Salafy Temanggung
Salafy Temanggung oleh Abu Hafshah Faozi

rejeki & ajal selalu beriringan

2 hari yang lalu
baca 4 menit
Rejeki & Ajal Selalu Beriringan

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi di masa depan, terutama mengenai urusan rezeki dan kematian. Namun, pandangan Islam memberikan solusi yang menenangkan kalbu terhadap kekhawatiran ini melalui ajaran indah yang menekankan keterkaitan erat antara rejeki dan ajal. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, memberikan pandangan yang mendalam mengenai hubungan antara keduanya.

Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Fawaid mengatakan,

فرِّغ خاطرك للهمِّ بما أُمِرت به، ولا تشغله بما ضُمِن لك فإنَّ الرِّزق والأجل قرينان مضمونان، فما دام الأجل باقيًا، كان الرِّزق آتيًا

“Fokuskan pikiran anda untuk bertekad melakukan apa yang diperintahkan kepada anda (kewajiban-kewajiban agama). Dan jangan menyibukkan diri dengan apa yang sudah dijamin untuk anda (rejeki dunia). Karena rezeki dan kematian adalah dua hal yang selalu menyertai dan pasti terjamin. Selama hayat masih dikandung badan, rejeki itu pasti akan tetap datang.” Al-Fawaid, hlm. 79

Ibnul Qayyim rahimahullah menekankan bahwa rejeki dan kematian adalah hal-hal yang sudah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selalu berjalan seiring. Selama seseorang masih hidup, rezekinya akan tetap terjamin, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan rejeki bagi setiap makhluk-Nya. Dengan kata lain, tidak ada alasan untuk merasa takut kekurangan rejeki selama ajal belum tiba.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin oleh Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap makhluk hidup, termasuk manusia, telah dijamin rejekinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, rejeki bukan hanya dalam bentuk harta atau materi, tetapi juga mencakup kesehatan, ketenangan jiwa, keamanan dan kebahagiaan. Rejeki yang luas ini mencerminkan kebesaran Allah Ta’ala dalam mengatur kehidupan hamba-hamba-Nya.

Salah satu poin penting dari nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah adalah bahwa manusia seharusnya memfokuskan pikirannya pada tugas dan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini mencakup menjalankan ibadah, melaksanakan perintah Allah Ta’ala, berbuat baik kepada sesama, dan menjauhi perbuatan dosa. Ketika seseorang terlalu sibuk memikirkan rejeki, ia bisa melupakan tugas utamanya dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rejeki sebagaimana burung diberi rejeki, pagi-pagi ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” HR. Tirmidzi dengan sanad yang sahih

Hadits ini mengajarkan bahwa tawakal, adalah kunci dalam memperoleh rejeki. Tawakal adalah kepercayaan yang kuat kepada Allah Ta’ala dengan berusaha melakukan ikhtiar atau usaha semaksimal mungkin yang diizinkan oleh syariat.

Seperti burung yang tidak tinggal diam menunggu rezeki, manusia juga harus berusaha. Namun, usaha tersebut harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala yang akan memberikan rezeki sesuai dengan ketetapan-Nya. Allah lah yang mampu memberikan manfaat dan menyelamatkan dari marabahaya serta menentukan hasil akhirnya.

Sungguh ajal seseorang telah ditetapkan sejak sebelum ia lahir. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika janin berusia 120 hari, Allah Ta’ala mengutus malaikat untuk menuliskan takdir empat hal: amal, rejeki, ajal, dan nasibnya di akhirat (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الـْمَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud nuthfah (mani), kemudian menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) selama itu juga, kemudian menjadi mudghah (gumpalan daging) selama itu juga. Kemudian diutus seorang malaikat, lalu dia meniupkan ruh kepadanya, dan malaikat itu diperintah untuk menulis 4 kalimat (perkara): tentang rezekinya, amalannya, ajalnya dan (apakah) dia termasuk orang yang sengsara atau bahagia.” HR. Bukhari dan Muslim

Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, rejeki dan ajal sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Keterkaitan antara ajal dan rejeki ini memberi pelajaran penting bahwa setiap orang akan mendapatkan rejekinya sampai ajalnya tiba. Ketika ajal tiba, rezeki pun terhenti. Oleh karena itu, kekhawatiran mengenai masa depan atau rezeki tidak berdasar karena keduanya sudah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rejeki dan ajal adalah dua hal yang selalu beriringan dan sudah dijamin oleh Allah. Tugas manusia bukanlah untuk merisaukan hal-hal yang sudah ditetapkan, tetapi untuk berfokus pada ibadah dan menjalankan perintah Allah Ta’ala dengan baik. Dengan demikian, kekhawatiran tentang rejeki akan hilang, digantikan oleh ketenangan dalam keyakinan bahwa Allah Ta’ala tidak akan membiarkan hamba-Nya tanpa rejeki selama ajal belum menjemput. Allahu a’lam

Oleh:
Abu Hafshah Faozi