ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِۚ أُوْلَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَۖ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٢٦
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula). Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (an-Nur: 26)
Jenis Surat dan Sebab Turunnya
Surat an-Nur termasuk surat madaniyyah.[1]
Surat ini mengandung banyak hukum atau tuntunan Islam. Di antaranya adalah hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina, hukuman bagi pelaku zina, kesaksian tentang perbuatan zina, hukum menikah dengan pezina dan orang musyrik, adab atau tata cara masuk rumah, cara menjaga diri dengan menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, wanita-wanita yang termasuk mahram (haram dinikahi oleh seorang pria), dan sebagainya.
Adapun ayat di atas turun tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ahlul ifk[2]. Sudah dimaklumi bahwa kezaliman dan gangguan terbesar bagi seseorang adalah tuduhan dan celaan bahwa istrinya telah berbuat zina. Apalagi, yang dituduh adalah ummul mukminin dan menyangkut kehormatan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha termasuk dari ath-thayyibat (wanita-wanita yang baik). Beliau adalah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, dan tentu beliau ` termasuk dari ath-thayyibun (laki-laki yang baik).
Tafsir Ayat
1. Firman-Nya, “ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ”
Ada empat pendapat ahli tafsir, yaitu:
Terkait dengan kekejian dan kebaikan, tempat tinggal manusia dibagi menjadi tiga, yaitu:
2. Firman-Nya, “أُوْلَٰٓئِكَ”
Artinya “mereka”, yaitu ‘Aisyah dan Shafwan radhiyallahu ‘anhu, yang dituduh telah berbuat zina.
3. Firman-Nya, “مُبَرَّءُونَ ”
Artinya “yang berlepas diri”, yaitu bersih dan suci dari tuduhan tersebut.
4. Firman-Nya, “مِمَّا يَقُولُونَۖ”
Artinya “dari apa yang mereka katakan”, yaitu kebohongan.
5. Firman-Nya, “لَهُم مَّغۡفِرَةٞ”
Artinya “bagi mereka ampunan”, yaitu dari dosa-dosa mereka.
6. Firman-Nya “وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ”
Artinya “dan rezeki yang mulia”, yaitu jannah (surga).
Petikan Faedah Ayat
Berikut sebagian faedah yang bisa dipetik dari ayat ini.
1. Apakah boleh seorang pria menikahi wanita yang telah melakukan khaba’its (perbuatan keji), yaitu berzina, sebelum dia bertobat?
Para ulama berbeda pendapat.
Istibra’ tersebut adalah dengan (menunggu sampai) tiga kali haid, sebagaimana dalam salah satu riwayat dari beliau. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa istibra’ ini cukup dengan sekali haid, tetapi tiga kali (haid) adalah lebih utama. Beliau juga berpendapat tidak dipersyaratkan tobat.
Boleh pula bersetubuh, menurut pendapat asy-Syafi’i. Adapun Abu Hanifah berpendapat, “Tidak boleh bersetubuh sampai istibra’ dengan sekali haid, atau sampai melahirkan jika wanita tersebut hamil.”[4]
Yang paling kuat adalah pendapat al-Imam Ahmad.
Ibnu Qudamah berkata, “Jika dua syarat ini terpenuhi, si wanita halal dinikahi oleh pria yang berzina dengannya ataupun pria lainnya. Hal ini menurut pendapat kebanyakan ahli ilmu, di antaranya Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Sa’id bin al-Musayyib, Thawus, Jabir bin Zaid, ‘Atha’, al-Hasan, ‘Ikrimah, az-Zuhri, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ibnul Mundzir, dan Ash-habur Ra’yi.”
(Lihat Fathul Qadir 3/145, al-Badai’ 2/269, Bidayatul Mujtahid 2/39, al-Muhadzdzab 2/43, al-Majmu’ 16/219, dan al-Mughni 6/347)
2. Pada awalnya, sepasang suami istri termasuk orang baik-baik (bukan dari al-khabitsun dan al-khabitsat). Akan tetapi, salah satunya kemudian berzina. Apakah pernikahan mereka rusak?
Keempat imam mazhab telah sepakat bahwa jika wanita yang sudah menikah (dan masih bersuami) melakukan perbuatan zina, pernikahannya dengan suaminya tidak rusak, baik zina tersebut dia lakukan sebelum dukhul (jima’) maupun sesudah dukhul. Ini pendapat seluruh ahli ilmu, dan merupakan pendapat Mujahid, ‘Atha’, an-Nakha’i, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ash-hab ar-Ra’yi.
Ibnu Qudamah menukilkan bahwa al-Imam Ahmad menganggap mustahab bagi si suami menceraikan istrinya yang telah berbuat zina. Beliau berkata, “Saya berpendapat bahwa suami tidak perlu mempertahankan istri semacam ini. Sebab, dikhawatirkan si istri akan merusak (urusan) ranjang si suami dan akan dinasabkan kepada si suami ini anak yang sebenarnya bukan anaknya.”
(Lihat Fathul Qadir 3/146, al-Badai’ 2/269, al-Muhadzdzab 2/43, dan al-Mughni 6/348)
Pemimpinnya adalah ‘Abdullah bin Ubai bin Salul yang pertama kali menuduh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, dan diikuti oleh pengikutnya, yaitu Rafidhah, sampai dengan zaman kita ini.
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
“Laki-laki yang berzina tidak menikah kecuali dengan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Demikian pula perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)
Hukum dalam ayat ini berlaku sebelum pelaku zina bertobat. Adapun jika ia sudah bertobat, hukum tersebut tidak berlaku lagi, berdasarkan sabda Nabi ,
اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah dan ath-Thabarani, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 3/122)
Secara logika (berdasarkan dalil ‘aqli), jika seorang wanita pezina tidak bertobat dari perbuatan zinanya, dikhawatirkan dia akan merusak urusan ranjang suaminya. Selain itu, bisa jadi dia melahirkan anak dari selain suaminya, tetapi si anak dinasabkan kepada suaminya.
[1] Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu az-Zubair g. Dikatakan oleh Abu Hayyan bahwa secara ijma’, surat ini adalah madaniyyah. (Ruhul Ma’ani 18/131)
[2] Al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir v menyebutkan dalam Tafsirnya (5/301) bahwa awal surat an-Nur sampai ayat kesepuluh diturunkan untuk Ummul Mukminin ‘Aisyah tatkala beliau dituduh berzina oleh ahlul ifk (para pembohong) dari kalangan munafikin. Tuduhan ini menyebabkan Allah subhanahu wa ta’alacemburu sehingga Dia turunkan ayat tersebut untuk ‘Aisyah dan Nabi-Nya . Ayat tersebut menunjukkan berlepas dirinya ‘Aisyah dari tuduhan tersebut dan menjaga kehormatan Nabi .
Yang pertama kali memunculkan pelaknatan (tuduhan) ini adalah ‘Abdullah bin Ubai bin Salul, si gembong munafikin. Dialah yang mengumpulkan orang-orang dan menyebarkan berita tersebut. Akibatnya, masuklah pemikiran ini ke otak sebagian muslimin dan tersebarlah berita bohong tersebut hingga kira-kira sebulan, lalu turunlah ayat-ayat tersebut. Kisah ini didapati dalam hadits-hadits shahih. Silakan merujuk kisahnya yang panjang dalam Tafsir Ibnu Katsir 5/302—307.
[3] Lihat Mukhtar ash-Shihah karya ar-Razi, hlm. 58. Adapun tujuan istibra’ adalah mencegah terjadinya percampuran nasab.
[4]Ini jika yang menikahi si wanita bukan pria yang menghamilinya. Adapun jika yang menikahinya adalah pria yang telah menghamilinya, boleh bersetubuh tanpa menunggu si wanita melahirkan. Bahkan, pensyarah Fathul Qadir menukilkan bahwa ini adalah kesepakatan para ulama. Ini juga merupakan fatwa azh-Zhahiriyyah.
[5] Yaitu bertobat dari zina. Disyaratkannya tobat ini juga merupakan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid. Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
[6] Ini semua pernikahan yang sangat buruk dan menyelisihi fitrah.
[7] Imam empat mazhab telah sepakat atas larangan menikah dengan wanita Majusiyyah (penyembah api) atau watsaniyyah (penyembah berhala). Dilarang pula menikahi wanita yang murtad karena melakukan kesyirikan. Sebagian ulama menyebutkan hikmah dilarangnya menikah dengan mereka, yaitu bahwa ketiadaan iman menyebabkan wanita mudah mengkhianati suaminya, memperbuat kerusakan, berperangai jelek, dan tidak memiliki sifat amanah, istiqamah, dan kebaikan. Mereka juga beriman dengan khurafat (cerita bohong) dan mudah terpengaruh oleh hawa nafsu. Semua ini tiada lain karena tidak adanya agama yang mengatur mereka. Wallahu a’lam.
[8] Untuk mendapatkan tambahan referensi, silakan merujuk ke kitab-kitab akidah tentang hukum sabbush shahabah (mencela para sahabat Nabi ).