Telah lewat bahasan tentang haid dan keadaan-keadaannya. Kali ini kami ketengahkan hukum-hukum yang berkaitan dengan haid.
MANDI HAID
Hukum Mandi Haid
Hukum mandi setelah berhentinya/terputusnya haid adalah wajib, berdasarkan:
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Haid adalah sesuatu yang kotor. Oleh karena itu, jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kalian dekati mereka sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci, datangilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al–Baqarah: 222)
ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ. فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Hal tersebut (darah yang keluar) adalah dari urat (yang terputus), bukan darah haid. Apabila datang haid, tinggalkanlah shalat, dan apabila haid telah selesai, mandilah dan shalatlah.” (HR. al–Bukhari no. 320 dan Muslim no. 334)
An-Nawawi menyatakan dalam al–Majmu’ (1/168), “Para ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi dengan sebab haid.”
Hal-hal yang Berkaitan dengan Mandi Haid
Tentang melepas ikatan rambut saat mandi setelah suci dari haid, terdapat tiga pendapat para ulama.
Pendapat pertama, wajib melepas ikatan rambut ketika mandi haid. Sebab, mandi haid tidak dilakukan berulang-ulang sehingga tidak mendatangkan kesulitan apabila ikatan rambut harus dilepas.
Yang berpegang pada pendapat ini berargumen dengan:
“…maka aku mendapati Hari ‘Arafah dalam keadaan masih haid. Aku pun mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, maka beliau bersabda,
دَعِيْ عُمْرَتَكِ وَانْقُضِيْ رَأْسَكِ وَامْتَشِطِيْ وأَهِلِّيْ. فَفَعَلْتُ
‘Tinggalkanlah umrahmu, (mandilah) dan lepaslah ikatan rambutmu, bersisirlah, dan bertalbiahlah untuk haji.’
Aku pun melakukannya.” (HR. al–Bukhari no. 317 dan Muslim no. 1211)
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ، فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا
“Hendaknya salah seorang dari kalian mengambil air dan sidr-nya (untuk mandi), lalu bersuci dengan sebaik-baiknya, menuangkan air ke atas kepalanya, lalu menggosok–gosok kepalanya dengan kuat hingga mencapai pangkal rambutnya ….” (HR. Muslim no. 478)
Pendapat ini dipegang oleh al-Hasan, Thawus, an-Nakha’i, al-Imam Ahmad, dan al-Imam Malik. Ini juga merupakan pendapat al-Imam al-Albani dalam kitab beliau, Tamamul Minnah fi at-Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hlm. 125. Beliau berkata, “Hadits ini menunjukkan dengan jelas perbedaan antara mandi seorang wanita ketika suci dari haid dan mandinya ketika bersuci dari janabah. Ketika mandi haid, si wanita harus menggosok-gosok kepalanya dengan kuat sehingga air mencapai pangkal rambut, dan bersungguh-sungguh dalam bersuci. Hyang hal seperti ini tidak ditekankan pada waktu mandi janabah.
Hadits Ummu Salamah yang telah disebutkan dalam kitab ini merupakan dalil tidak wajibnya melepaskan ikatan rambut saat mandi janabah. Inilah yang dimaksud dalam hadits ‘Ubaid bin ‘Umair dari ‘Aisyah disebabkan mandinya ‘Aisyah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam (merupakan mandi janabah).
Oleh karena itu, tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut berdasarkan perincian ini: pada saat mandi haid, wajib melepas ikatan rambut, sedangkan ketika mandi janabah, tidak wajib. Di antara yang berpendapat dengan perincian ini adalah al-Imam Ahmad. Pendapat ini dinyatakan benar oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzib as–Sunan (1/165—168). Ini juga pendapat Ibnu Hazm dalam al–Muhalla (2/37—40).”
Pendapat kedua, tidak wajib melepas ikatan rambut, baik saat mandi janabah maupun saat mandi haid, tetapi cukup menuangkan air ke kepala tiga kali.
Disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Rasulullah ,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِيْ، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟-وَفِيْ رِوَايَةٍ: الْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ؟- قَالَ: لَا، إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ تُفِيضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ
“Wahai Rasulullah, saya adalah wanita yang menjalin rambut dengan kuat. Apakah saya harus melepaskan jalinan tersebut ketika mandi janabah?” (Dalam riwayat lain, “Saat mandi haid dan janabah?”) Rasulullah menjawab, ‘Tidak perlu. Cukup bagimu menuangkan (air) ke kepala tiga kali, lalu menyiramkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamu pun suci’.” (HR. Muslim 3/236 no. 742—743)
Pendapat ketiga, melepas ikatan rambut saat mandi haid hukumnya sunnah (mustahab), tidak wajib. Pendapat ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Mereka berpendapat demikian berdasarkan sebagian riwayat hadits Ummu Salamah yang menyebutkan haid dan janabah.
Namun, kata al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang shahih dalam hadits Ummu Salamah hanyalah penyebutan janabah, tanpa penyebutan haid. Adapun melepas ikatan rambut untuk wanita yang mandi haid, tidak ada riwayat yang mahfuzh.
Al-Imam al-Albani berkata bahwa riwayatnya syadz.
Dari ketiga pendapat ini, penulis condong pada pendapat yang menyatakan wajibnya melepaskan ikatan rambut saat mandi suci dari haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah ‘Aisyah untuk melepaskan ikatan rambutnya saat mandi untuk ihram, maka saat mandi haid, hal ini lebih ditekankan. Selain itu, dalam hadits dari ‘Aisyah juga disebutkan agar ketika mandi haid, seorang wanita menggosok-gosok kepalanya dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepala. Wallahu a’lam.
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata,
سَأَلَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا. قَالَ: فَذَكَرَتْ أَنَّهُ عَلَّمَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ، فَتَطَهَّرُ بِهَا. قَالَتْ: كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا؟ قَالَ: تَطَهَّرِيْ بِهَا، سُبْحَانَ اللهِ. وَاسْتَتَرَ (وَأَشَارَ لَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ بِيَدِهِ عَلَى وَجْهِهِ) قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ، وَعَرَفْتُ مَا أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَتَبَّعِيْ بِهَا أَثَرَ الدَّمِ
“Seorang wanita bertanya kepada Nabi tentang tata cara mandi suci dari haid.”
Sufyan bin ‘Uyainah, salah satu periwayat hadits ini, berkata, “’Aisyah pun menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengajari wanita tersebut tata cara mandi haid, kemudian hendaknya wanita tersebut mengambil kapas/kain yang telah diberi misk, lalu bersuci dengannya. Wanita tersebut bertanya, ‘Bagaimana saya bersuci dengannya?’ Nabi menjawab, ‘Bersucilah engkau dengannya, Subhanallah!’ Nabi menutupi wajah beliau dengan tangan.”
Sufyan bin ‘Uyainah memperagakannya kapada kami, yaitu dengan menutupkan tangannya ke wajahnya. Setelah itu, Sufyan berkata, “’Aisyah pun berkata, ‘Kudekatkan wanita itu kepadaku. Aku tahu apa yang dimaksudkan oleh Nabi, maka kukatakan kepadanya agar mengikuti bekas darah dengan kapas/kain tersebut’.” (HR. al–Bukhari no. 314, 315, 7357 dan Muslim no. 332)
An-Nawawi, dalam al–Minhaj Syarh Shahih Muslim 3/23, berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah penggunaan misk. Pendapat yang benar, yang dipilih, dan yang merupakan pendapat mayoritas teman kami (para ulama bermazhab Syafi’i, -ed.) dan selain mereka ialah bahwa misk tersebut digunakan untuk mengharumkan bagian yang terkena darah haid (farji dan sekitarnya, –pent.) dan menghilangkan bau yang tidak sedap.”
Beliau juga berkata, “Hal itu disunnahkan bagi wanita ketika mandi suci dari haid atau nifas, baik bagi wanita yang sudah bersuami maupun yang belum bersuami. Dia melakukannya setelah mandi. Apabila tidak mendapatkan misk, dia bisa menggunakan minyak wangi lain yang dia dapatkan, atau yang selainnya yang dapat menghilangkan bau tidak enak. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tidak enak tersebut, air telah cukup baginya. Akan tetapi, apabila dia tidak menggunakan wewangian padahal bisa melakukannya, hukumnya makruh. Apabila hal itu tidak memungkinkan, tidak mengapa.”
Tata Cara Mandi Suci dari Haid
Tata cara mandi suci dari haid sama dengan tata cara mandi janabah yang telah diuraikan dalam rubrik ini pada edisi 12. Akan tetapi, ada beberapa tambahan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kata ‘Aisyah,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيْضِ، فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا، فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا، فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، تَطَهَّرِينَ بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ: تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ
“Asma’[2] bertanya kepada Nabi tentang mandi haid, maka Nabi menjawab, ‘Salah seorang dari kalian mengambil air mandi dan sidr[3], lalu bersuci sebaik-baiknya. Kemudian, dia menuangkan air ke kepalanya dan menggosok-gosok kepalanya dengan kuat hingga mencapai pangkal rambutnya, lalu menuangkan air ke seluruh tubuhnya. Setelah itu, dia mengambil kapas/kain yang telah diberi misk, lalu bersuci dengannya’.”
Asma’ bertanya lagi, ‘Bagaimana dia bersuci dengannya?’
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pun menjawab, ‘Subhanallah! Bersucilah dengannya’.”
‘Aisyah berkata seolah-olah berbisik sehingga hanya terdengar oleh Asma’, “Ikutilah bekas darah haid dengan kapas/kain itu.” (HR. Muslim no. 332, asalnya dalam al–Bukhari no. 314, 315, 7357)
Dalam hadits ‘Aisyah di atas ada tambahan untuk tata cara mandi suci dari haid, yaitu mempersiapkan air untuk mandi, beserta sidr atau sabun dan yang semisalnya; menggosok-gosok kulit kepala dengan kuat agar air mencapai pangkal rambut, dan menggunakan kapas/kain yang telah diberi misk/wewangian untuk mengusap bagian kemaluan dan sekitarnya yang terkena darah haid.
Secara ringkas, tata cara mandi suci dari haid adalah:
Faedah Hadits ‘Aisyah
Dalam hadits ‘Aisyah di atas ada beberapa faedah yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Bari 1/416, sebagai berikut.
Maknanya dalam hadits ini, bagaimana mungkin perkara yang telah jelas ini, yang tidak membutuhkan pemikiran/penjelasan dalam memahaminya, bisa tersembunyi/tidak diketahui.[4]
Wallahu a’lam, wal ‘ilmu ‘indallah.
[1] Yaitu daerah farji dan sekitarnya.
[2] Menurut pendapat yang masyhur, wanita yang bertanya tersebut bernama Asma’ bintu Syakal. Demikian kata al-Imam an-Nawawi (al-Minhaj 3/241). Namun, menurut al-Khathib al-Baghdadi—dalam kitabnya, al-Asma’ al-Mubhamah—dan ulama yang lain, si penanya adalah Asma’ bintu Yazid bin as-Sakan yang digelari Khathibah an-Nisa’ (Juru Bicara Kaum Wanita).
[3] Dalam bahasa kita disebut daun bidara, berfungsi sebagai pembersih seperti sabun.
[4] Maksudnya, digunakannya kapas/kain yang telah diberi misk/wewangian itu untuk diusapkan ke farji dan sekitarnya yang telah terkena darah haid sudah jelas, tidak membutuhkan penjelasan lagi, –pent.