Dalam kehidupan rumah tangga, komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan pondasi penting yang menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. Salah satu bentuk komunikasi yang beradab adalah menjaga kelembutan suara, terlebih bagi seorang istri dalam berinteraksi dengan suaminya.
Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah seorang ulama besar abad ini memberikan nasihat yang sangat berharga,
“Sungguh perbuatan istri yang mengangkat suara di hadapan suaminya merupakan adab yang buruk. Karena sejatinya suami adalah pemimpin dan pemukanya sehingga sudah selayaknya seorang istri menghormati suami dan berbicara dengan penuh adab. Yang demikian itu akan lebih melanggengkan hubungan keduanya.” (Silsilah Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, kaset no. 312)
Allah Ta’ala telah menetapkan posisi suami sebagai qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa: 34)
Ini bukan bentuk dominasi yang menindas, namun tanggung jawab yang besar untuk membimbing, mengayomi, dan melindungi keluarga. Maka sebagaimana layaknya seorang pemimpin yang dihormati oleh pengikutnya, demikian pula suami layak dihormati oleh istrinya — salah satunya melalui kelembutan tutur kata.
Mengangkat suara, membentak, atau berbicara dengan nada tinggi kepada suami bukan hanya menyakiti perasaan, tapi juga bertentangan dengan ajaran Islam. Seorang istri yang menjaga suaranya tetap lembut mencerminkan kedewasaan, ketundukan kepada syariat, dan kesadaran akan posisinya dalam rumah tangga.
Sikap ini bukan berarti merendahkan martabat istri, tetapi justru menunjukkan kemuliaannya. Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan terbaik dalam berbicara lembut kepada keluarga dan para sahabat. Maka, seorang istri yang mengikuti jejak kelembutan itu, niscaya akan memperoleh keberkahan dalam rumah tangganya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa rumah tangga adalah ladang ujian. Kadang suami kurang tepat dalam mengambil keputusan, atau istri merasa terabaikan. Namun kelembutan suara tetaplah menjadi solusi terbaik dalam meredakan ketegangan dan mencairkan suasana.
Jika kepada Fir’aun saja Allah Ta’ala memerintahkan nabi Musa berkata dengan lembut, apalagi kepada seorang suami muslim yang masih memiliki iman dan kasih dalam hatinya?
Menjaga suara adalah bagian dari jihadun-nafs (perjuangan melawan hawa nafsu). Ketika seorang istri mampu menahan diri dari membentak atau berbicara dengan nada yang tinggi, sesungguhnya ia telah menjalankan ketaatan yang besar kepada Rabbnya.
Lembutnya suara seorang istri bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan akhlak dan ketinggian adabnya. Ia mampu menjaga lidahnya demi keharmonisan rumah tangga, demi ridha suami, dan lebih dari itu demi keridhaan Allah ‘azza wa jalla.
Semoga para istri diberi taufik oleh Allah untuk menjaga kelembutan lisan mereka, dan semoga para suami membalas kelembutan itu dengan kasih sayang, perhatian, dan keadilan.
“Ya Allah, jadikanlah rumah tangga kami penuh dengan kasih sayang, cinta, dan ketenangan.” Allahu a’lam