Pembaca Qonitah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, pada edisi sebelumnya telah dibahas masalah tayammum. Perlu diketahui bahwa setelah bahasan tayammum, para ulama biasanya menyebutkan bahasan haid dan nifas. Hanya saja, dengan beberapa pertimbangan, kali ini kami mengajak Pembaca untuk bersama menyimak suatu masalah penting dari makna thaharah, yaitu sunan al-fithrah (tuntunan-tuntunan fitrah). Adapun definisi thaharah sudah kami sebutkan pada edisi ke-3 majalah Qonitah ini.
Banyak hadits yang berbicara tentang masalah ini. Di antaranya adalah hadits bahwa Rasulullah n bersabda (artinya), “Lima perkara yang termasuk fitrah[1] adalah khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memendekkan kumis.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
KHITAN
Bahasan tentang khitan baik hukum, waktu khitan, bagian yang dipotong, maupun hikmah disyariatkannya telah kami ketengahkan pada edisi-edisi sebelumnya, silakan Anda merujuknya kembali.[2]
MENCUKUR BULU YANG TUMBUH DI SEKITAR KEMALUAN
Yang terpenting di sini adalah menghilangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan dengan cara apa pun. Namun, yang afdhal (lebih utama) adalah mencukurnya karena lebih sesuai dengan lafadz yang disebutkan dalam hadits, yaitu al-istihdad yang artinya “menggunakan besi/pisau cukur”.
Apakah disunnahkan juga mencukur rambut yang tumbuh di sekitar dubur/anus?
Pendapat yang kuat dalam masalah ini ialah tidak mengapa mencukurnya, apalagi jika ditinjau manfaat di baliknya, yaitu mencegah kotoran yang keluar melengket ke rambut sehingga mempersulit thaharah.[3]
MEMOTONG KUMIS
Pendapat yang kuat ialah seseorang boleh memilih sekadar memendekkan kumis atau mencukurnya sampai habis. Sebab, keduanya didukung oleh dalil yang shahih.[4]
MENCABUT BULU KETIAK
Yang afdhal adalah mencabutnya, karena sesuai dengan lafadz hadits. Namun, boleh juga menghilangkannya dengan cara lain, seperti dicukur. Hanya saja, para ulama menjelaskan bahwa yang afdhal untuk rambut ketiak adalah dicabut karena ketiak biasanya menimbulkan bau yang kurang sedap. Dengan dicabut, pertumbuhan rambutnya akan melemah sehingga baunya juga berkurang. Adapun dengan dicukur, rambutnya justru akan tumbuh lebih lebat dan baunya juga menguat.[5]
MEMOTONG KUKU
Disunnahkan memendekkan kuku sampai batas tidak menimbulkan dampak negatif seperti rasa sakit yang berlebihan.
Tidak ada sunnah tertentu tentang urutan jari dalam pemotongan kuku.[6] Tidak ada pula sunnah terkait dengan hari yang utama untuk memotong kuku.[7]
Kuku yang telah dipotong boleh dibuang dan tidak perlu dipendam.[8]
BEBERAPA FAEDAH
Waktu empat puluh hari ini adalah waktu terlama. Lebih baik jika pelaksanaan empat sunnah fitrah ini disesuaikan dengan kebutuhan dan panjang pendeknya rambut.[9]
MENGGOSOK GIGI/BERSIWAK
Walaupun menggosok gigi tidak disebutkan dalam hadits yang termaktub di awal bahasan, perkara ini merupakan bagian dari sunnah fitrah dan berkaitan erat dengan thaharah.
WAKTU UTAMA
An-Nawawi menegaskan dianjurkannya menggosok gigi/bersiwak pada segala keadaan.[15] Namun, sunnah fitrah ini lebih ditekankan dalam beberapa keadaan, seperti:
[1] Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata fitrah di sini. Di antara makna-makna tersebut adalah ajaran para nabi; Islam, agama, dan sunnah.
[2] Lihat Majalah Muslimah Qonitah edisi 3 hlm. 44-49 dan edisi 14 hlm. 77-79.
[3] Di sisi lain, hal ini diperkuat oleh pendapat sebagian ahli bahasa bahwa yang dimaksud adalah mencukur rambut di sekitar dubur. Silakan merujuk ke Syarh Muslim lin Nawawi dan Nailul Authar.
[4] Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kumis dipendekkan adalah lafadz hadits قَصُّ الشَّوَارِبِ . Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya kumis dicukur habis, di antaranya adalah lafadz hadits أَحْفُوا الشَّوَارِبَ. Silakan merujuk lebih jauh ke kitab Zadul Ma’ad.
[5] Tharhut Tatsrib lil ‘Iraqi.
[6] Sebagian ulama menganjurkan memulai dari jari telunjuk, lalu berturut-turut jari tengah, jari manis, kelingking, dan diakhiri dengan ibu jari. Sebagian lain menganjurkan berselingan; artinya, dimulai dari telunjuk lalu jari manis, ibu jari, jari tengah, dan diakhiri dengan kelingking. Namun, ini semua tidak memiliki dalil yang jelas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Jadi, seseorang sudah teranggap melakukan sunnah jika memotong kukunya, tidak penting dimulai dari jari mana. Silakan merujuk ke Tharhut Tatsrib.
[7] As-Sakhawi berkata, “Tidak ada yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengenai tata cara tertentu dan penentuan hari (dalam memotong kuku).” (al-Maqashidul Hasanah)
Penegasan beliau ini meluruskan pendapat disunnahkannya memotong kuku pada hari tertentu, seperti Jumat atau Kamis.
[8] Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 11236.
Catatan: Sebagian ulama menganjurkan memendam kuku yang telah dipotong untuk menghindari perbuatan tukang sihir yang berniat jahat kepada kita. Wallahu a’lam.
[9] Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyarankan agar seseorang menetapkan waktu tertentu untuk melakukan sunnah fitrah ini, agar jangan sampai kesibukannya membuatnya lalai dari sunnah ini. Misalnya, ditetapkan waktu setiap Jumat pertama dari tiap bulan. Ini sekadar untuk mempermudah mengingatnya untuk dirinya pribadi, bukan dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. (Syarh Riyadhish Shalihin)
[10] Tharhut Tatsrib lil ‘Iraqi dan Syarh Muslim lin Nawawi.
[11] Fatawa al-Lajnah ad-Dai’mah no. 11346.
[12] Di sisi lain, adanya seseorang yang lahir dalam keadaan berkhitan tidak menunjukkan keajaiban atau keistimewaan tertentu. Silakan merujuk ke Zadul Ma’ad dan Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 9527.
[13] Tharhut Tatsrib lil ‘Iraqi.
[14] Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 6687.
[15] Sebagaimana dalam hadits, “Siwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan keridhaan ar-Rabb.” (HR. an-Nasa’i dan lainnya, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib dan lainnya)
[16] Syarh Muslim lin Nawawi. Di antara saat yang disunnahkan adalah ketika masuk rumah (HR. Muslim).
[17] Jika menggosok gigi dianggap sebagai bagian dari membersihkan kotoran, dilakukan dengan tangan kiri. Adapun jika dianggap sebagai bagian bersuci, dilakukan dengan tangan kanan.
[18] Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 5545. Bahkan, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dalam sebagian fatwa beliau, menyatakan bahwa pemakaian sikat gigi dan pasta gigi memberikan pengaruh yang lebih bersih daripada pemakaian kayu siwak biasa. Hanya saja, perlu diperhatikan apakah pemakaian yang terlalu sering bisa menimbulkan dampak negatif atau tidak. (Fatawa Nur ‘alad Darb)
[19] Syarh Muslim lin Nawawi.