Zuhud adalah salah satu jalan agar kita dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ
“Zuhudlah dalam perkara dunia, niscaya Allah akan mencintaimu.” (Dinyatakan shahih oleh al-Imam al-Albani dalam ash-Shahihah)
Zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat nanti. Adapun meninggalkan sesuatu yang bisa digunakan oleh hamba untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, tidak termasuk dalam kategori zuhud yang disyariatkan. Yang disyariatkan adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah, yang akan melupakan kita dari menjalankan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. (Jami’ur Rasa’il Ibnu Taimiyah)
Inilah pemahaman zuhud yang benar. Bukan menggeluti kemiskinan dan mengenakan pakaian compang-camping yang menjadikan seseorang tergolong sebagai orang-orang zuhud. Sikap zuhud bisa menyertai orang kaya, bisa pula bersama orang miskin, bergantung pada cara si hamba menyiasati keadaan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan bimbingan untuk memanfaatkan keadaan,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima hal sebelum datang lima hal yang lain: masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Zuhud bisa menyertai kekayaan dan bisa pula menyertai kemiskinan. Di antara para nabi dan generasi pertama (para sahabat radhiyallahu ‘anhum) ada yang memiliki kekayaan yang banyak, tetapi tetap bersikap zuhud.” (Jami’ur Rasa’il)