Wanita Pun Wajib Menuntut Ilmu
Oleh: al-Ustadzah Ummu Muhammad
Segala puji bagi Allah l yang telah menciptakan makhluk secara berpasang-pasangan, menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dan menjadikan wanita sebagai saudara kandung pria. Allah l berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
ﮋ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮊ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup (istri-istri) dari diri kalian agar kalian merasa tenang kepadanya.” (ar-Rum: 21)
Karena terkena beban kewajiban sebagaimana pria, wanita juga wajib menuntut ilmu tentang hal-hal yang diwajibkan atasnya supaya dapat melaksanakan kewajiban tersebut berlandaskan keyakinan.
Definisi Ilmu
Secara bahasa, ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan kenyataannya dengan pengetahuan yang mantap. Yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, yaitu keterangan-keterangan dan petunjuk yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya. (Lihat Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 1)
Keutamaan Ilmu Syariat
Ilmu syariat memiliki keutamaan yang sangat banyak, di antaranya:
1. Ilmu adalah warisan para nabi.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh hadits,
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” (Shahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297)
2. Ilmu akan kekal dan akan bermanfaat bagi pemiliknya walaupun dia telah mati.
Disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang berdoa untuknya.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah a)
3. Allah l mengangkat derajat orang yang berilmu, di dunia dan di akhirat.
Di akhirat, Allah mengangkat mereka beberapa derajat karena mereka telah menyampaikan dakwah ke jalan Allah k dan mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Adapun di dunia, Allah l mengangkatnya di antara para hamba-Nya karena hal-hal yang telah mereka tegakkan dengan ilmu tersebut. Allah l telah berfirman,
ﮋ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﮊ
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (al-Mujadalah: 11)
4. Ilmu menyebabkan dimudahkannya jalan menuju jannah (surga).
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah a, Rasulullah n bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (Shahih, HR. Muslim)
5. Ilmu adalah tanda keinginan baik dari Allah k kepada seseorang.
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang Allah menginginkan kebaikan padanya, Allah akan memahamkannya dalam agama.” (Shahih, HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Mu’awiyah a. Lihat Shahihul Jami’ no. 6612)
Allah menjadikannya paham terhadap agama Allah, yaitu tentang ilmu tauhid, pokok-pokok agama, dan ilmu yang berkaitan dengan syariat Allah l.
6. Ilmu adalah cahaya yang menyinari seorang hamba sehingga mengetahui cara beribadah kepada Rabb-nya dan bermuamalah dengan sesamanya. Dengan demikian, dia hidup di atas ilmu dan petunjuk.
Demikianlah sebagian kecil dari sekian banyak keutamaan ilmu.
Hukum Menuntut Ilmu
Disebutkan dalam hadits Anas a, Rasulullah n telah bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (Shahih, HR. al-Baihaqi, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3913)
Kewajiban menuntut ilmu ini bisa jadi wajib kifayah dan bisa jadi wajib ‘ain. Dijelaskan oleh Ibnu Abdilbar t, “Ulama telah bersepakat bahwa di antara ilmu itu ada yang fardhu ‘ain, wajib atas setiap inidividu; ada pula yang fardhu kifayah, yaitu jika telah ada yang melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut dari orang lain yang tinggal di daerah itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi hlm. 10)
Al-Imam Ahmad t berkata, “Wajib hukumnya menuntut ilmu yang dengannya seseorang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan kepada beliau, “Seperti apa?” Beliau menjawab, “Ilmu tentang urusan-urusan yang ia tidak boleh bodoh tentangnya, seperti shalatnya, puasanya, dan sebagainya.”
Asy-Syaikh Abdurrahman an-Najdi t menjelaskan ucapan al-Imam Ahmad t tersebut, “Oleh karena itu, segala sesuatu yang wajib diamalkan oleh manusia, seperti dasar-dasar keimanan dan syariat-syariat Islam, hal-hal haram yang wajib dia tinggalkan, muamalah yang dia butuhkan, dan sebagainya—yang tidak akan sempurna kewajiban selain dengannya—wajib dipelajari oleh seseorang.
Berbeda halnya dengan sesuatu yang lebih daripada itu (yakni yang fardhu ‘ain), hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ada orang dalam jumlah yang cukup telah mempelajarinya, gugurlah dosa yang selainnya (apabila tidak mempelajarinya).” (Hasyiyah Tsalatsatil Ushul hlm. 10)
Adab Menuntut Ilmu
Berikut ini akan disebutkan beberapa adab dalam menuntut ilmu.
1. Ikhlas karena Allah k
Ketika menuntut ilmu, hendaknya seseorang bertujuan mengharapkan wajah Allah l dan negeri akhirat. Apabila seseorang menuntut ilmu syar’i karena ingin mendapatkan dunia, Rasulullah n telah bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عُرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan bagian dari dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Abi Syaibah. Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih; sanadnya tsiqat.”)
2. Berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya
Ketika menuntut ilmu, hendaknya seseorang berniat untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya. Sebab, pada asalnya manusia berada dalam kebodohan. Allah l berfirman,
ﮋ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﮊ
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati agar kalian bersyukur.” (an-Nahl: 78)
Al-Imam Ahmad t berkata, “Ilmu itu tidak ada tandingannya, bagi orang yang benar niatnya.” Murid beliau bertanya, “Bagaimana niat yang benar itu?” Beliau menjawab, “Dia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya kemudian dari selain dirinya.” (Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 19)
3. Berniat untuk membela syariat
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam Kitabul ‘Ilmi (hlm. 20) menjelaskan, “Hendaknya penuntut ilmu berniat mencari ilmu untuk membela syariat. Sebab, membela syariat tidak mungkin dilakukan selain oleh para pembawa syariat. Ilmu itu sama dengan senjata…. Sesungguhnya, bid’ah baru akan terus muncul. Bisa jadi, akan muncul bid’ah yang belum pernah muncul pada zaman dahulu dan tidak terdapat di buku-buku. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa membela syariat ini selain penuntut ilmu.”
4. Mengamalkan ilmunya
Hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang telah dia peroleh, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, adab, maupun muamalah. Sebab, amal adalah buah dan hasil dari ilmu.
Hal-hal yang Dapat Membantu dalam Menuntut Ilmu
Di antaranya:
1. Bertakwa kepada Allah l
Penuntut ilmu wajib bertakwa kepada Allah l dalam rangka melaksanakan perintah-Nya, mendapatkan pahala-Nya, dan selamat dari azab-Nya.
Allah k berfirman,
ﮋ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮊ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, Allah akan menjadikan untuk kalian furqan (pembeda).” (al-Anfal: 29)
Dijelaskan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, “Allah k akan menjadikan bagi kalian sesuatu yang bisa kalian gunakan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil, antara yang bermanfaat dan yang bermudarat. Ilmu termasuk salah satunya. Allah akan membukakan untuk seseorang ilmu-ilmu yang tidak dibukakan untuk selainnya. Sebab, bertakwa akan menyebabkan seseorang memperoleh tambahan petunjuk, tambahan ilmu, dan tambahan hafalan.
Disebutkan dari al-Imam asy-Syafi’i t bahwa beliau berkata, ‘Aku pernah mengeluh kepada Waki’ (guru beliau, pen.) tentang jeleknya hafalanku. Beliau pun membimbingku agar meninggalkan maksiat. Beliau berkata, ‘Ketahuilah, ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat’.” (Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 63—64)
2. Sabar dan terus-menerus dalam menuntut ilmu
Penuntut ilmu seyogianya bersungguh-sungguh dan bersabar mencari ilmu serta menjaga ilmunya setelah mendapatkannya. Sebab, ilmu tidak bisa didapat dengan jasmani yang santai.
Para pendahulu kita, as-Salafush Shalih, adalah figur-figur yang terkenal sabar dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c bahwa beliau pernah ditanya, “Dengan apa Anda mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab, “Dengan lisan yang selalu bertanya, kalbu yang selalu berpikir, dan jasmani yang tidak pernah jemu.” (Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 66)
3. Menjaga ilmu
Penuntut ilmu seharusnya bersemangat untuk mengulang-ulang dan menjaga ilmu yang telah dia pelajari, baik dengan menghafalnya maupun menulisnya, karena manusia itu tempat sifat lupa. Apabila ia tidak bersemangat memurajaah (mengulang-ulang) ilmu yang telah dipelajari, ilmu itu akan hilang atau ia akan lupa.
Setelah kita mengetahui keutamaan ilmu, hukum menuntut ilmu, adab-adab, dan hal-hal yang dapat membantu dalam menuntut ilmu, mari kita tengok sejenak panutan kita, muslimah dari kalangan shahabiyah (sahabat wanita) dan generasi setelahnya, dalam menuntut ilmu.
1. ‘Aisyah Ummul Mukminin s, wanita yang fakih, ahli hadits, sekaligus ahli syair.
Al-Imam az-Zuhri t berkata, “Seandainya ilmu seluruh manusia dan ilmu Ummahatul Mukminin dikumpulkan, niscaya ilmu ‘Aisyah yang lebih luas.”
Hadits yang beliau riwayatkan mencapai 2.210 hadits.
2. Hafshah Ummul Mukminin s
Dahulu, pada zaman jahiliah, beliau belajar menulis kepada asy-Syifa al-‘Adawiyah s. Ketika beliau dinikahi oleh Nabi n, Nabi n meminta Syifa agar mengajari Hafshah khath (tulisan) yang indah.
3. Ummu Darda’ ash-Shughra, Hujainah bintu Yahya al-Washabiyah
Beliau meriwayatkan banyak hadits dari suaminya, Abu Darda’, kemudian Salman al-Farisi, ‘Aisyah, dan Abu Hurairah g. Beliau terkenal dengan ilmu dan amal, serta takwa dan zuhud. Beliau hidup sampai masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan. Beliau adalah wanita yang berilmu dan ahli fikih, sehingga kaum pria pun banyak yang belajar kepadanya. Sampai-sampai, Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun duduk mendengarkannya.
4. Khaulah bintu Tsa’labah s
Beliaulah wanita yang Allah l menurunkan ayat al-Qur’an tentangnya, ketika beliau mengadukan suaminya dan berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah menikmati masa muda saya. Saya telah melahirkan anak-anak untuknya. Ketika usia saya telah lanjut dan saya tidak bisa melahirkan lagi, dia men-zhihar saya (menganggap saya seperti ibunya). Ya Allah, sesungguhnya saya mengadu kepada-Mu.”
Beliau bertanya kepada Nabi n tentang zhihar yang dilakukan oleh suaminya, maka Nabi n menjawab, “Engkau diharamkan untuknya.” Allah pun menurunkan ayat-Nya, yaitu al-Mujadalah ayat pertama dan ayat-ayat selanjutnya.
5. Fathimah bintu ‘Alauddin as-Samarqandi al-Hanafi. ‘Alauddin adalah pengarang kitab Tuhfatul Fuqaha. Fathimah menghafal kitab tersebut sehingga menjadi ahli fikih. Banyak pria yang ingin meminangnya, tetapi ayahnya tidak menerima pinangan mereka. Ketika Abu Bakr al-Kasani mengarang kitab Badai’ush Shana-i’ yang merupakan syarah (penjelas) kitab at-Tuhfah, kemudian memperlihatkannya kepada gurunya (yakni ayah Fathimah), gurunya itu sangat senang dan menikahkan putrinya dengan Abu Bakr. Kitab syarah tersebut sebagai maharnya.
Demikianlah, Pembaca muslimah, pentingnya ilmu dan kewajiban menuntut ilmu bagi kita, kaum wanita. Dengan ilmu, kita mengetahui apa saja yang diwajibkan oleh Allah l kepada kita dan kita dapat melaksanakannya dengan baik. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah l dalam hal ini.
Selanjutnya pada rubrik fikih wanita ini insya Allah akan membahas hukum-hukum fikih yang berkaitan khusus dengan wanita. Nantikan pada edisi-edisi berikutnya.
Wallahu a’lam.