Keutamaan Tawadhu – Tawadhu’ adalah sifat yang mulia. hanya orang-orang mulia yang mampu menghargai dan memilikinya.
Bagaimana tidak, inilah sifat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Siapakah yang lebih mulia di muka bumi ini daripada mereka?
Seukur dengan kemuliaan seorang pula, sekadar itulah usahanya untuk berhias diri dengan sifat ini.
Karena seorang yang mulia adalah orang yang bisa menakar kadar diri. Kemudian menempatkannya pada tempatnya secara tepat tidak sedikitpun melebihi. Bahkan ia yakin seyakin-yakinnya bahwa kemuliaan adalah titipan. Sejatinya tidak lain kemuliaan adalah milik Allah سبحانه وتعالى semata bukan milik manusia.
Kenyataannya asal manusia adalah rendah dan hina, lalu dari sisi mana ia menyombongkan diri?
Berikut ini kami sebutkan beberapa keutamaan mempunyai sifat tawadhu’, bukan sebagai pembatasan.
Semoga bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama sehingga menjadi kekuatan motivasi untuk berusaha mewujudkannya dalam seluruh sendi kehidupan, di manapun, kapanpun, bersama siapapun.
Tawadhu’ adalah perintah Allah سبحانه وتعالى, sehingga berusaha berhias diri dengannya adalah bentuk ketaatan kepadaNya. Dengannya seorang telah menjalankan perintah Allah سبحانه وتعالى dalam firman Nya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. [QS. Asy-Syu’ara : 215]
Allah سبحانه وتعالى memerintahkan nabi Nya untuk berlapang dada kepada kaum muslimin.
As-Syaikh As Sa’diy rohimahullah menerangkan, berlemah lembutlah kepada mereka, pergaulilah dengan akhlak mulia, penuh kecintaan, penghormatan, dan kasih sayang [Tafsir As-Sa’diy].
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini adalah bersikap tawadhu’ lah kepada kaum mukminin.
Orang yang merasa tinggi, melihat dirinya seolah seperti burung terbang dilangit, maka Allah perintahkan untuk terbang rendah dan meletakkan sayap ke bumi untuk kaum mukminin, yaitu mereka yang mengikuti Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. [Syarah Riyadhus Shalihin]
Apabila seorang nabi masih saja diperintahkan untuk bertawadhu’, padahal mereka adalah manusia yang paling sempurna tawadhu” nya, maka selain mereka lebih utama untuk memaksa diri berhias dengan akhlak mulia ini.
Dalam ayat yang lain Allah سبحانه وتعالى membenci orang yang sombong meninggikan diri di atas orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa Allah سبحانه وتعالى mencintai orang yang merendahkan dirinya terhadap orang lain. merekalah orang yang bertaqwa.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Luqman:18]
Apalagi yang dibutuhkan seorang hamba setelah kecintaan Allah سبحانه وتعالى kepadanya?
Tawadu’, Sebagaimana telah disebutkan merupakan akhlak para nabi. Allah سبحانه وتعالى pun telah memerintahkan hambanya untuk memiliki sifat ini.
Hal ini menunjukkan bahwa tawadhu’ adalah akhlak yang terpuji termasuk sifat hamba-hamba pilihan.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” [QS. Al-Furqon:63]
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله menjelaskan dalam kitab beliau, madarijus salikin maksudnya hamba Allah سبحانه وتعالى adalah mereka yang berjalan di atas muka bumi dengan tenang santun bertawadhu’, Bukan sombong lagi membawa membanggakan diri. (selesai penukilan secara makna dari Ibnu qayyim rahimahullah).
terpahami sekilas dari ayat ini bahwa orang yang sombong bukanlah hamba Allah yang sebenarnya. sekaligus keadaan ini bermakna celaan, bahkan menunjukkan keharamannya.
Seseorang yang bangga diri, justru Allah balas dengan penghinaan. Adapun seorang yang rendah hati justru balasannya adalah kemuliaan. Inilah hukum Allah سبحانه وتعالى yang dikenal dengan istilah Al Jazaa’ min Jinsil ‘Amal, bahwa balasan itu sesuai dengan jenis amalan pelakunya.
Menegaskan hal ini Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda
“Tidaklah harta berkurang karena sebab sedekah titik tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan sifat pemaaf yang ia miliki kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang tawadhu’ karena Allah kecuali Allah akan meninggikan nya.” [HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu]
Allah سبحانه وتعالى akan mengangkat kedudukan orang yang tawadhu’ di dunia dan akhirat. syaratnya adalah Ikhlas untuk Allah سبحانه وتعالى semata dalam tawadhu’ tersebut bukan menyiapkan untuk mendapatkan kedudukan atau perkara duniawi yang lain.
Orang yang rendah hati, mawas diri, dan bisa menempatkan dirinya pasti banyak teman yang mencintai. Orang lain merasa dihargai sehingga ia pun akan hormat kepadanya. terlahirlah setelah itu kecocokan dan hubungan yang dekat.
Suasana pun akan hangat, ramah dan penuh keakraban. muncul pula saling terbuka saling mengerti dan memahami.
Berbeda keadaannya apabila dua orang saling merasa tinggi, tidak mau mengalah maka tidak akan ada titik temu, pasti terus berselisih.
Oleh sebab itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salam pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku Agar kalian saling bersikap tawadhlu’. sehingga sebagian tidak menyombongkan diatas yang lain tidak pula sebagian melampaui batas atas yang lainnya.” (HR. Muslim dari sahabat ‘Iyadh bin himar Al Mujasyi’i radhiyallahu anhu).
Inilah Puncak keutamaan tawadhu’, yaitu mendapatkan surga dengan segala kenikmatan yang ada di sana.
Surga hanya akan didapatkan oleh mereka yang Allah ridhoi dan cintai. maka surga adalah sebuah nikmat yang teragung, paling besarnya adalah melihat kepada wajah Allah سبحانه وتعالى yang mulia.
Semoga Allah سبحانه وتعالى mengaruniakan surga kepada kita semua, termasuk nikmat-nikmat memandang wajahnya, Amin.
Iya, surga yang tinggi akan diberikan kepada mereka yang merendah saat di dunia. Allah سبحانه وتعالى berfirman: Quran surat Al-Qashas ayat 83.
”orang yang bertakwa akan Allah balas dengan surga titik itulah buah yang baik dari ketakwaan.”
Maka, sikap tawadhu’ adalah bagian ketaqwaan.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir Beliau mengatakan, dalam ayat ini Allah سبحانه وتعالى memerintahkan bahwa negeri akhirat beserta segala kenikmatan yang kekal, tiada hilang atau pun pergi, Allah سبحانه وتعالى jadikan untuk hambanya kaum mukminin yang bertawadhu’. Yaitu mereka yang tidak mendambakan ketinggian di muka bumi berupa perasaan sombong atas hamba Allah membesarkan diri dan angkuh.
Apa yang disebutkan ini, sekali lagi, baru sebagiannya saja. semakin jelas betapa Agung keutamaan tawadhu’ semakin menegaskan pula pentingnya tawadhu’ itu sendiri.
sungguh tepat sekali sebuah ungkapan dari ibunda kaum mukminin Aisyah radhiyallahu anha “sungguh kalian telah melalaikan ibadah yang paling afdol, yaitu tawadhu’ “. (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam at tawadhu’’).
Dalam kitab yang sama penukilan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, pernah mengatakan,
“Sedikitnya sikap wara akan mencukupi dari banyaknya amalan. demikian pula sedikit sifat tawadhu’ mampu mencukupi kesungguhan yang banyak dalam ibadah.”
Tidak lain ini semua kecuali memompa semangat untuk berperangai tawadhu’. sungguh tidak akan rendah seorang yang rendah hati kepada orang lain, justru hakikatnya ia tinggi, karena mampu menunjukkan bisikan nafsu.
Apalah artinya seorang tampak berada, apabila menjadi tawanan hasratnya.
Apa artinya tampak mapan apabila terpenjara oleh bisikan jiwanya.
Apalah artinya tampak mulia apabila menjadi sanderaan hawa nafsunya.
Jadi seorang yang mulia adalah mereka yang mampu menaklukan hasutan jiwa dan mengalahkannya. harga baru orang yang memaksa keinginan jiwa yang berhasrat tinggi melampaui batas untuk rendah, merekalah orang-orang yang tawadhu’. Allahu a’lam.
Diambil dari artikel dengan judul sama di Majalah Tashfiyah Edisi 85, ditulis oleh Ustadz Farhan.