan keburukannya.
Ingatlah ucapan al-Imam al-Barbahari rahimahullah dalam Syarhus Sunnah,
“… Sungguh, agama ini hanyalah datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak dibuat dan diada-adakan oleh akal manusia. Ilmunya ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan di sisi Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu, janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga keluar dari agama Islam….”
Wallahul Musta’an.
Sumber:http://asysyariah.com/islam-nusantara-penerus-islam-liberal/