Hakikat cinta adalah kecocokan/kesesuaian.
Ruwaim bin Ahmad al-Baghdadi rahimahullaah (w. 303 H) ditanya tentang cinta,
maka dia menjawab,
“Menyesuaikan diri dengan (yang dicintai) pada semua kondisi.”
Kecintaan yang tulus dan murni berkonsekuensi
seseorang senantiasa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan orang yang dicintainya,
baik dalam hal perintah maupun larangan,
baik dalam hal mencintai maupun membenci sesuatu.
————————
Abu Ya’qub an-Nahrujuri rahimahullaah berkata,
“Setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala
tetapi tidak memenuhi perintah-perintah-Nya,
pengakuannya adalah batil.
Siapa pun yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak takut kepada-Nya, dia tertipu.”
————————
Yahya bin Mu’adz rahimahullaah berkata,
“Barang siapa mengaku cinta kepada Allah
tetapi tidak menjaga batasan-batasan-Nya,
dia bukanlah orang yang jujur.”
Bukti cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
adalah senantiasa melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan beliau,
serta mengikuti beliau dalam urusan yang beliau cintai dan benci.
Tanda seseorang mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
di atas kecintaan kepada semua makhluk
—termasuk dirinya sendiri— adalah
tatkala dia dihadapkan antara menaati perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan menuruti ajakan yang muncul dari hal-hal lain yang juga ia cintai,
dia lebih mengedepankan ketaatan kepada Rasul dan melaksanakan perintah-perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ,
itulah bukti kemurnian cintanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan bahwa dia lebih mengedepankan cintanya kepada Nabi di atas segala-galanya.
————————
(Lihat Fathul Bari, Ibnu Rajab, syarah [penjelasan] hadits no. 15)