Ketika kita berbicara tentang thaharah, sering kali benak kita tertuju pada berbagai pembahasan seputar bersuci, seperti macam-macam air, najis dan cara menghilangkannya, adab buang hajat, wudhu, mandi besar, tayamum, haid, nifas, dan yang semisalnya. Padahal makna thaharah jauh lebih luas.
Secara umum, thaharah terbagi menjadi empat macam:
Di antara ayat yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ﭽ ﯖ ﯗ ﯘ ﭼ
“Dan bajumu sucikanlah!” (al-Muddatstsir: 4)
Di antara makna ayat ini adalah menyucikan pakaian dan badan dari najis.
Demikian juga firman-Nya,
ﭽ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭼ
“Jika kalian dalam keadaan junub (lalu hendak shalat), bersucilah!” (al-Maidah: 6)
Maksudnya, menyucikan diri dari hadats yang menghalangi keabsahan shalat.
Di antara ayat yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ﭽ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﭼ
“Tidak lain Allah menginginkan untuk menghilangkan dari kalian, wahai para ahli bait, berbagai kejelekan dan kotoran serta menyucikan kalian sesuci-sucinya.” (al-Ahzab: 33)
Allah l berfirman demikian setelah menyebutkan larangan dari beberapa perbuatan yang bisa menimbulkan fitnah dan menyebutkan perintah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Allah serta Rasul-Nya.
Jenis thaharah ini juga termasuk pada lingkupan makna ayat ke-33 dari surat al-Ahzab di atas. Hal ini dijelaskan oleh para ahli tafsir, seperti asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah . Ayat lain yang juga menunjukkan makna ini adalah surat al-Maidah ayat ke-41.
Inilah maksud/tujuan thaharah yang tertinggi. Di antara ayat yang menunjukkan hal ini adalah firman-Nya,
ﭽ ﯖ ﯗ ﯘ ﭼ
“Dan bajumu sucikanlah!” (al-Muddatstsir: 4)
Banyak ulama, seperti asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk menyucikan amal dari kesyirikan.
Orang yang memiliki bashirah/ilmu yang kuat akan sampai pada makna thaharah yang tertinggi ini. Namun, kalau bashirahnya lemah, dia hanya akan memahami jenis thaharah yang pertama saja. Akibatnya, dia berlebihan dalam hal memerhatikan kebersihan badan dan pakaian, tetapi lalai dari kebersihan dan kesucian jiwa. Dia sibuk menghiasi tubuhnya, padahal jiwanya telah rusak parah terjangkiti kesombongan, bangga diri, riya’, dan kemunafikan. (Lihat penjelasan lebih lengkap dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin)
Oleh karena itu, para ulama mengingatkan kita semua agar lebih memerhatikan kesehatan jiwa daripada kesehatan raga. Kita harus lebih bersemangat mengobati penyakit kalbu yang begitu banyak dan sering kali tersamar dan tersembunyi. Sebab, rusak dan matinya kalbu lebih parah akibatnya daripada rusak dan matinya raga.
Berikut ini beberapa hal yang menunjukkan pentingnya nilai thaharah (dengan segala macamnya di atas).
ﭽ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﭼ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
Lihat pula ayat ke-108 dari surat at-Taubah.
Perlu dicermati, di antara maksud penyebutan sifat-sifat bidadari surga seperti di atas adalah agar para wanita di dunia mencontoh mereka dalam hal menjaga kesucian lahir dan batin. Allahu a’lam.
Dalam menyusun kitab-kitab terkait masalah fikih/hukum Islam, para ulama sering memulainya dengan pembahasan thaharah. Sebab, ibadah terbesar yang dilakukan seseorang (setelah masalah tauhid) adalah shalat, sedangkan kunci pembukanya adalah thaharah. Meski demikian, ada pula sebagian ulama, seperti al-Imam Malik, yang memulainya dengan pembahasan waktu shalat karena masuknya waktu shalat menjadi syarat paling utama bagi keabsahan shalat.
Jenis-Jenis Air
Pembahasan mengenai jenis-jenis air lazim ditemukan pada awal pembahasan thaharah. Sebab, air adalah zat utama yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai alat bersuci. Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya,
ﭽ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﭼ
“Dan Kami menurunkan dari langit air sebagai alat untuk bersuci.” (al-Furqan: 48)
Selain itu, di antara hikmah disyariatkannya madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq (menghirup air lewat hidung) di awal wudhu adalah untuk mengetahui rasa dan bau air yang akan dipakai untuk bersuci, apakah masih memenuhi syarat bersuci atau tidak.
Ringkasnya, setiap air yang tidak mengalami perubahan karena kemasukan sesuatu yang najis adalah suci dan bisa dipakai untuk bersuci, baik untuk menghilangkan najis maupun bersuci dari hadats. Contohnya adalah air laut[1], air hujan, embun, salju, air sumber yang muncul dari dalam tanah, dan air yang berubah karena kemasukan zat yang suci atau mengalami perubahan karena lamanya air itu berdiam di suatu tempat.[2]
Yang menjadi patokan dalam hal ini adalah keumuman penyebutan kata air sebagai zat yang dipakai untuk bersuci, sebagaimana disebutkan oleh ayat ke-43 dari surat an-Nisa dan ayat ke-6 dari surat al-Maidah.[3]
Dari penjelasan di atas, bisa diambil beberapa kesimpulan:
Oleh karena itu, jika seseorang ragu-ragu tentang keadaan air yang didapatinya, apakah suci atau tidak, kembali ke hukum asalnya sampai ada tanda yang tampak bahwa sifat air telah berubah karena najis yang masuk ke dalamnya.
Contohnya, segelas air yang dicampuri teh. Kalau kadar teh yang masuk ke dalamnya membuat segelas air itu diberi nama air teh, air tersebut tidak bisa lagi dipakai untuk bersuci. Adapun jika teh yang masuk tidak sampai menjadikan air di gelas itu disebut air teh, air tersebut tetap disebut air dan bisa dipakai untuk bersuci. Hal ini bisa dikiaskan dengan masuknya zat-zat suci lainnya, seperti sabun.
Di antara hadits yang menunjukkan hal ini adalah perintah Nabi ` agar putri beliau yang meninggal dimandikan dengan air yang dicampur sidr/bidara. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Demikian pula ketika ada seseorang yang meninggal dalam keadaan ihram, diperintahkan agar dia dimandikan dengan air dan sidr. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dicampurkannya sidr ke dalam air jelas mengubah sifat air. Seandainya hal itu mengakibatkan air tersebut tidak bisa dipakai untuk bersuci, niscaya beliau tidak akan memerintahkan air itu dipakai untuk memandikan jenazah.[4]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaklah seseorang berhati-hati ketika ada dugaan zat najis memengaruhi air. Dalam keadaan demikian, air tersebut tidak dipakai kecuali dalam keadaan sangat dibutuhkan. Adapun ketika diduga, bahkan diyakini, bahwa zat najis tidak memengaruhi air, hal ini tidak menjadi masalah, baik airnya banyak maupun sedikit.”
Meski demikian, selama ada pilihan lain yang lebih baik, dianjurkan air yang telah berubah baunya seperti ini tidak dipakai karena dikhawatirkan ada dampak negatif terhadap kesehatan. Sebab, bisa jadi air yang berbau busuk tersebut mengandung mikroba yang berbahaya.[8]
Bahkan, air yang dipanaskan menggunakan bahan yang najis tetaplah suci selama tidak ada pengaruh zat najis itu ke dalam air.[12]
Misalnya, air di kolam renang umum. Bisa jadi, ada orang yang buang air kecil di dalamnya. Namun, selama air seni tersebut tidak mengubah sifat air di kolam renang, airnya tetap suci lagi menyucikan.[14]
Adapun jika sifat air berubah karena najis itu, air sumur tersebut najis dan tidak bisa dipakai bersuci sampai pengaruh zat najis itu hilang dengan cara apa pun, seperti dikuras, ditambah air yang banyak ke dalamnya, dipanaskan, didiamkan sementara, dsb.[15]
Ada tiga kemungkinan:
Wallahu a’lam bish–shawab.
[1] HR. al-Arba’ah, hadits masyhur yang dinyatakan shahih oleh para ulama. Al-Imam asy-Syafi’i berkata bahwa hadits ini adalah setengah dari ilmu thaharah.
[2] Nurul Basha’ir wal Albab karya asy-Syaikh as-Sa’di. Apa yang beliau sampaikan ini sejalan dengan penegasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang diikuti oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan lainnya. Berdasarkan batasan ringkas ini, kita tidak perlu membagi air menjadi tiga macam: thahur, thahir, dan najis. Selama masih disebut secara mutlak sebagai air, air hanya ada dua macam: thahur (suci lagi menyucikan) dan najis.
[3] Dalam kedua ayat di atas disebut kata “air” dalam bentuk nakirah (tidak tertentu) pada konteks kalimat nafi/negatif. Konteks kalimat seperti ini menunjukkan makna umum. Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah (21/25 dst).
[4] Majmu’ Fatawa (21/27).
[5] Terdapat hadits yang maknanya bahwa air tetap suci selama tidak ada najis yang mengubah warna, bau, atau rasanya. Namun, hadits ini lemah sebagaimana yang ditegaskan oleh para ahli hadits, di antaranya al-Imam asy-Syafi’i. Namun, dari segi makna, maknanya benar. Bahkan, Ibnul Mundzir telah menyebutkan ijma’ atau kesepakatan ulama dalam masalah ini. Jadi, dalil bahwa najisnya air karena masuknya najis ke dalamnya adalah ijma’ , sebagaimana yang ditegaskan oleh ash-Shan’ani dalam Subulus Salam.
[6] Fatwa no. 4849, dan ditandatangani oleh Ibnu Baz, Ibnu Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud. Lihat pula Fath Dzil Jalal wal Ikram.
[7] Sebab, ketajaman panca indra manusia berbeda-beda. Lihat Fath Dzil Jalal wal Ikram.
[8] Asy-Syarhul Mumti’.
[9] Air seperti ini dinamakan air aajin. Ibnul Mundzir telah menyebutkan ijma’ dalam hal ini, demikian pula Syaikhul Islam.
[10] Fatawa al-Lajnah no. 5896 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, Ibnu Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud.
[11] Fatawa al-Lajnah no.7757 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, Ibnu Ghudayyan, dan Ibnu Qu’ud.
[12] Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah.
[13] Majmu’ al-Fatawa (21/36).
[14] Fatawa al-Lajnah no. 9389 yang ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-‘Afifi, dan Ibnu Ghudayyan.
[15] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah dan Majmu’ al-Fatawa (21/37) dst.
[16] Fatawa al-Lajnah (no. 2468 & 4431) dan Fath Dzil Jalal wal Ikram.
[17] Rincian lebih lengkap bisa dibaca pada Irsyad Ulil Basha’ir karya asy-Syaikh as-Sa’di.
[18] Irsyad Ulil Basha’ir.