Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah
Dalam pelariannya dari negeri kezaliman, Musa Kalimurrahman ‘alaihissalam tiba di negeri Madyan. Dia menyeru Rabbnya, memohon agar diturunkan belas kasih dan kebaikan baginya. Rabbnya pun mengabulkannya. Di antara kebaikan itu, Kalimurrahman ‘alaihissalam mendapatkan seorang wanita mulia, putri seorang saleh dari penduduk Madyan.
Dijelaskan oleh Ibnu Zaid rahimahullah , sebagaimana dikutip dalam al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an, di antara tafsir ayat الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ adalah bahwa wanita yang jelek itu untuk pria yang jelek, dan wanita yang baik itu untuk pria yang baik. Demikianlah yang didapati oleh Nabiyullah Musa ‘alaihissalam.
Dalam surat al-Qashash, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan secercah kisah yang menunjukkan tingginya ‘iffah (penjagaan diri dan kemuliaan) dan kesalehan Musa dan calon istrinya.
وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدۡيَنَ وَجَدَ عَلَيۡهِ أُمَّةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسۡقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمۡرَأَتَيۡنِ تَذُودَانِۖ قَالَ مَا خَطۡبُكُمَاۖ قَالَتَا لَا نَسۡقِي حَتَّىٰ يُصۡدِرَ ٱلرِّعَآءُۖ وَأَبُونَا شَيۡخٞ كَبِيرٞ ٢٣
“Tatkala Musa sampai di sebuah sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekelompok orang yang sedang memberi minum ternak mereka. Dan dia mendapati di belakang mereka dua wanita yang sedang berusaha menghambat ternak mereka (supaya tidak maju ke mata air). Musa bertanya, ‘Apa maksud kalian berdua (dengan perbuatan tersebut)?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak memberi minum ternak kami sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka, sementara ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut usia’.” (al-Qashash: 23)
‘Iffah (Penjagaan Diri) Wanita Salihah
Kedua wanita itu berdiri di tempat yang jauh dari rombongan penggembala. Keduanya di belakang mereka, di arah datangnya Nabiyullah Musa ‘alaihissalam. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkannya dengan مِنْ دُونِهِمْ. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah , di dalam Tafsirnya, menjelaskan, “Kedua wanita tersebut berupaya menahan ternak mereka dari mata air, agar keduanya tidak diganggu.”
Ketika asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mendukung fatwa salah satu ulama Saudi yang mengingatkan haramnya ikhtilath (bercampurbaurnya wanita dan pria yang bukan mahram di satu tempat), di dalam artikelnya beliau menyebutkan ayat ini dan menjelaskan, “Inilah mereka, dua wanita, yang rasa malu mereka membuat mereka enggan berdesak-desakan dengan penggembala lain di tepi sumber air tersebut. Mereka memilih menunggu para penggembala itu selesai dan pergi dari mata air, baru keduanya melepaskan ternak mereka untuk minum.”
Ahli tafsir menjelaskan, mereka menjadikan hal ini sebagai kebiasaan mereka. Kita bisa melihatnya dari pilihan kata kerja yang mereka gunakan, yaitu نُسْقِي (dengan fi’il mudhari’, menunjukkan pekerjaan yang rutin dilakukan, -pen.). Diriwayatkan bahwa sampai-sampai terkadang keduanya tidak mendapatkan sisa air untuk ternak mereka, karena ternak-ternak sebelumnya telah menghabiskannya.
Ikhtilath adalah kejelekan sepenuhnya. Perbuatan haram ini melahirkan banyak kerusakan di muka bumi, seperti menyebarnya perzinaan, tercerabutnya rasa malu, dan hilangnya harga diri dan kehormatan. Oleh karenanya, kedua wanita tadi rela bersusah payah menahan kambing-kambing mereka dan bersabar menanti penggembala lainnya selesai, agar mereka tidak terjatuh ke dalam perbuatan rendah ini.
Kedua wanita tadi tidak memulai perbincangan dengan Nabiyullah Musa ‘alaihissalam, juga tidak memperpanjang pembicaraan dengan beliau. Nabi Musa ‘alaihissalam pun hanya mengajukan pertanyaan yang ringkas, مَا خَطْبُكُمَا (Apa maksud kalian berdua [dengan perbuatan tersebut]?). Kalimat ini mengandung banyak pertanyaan, seperti mengapa mereka menahan ternak mereka, mengapa mereka tidak memberi minum kambing-kambing itu, apakah tidak ada pria yang mengurusi mereka, dan sebagainya. Mereka pun menjawabnya dengan ringkas, dengan ungkapan yang padat dan menyeluruh sehingga tidak menimbulkan pertanyaan lain. Mereka mengatakan, “Kami tidak memberi minum ternak kami sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka, sementara ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut usia.”
Jawaban yang ringkas dan jelas ini menunjukkan kebagusan akal keduanya. Hal ini mengandung faedah bahwa di antara para wanita ada yang dikaruniai kelebihan berupa kecerdasan dan kefasihan berbicara. Banyak shahabiyyah yang memiliki kelebihan ini.
Dengan memberitahukan kondisi orang tua mereka, secara tidak langsung mereka meminta uzur atas perbuatan mereka memberi minum ternak-ternak mereka sendiri. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran disyariatkannya menjaga agar saudara kita tidak berprasangka negatif kepada kita. Hal ini pun pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Ketika ada sahabat yang melihat beliau berjalan bersama seorang wanita menuju pintu masjid, beliau menjelaskan bahwa wanita tersebut adalah Shafiyyah, istri beliau .
Kalimurrahman ‘alaihissalam yang Penuh Rahmat
Nabiyullah Musa ‘alaihissalam mengajari kita untuk selalu tanggap dengan keadaan manusia. Ketika mengetahui keadaan orang-orang di sekitar, kita bisa memberikan faedah, misalnya dengan memerintahkan kebaikan dan meluruskan yang mungkar, serta mencurahkan berbagai bentuk kebaikan.
Ketika melihat kaum pria mendahulukan kepentingan mereka sendiri dan tidak memerhatikan kebutuhan golongan lemah, yaitu kedua wanita tersebut, beliau ‘alaihissalam tidak tinggal diam. Beliau menanyakan keadaan mereka dengan ungkapan yang singkat dan padat, tanpa berpanjang-panjang berbicara. Dari sini kita dapat mempelajari kehati-hatian beliau di dalam menjaga diri dari fitnah wanita. Dari sini kita juga mempelajari pentingnya dan bolehnya bertanya secara langsung kepada kaum wanita apabila ada perkara yang memang perlu dijelaskan, supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat.
Dari sini pula kita bisa mempelajari adab yang baik terhadap golongan yang lebih lemah akal dan agamanya, sebagaimana hal ini sangat sering dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Adab tersebut antara lain dengan mendengarkan baik-baik penjelasan mereka, tidak meremehkan perkataan mereka, dan menerima uzur yang mereka sampaikan. Ini menunjukkan sifat hilm (kesantunan dan kesabaran) dan kelemahlembutan beliau kepada orang-orang di sekitar.
Mendengar penjelasan mereka, Nabi Musa ‘alaihissalam pun menjadi iba. Namun, beliau adalah sosok yang mulia, yang menjaga diri dari fitnah dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala . Beliau tidak memperpanjang interaksi dengan keduanya. Tanpa bertanya dan banyak bicara, beliau turun memberikan pertolongan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَآ أَنزَلۡتَ إِلَيَّ مِنۡ خَيۡرٖ فَقِيرٞ ٢٤
“Maka Musa memberi minum ternak-ternak mereka untuk (menolong) keduanya. Kemudian, dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdoa, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku, terhadap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku, sangatlah membutuhkannya’.” (al-Qashash: 24)
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam pergi menuju sebuah sumur. Beliau mengangkat batu yang menutupi mata air, padahal batu tersebut tidak bisa diangkat kecuali oleh banyak orang. Itulah alasan salah satu dari dua wanita tadi menyebutkan kepada ayah mereka bahwa beliau ‘alaihissalam adalah orang yang kuat.
Beliau mengajari kita untuk ringan tangan, mudah membantu orang lain tanpa diminta. Inilah sikap seorang pria yang memiliki muruah (kewibawaan) dan syahamah (kekesatriaan). Ini pula sikap pria yang mengetahui kewajiban yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atasnya dan memahami hal-hal yang dicintai-Nya untuk ditunaikan, yaitu memenuhi kebutuhan orang-orang yang lemah. Sifat ini melekat pula pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Di antara pelajaran lain tentang ‘iffah dalam ayat ini bahwa setelah memberi minum kambing-kambing itu, beliau tidak diam menanti mereka menyampaikan terima kasih. Beliau tidak pula menanti mereka berbasa-basi atau memperkenalkan diri. Sebab, yang demikian adalah celah bagi setan untuk menimbulkan fitnah bagi kedua belah pihak. Namun, beliau segera menyingkir dan berteduh di bawah sebuah pohon.
Ibnu ‘Abbas rahimahullah menjelaskan bahwa Musa lari dari Mesir menuju Madyan tanpa membawa makanan selain sayuran dan dedaunan pohon. Beliau juga tidak beralas kaki, sehingga ketika mencapai Madyan, terkelupaslah bagian dalam telapak kaki beliau. Beliau duduk di bawah naungan pohon, dalam keadaan beliau adalah pilihan Allah subhanahu wa ta’ala untuk membawa risalah di antara makhluk-Nya. Diriwayatkan bahwa beliau ‘alaihissalam sudah tidak makan selama tujuh hari hingga seakan-akan perut beliau menempel dengan punggung karena lapar yang sangat.
Dari keadaan Musa ‘alaihissalam ini kita ambil ibrah bahwa dunia sangatlah hina di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala . Musa ‘alaihissalam tidak terlepas dari kesulitan yang luar biasa dan kefakiran yang nyata, padahal beliau adalah pilihan-Nya. Jadi, pemberian rezeki dan dunia itu bukanlah indikasi kasih sayang dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya.
Nabi Musa ‘alaihissalam memanjatkan doa tanpa menyebutkan meminta makan secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempersempit sesuatu yang luas, yaitu kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala . Pemberian makanan dan rezeki sudah termasuk dalam kebaikan yang beliau mohonkan.
Dari doa beliau ini kita dapat mempelajari dan meneladani sikap positif Kalimurrahman ‘alaihissalam. Sikap-sikap tersebut adalah al-luju’ (kembali dan berlindung) kepada Allah subhanahu wa ta’ala , permohonan dan ketundukan kepada-Nya, penyandaran yang jujur, tawakal yang kuat, husnuzhzhan (baik sangka) yang besar kepada Allah subhanahu wa ta’ala , dan tsiqah (rasa percaya) bahwa Allah akan membukakan jalan keluar dari kesulitannya, memenuhi kebutuhan hamba-Nya yang bertakwa, dan tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.
Nabi Musa ‘alaihissalam juga mengajarkan ta’bir (pengungkapan) doa dengan pilihan susunan bahasa Arab yang tinggi, lembut, dan penuh pengagungan. Beliau tidak mengatakan,
أَنَا فَقِيرٌ وَمُحْتَاجٌ إِلَى خَيْرٍ مِنْكَ
“Saya fakir dan membutuhkan kebaikan dari-Mu, wahai Rabbku.”
Namun, beliau mengatakan, “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku, terhadap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku, sangatlah membutuhkannya.”
Rasa Malu, Fitrah yang Suci
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan kedatangan salah satu dari dua bersaudara tadi kepada Musa ‘alaihissalam,
فَجَآءَتۡهُ إِحۡدَىٰهُمَا تَمۡشِي عَلَى ٱسۡتِحۡيَآءٖ قَالَتۡ إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَاۚ فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيۡهِ ٱلۡقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٥
“Kemudian datanglah salah satu dari kedua wanita tadi kepada Musa, yang dia berjalan dengan malu-malu. Dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Tatkala Musa mendatangi ayahnya dan menceritakan kisah dirinya, laki-laki itu berkata, ‘Janganlah engkau takut, karena engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu’.” (al-Qashash: 25)
Ibnu Ishaq v menjelaskan bahwa keduanya bersegera kembali kepada ayah mereka, padahal biasanya mereka butuh waktu lama untuk memberi minum ternak mereka. Mereka mengabarkan kepada sang ayah tentang pria yang membantu mereka. Mendengar penjelasan mereka, sang ayah pun menyuruh salah seorang putrinya memanggil Musa untuk menemuinya.
‘Amr bin Maimun rahimahullah mengatakan, “Wanita ini bukanlah wanita yang berani menggoda pria, bukan pula wanita yang sering keluar dari rumah lagi keras kepala.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Dia berjalan dengan cara berjalannya wanita terhormat.” Dikatakan oleh Allah bahwa dia berjalan dengan malu-malu. Dia berjalan tanpa berlenggak-lenggok, tanpa rasa sombong, tidak banyak menoleh, tidak berjalan dengan cara yang dibuat-buat atau mencari perhatian. Akan tetapi, dia berjalan dengan rasa malu yang menghiasi diri. Kata Ibnu Katsir pula, “Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah wanita tersebut datang menemui Musa seraya menutupi wajahnya dengan lengan jubahnya.”
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah di dalam artikel yang sama menjelaskan, ketika ayah kedua putri itu mengutus salah satu dari mereka kepada Musa ‘alaihissalam untuk memintanya hadir menemui sang ayah, wanita tersebut datang berjalan dengan rasa malu kepada Musa ‘alaihissalam. Kisahnya selesai dengan Allah subhanahu wa ta’ala memilihnya sebagai istri Rasul-Nya dan Kalim-Nya, Musa ‘alaihissalam, sebagai buah dari sikapnya yang selalu berhias dengan rasa malu dan menjauh dari ikhtilath. Sebagaimana firman Allah, Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. Kisah ini ada di dalam al-Qur’an agar wanita-wanita yang beriman mengambil wanita (salihah) ini sebagai teladan yang baik sampai di hari kiamat nanti.
Diriwayatkan bahwa nama mereka berdua adalah Layya dan Shafuriyya atau Shafura. Adapun ayah mereka, wallahu a’lam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir, dia adalah orang saleh negeri Madyan jauh sesudah masa Syu’aib ‘alaihissalam. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa namanya adalah Yatsrun atau Tsabrun atau Yatsra.
Sebagaimana sebelumnya, ketika berbicara untuk kedua kalinya dengan Nabi Musa ‘alaihissalam, ungkapan yang digunakan Layya atau Shafuriyya pun ringkas dan mencukupi. Melihat kedatangannya, pastilah Musa ‘alaihissalam heran: mengapa dia datang, siapa yang menyuruhnya, dan apa yang diinginkannya. Dia pun berbicara menjelaskan semua itu sehingga Musa ‘alaihissalam tidak perlu bertanya lagi. Hal ini menunjukkan penjagaan diri keduanya.
Jalan Keluar dari Kesulitan Kalimurrahman ‘alaihissalam
Diriwayatkan bahwa Musa bangkit dari tempat beliau dan mengikuti wanita tersebut. Antara tempat Musa dan kediaman ayah si wanita berjarak sekitar tiga mil. Angin bertiup menerpa jubah si wanita sehingga tampaklah bentuk badannya. Musa segera berpaling menghindar dari dosa menatapnya. Beliau ‘alaihissalam berkata, “Kembalilah ke belakangku dan beri tahukanlah jalan dengan suaramu.”
Ada riwayat lain yang menceritakan bahwa sejak awal, Musa memilih berjalan terlebih dahulu dan berkata, “Berjalanlah di belakangku. Aku ini laki-laki Ibrani, tidak boleh menatap bagian belakang perempuan. Tunjukkan kepadaku jalan, ke kanan atau ke kiri.”
Inilah alasan wanita salihah tersebut menyebutkan di hadapan ayahnya bahwa Musa ‘alaihissalam memiliki sifat amanah.
Setibanya Musa di kediaman sang ayah, kepadanya beliau mengisahkan perjalanan hidup beliau di Mesir. Laki-laki saleh itu menghibur beliau dengan mengatakan bahwa Musa tidak perlu merasa takut lagi. Madyan berada di luar kekuasaan Fir’aun sehingga kezalimannya tidak akan menyentuh Musa ‘alaihissalam di Madyan.
Sang tuan rumah pun menghidangkan jamuan kepada Musa ‘alaihissalam. Namun, Musa ‘alaihissalam menolaknya dengan beralasan bahwa beliau tidak boleh menjual agama meski dengan emas sepenuh bumi. Maksudnya, adalah kewajiban Musa ‘alaihissalam menolong kedua putrinya, dan beliau tidak mengharapkan imbalan apa pun. Mendengar jawaban ini, laki-laki saleh itu pun menjawab bahwa hidangan itu bukan upah atas bantuannya, melainkan jamuan untuk memuliakan tamu, yang sudah menjadi adat di Madyan. Akhirnya, Musa ‘alaihissalam bersedia makan.
Salah seorang putri laki-laki saleh itu berkata kepada sang ayah,
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦
“Wahai Ayahanda, jadikanlah dia orang yang bekerja kepada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang bisa Ayah pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Diriwayatkan bahwa yang mengucapkannya adalah Shafuriyya, putri yang lebih muda, yang menjemput Musa ‘alaihissalam. Dia ingin ayahnya mempekerjakan Musa ‘alaihissalam untuk menggembalakan ternak mereka karena Musa adalah orang kuat lagi tepercaya. Orang saleh itu bertanya, “Apa yang kauketahui tentang hal ini?” Putrinya menjawab, “Dia sendirian mengangkat batu yang baru bisa diangkat oleh sepuluh orang. Ketika saya datang bersamanya, saya berjalan di depannya. Namun, dia berkata kepada saya, ‘Berjalanlah di belakangku. Kalau aku menjauh dari jalan yang seharusnya, lemparkanlah kerikil kepadaku agar aku mengetahui jalan yang benar dan bisa mengambil arah dengannya’.”
Sang ayah telah melihat kesalehan Musa ‘alaihissalam secara langsung dan dari penuturan putrinya. Dia berkata,
قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
“Sesungguhnya aku ingin menikahkanmu dengan salah satu dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bersedia bekerja kepadaku selama delapan tahun. Apabila engkau menyempurnakan menjadi sepuluh tahun, itu adalah kebaikan darimu. Aku tidak ingin memberatimu. Dan engkau, insya Allah, akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (al-Qashash: 27)
Dia ingin Musa ‘alaihissalam menikahi salah satu putrinya dengan mahar bahwa Musa ‘alaihissalam bekerja selama delapan tahun menggembala ternak mereka. Ayat ini dijadikan dalil oleh para fuqaha dalam masalah hukum nikah, jual beli, dan pembayaran upah pekerja.
Nabiyullah Musa ‘alaihissalam menerima tawaran laki-laki saleh tersebut. Beliau menikahi salah satu putrinya, yaitu putri yang lebih muda (menurut satu riwayat) yang telah menjemput beliau dan memberikan rekomendasi kepada sang ayah. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Musa ‘alaihissalam tinggal di Madyan bersama keluarga barunya dan memilih waktu yang paling baik dan paling sempurna, yaitu sepuluh tahun.
Setelah menyempurnakan waktu penunaian janji beliau kepada sang mertua, Musa ‘alaihissalam membawa keluarga muda tersebut menempuh perjalanan penuh sejarah dan liku, kembali ke Mesir, menjemput tugas mulia sebagai utusan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Bani Israil.
Dari sekelumit kisah perjalanan Musa ‘alaihissalam, kita melihat kemurahan, keutamaan, dan penjagaan Rabb kita l kepada hamba-Nya yang saleh lagi terpilih. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doa Kalimurrahman ‘alaihissalam dan memberikan rezeki yang baik kepada beliau, yang di antaranya adalah istri salihah yang menjaga kehormatan dan agamanya, yang kebaikannya menjadi sebab karunia Allah subhanahu wa ta’ala berupa suami yang saleh.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.