Abul Hasan al-Qoththon rahimahullah memiliki kisah yang menggugah hati tentang kekuatan dan makna tangisan seorang ibu. Beliau berkisah,
“Penglihatanku tertimpa musibah dan aku menduga bahwa aku dihukum seperti itu karena banyaknya tangisan ibuku pada hari-hari perpisahanku dengannya ketika aku mencari hadis dan ilmu.” (Mu’jamul Adiba 2/52)
Kisah ini menggambarkan betapa besar pengaruh dan doa seorang ibu dalam kehidupan anaknya. Abul Hasan al-Qoththon rahimahullah merasakan dampak nyata dari tangisan ibunya ketika mereka berpisah dalam perjalanan mencari ilmu. Beliau merasa bahwa musibah yang menimpanya mungkin merupakan hasil dari tangisan dan doa ibunya.
Padahal beliau meninggalkan ibu beliau dalam rangka untuk suatu tujuan yang baik dan bahkan mulia, yaitu menuntut ilmu agama. Lalu bagaimana kiranya jika tangisan itu disebabkan karena kezaliman terhadap seorang ibu. Maka jelas ini merupakan kedurhakaan terhadap orang tua dan dosa besar.
Tangisan seorang ibu biasanya merupakan ungkapan cinta, kasih sayang dan kekhawatiran yang mendalam. Ketika seorang ibu menangis karena perpisahan dengan anaknya yang mencari ilmu, itu mencerminkan kasih sayang dan kesedihan karena perpisahan dengan anaknya.
Namun tentunya ketika kondisi sang anak wajib untuk belajar ilmu agama, maka tangisan seorang ibu tidaklah ternilai sebagai kedurhakaan anak terhadap ibunya. Karena keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih diutamakan daripada keridhoan kedua orang tua.
Mari kita berusaha menjadikan interaksi kita terhadap orang tua sebagai amal yang membanggakan dan membuat senang orang tua. Tentunya dalam perkara-perkara yang diperbolehkan dalam syariat Islam. Allahu a’lam