Manusia adalah makhluk yang serbalemah dan serbakurang. Di sisi lain, musuh-musuhnya selalu mengintainya dan menginginkan kejelekan pada dirinya, baik musuh yang ada di luar dirinya maupun yang ada di dalam dirinya. Semua itu membuatnya selalu dan selalu jatuh dalam berbagai kesalahan, mulai dari yang ringan sampai yang berat.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala Maha Pengasih lagi Penyayang dan Maha Memberi ampunan. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya sehingga Dia selalu menerima dan memberi kesempatan bagi hamba-hamba-Nya untuk menyadari kesalahan, memperbaikinya, dan meninggalkan serta tidak mengulanginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari agar bertobat orang yang berbuat jelek pada siang hari, (dan membentangkan tangan-Nya) pada siang hari agar bertobat orang yang berbuat jelek pada malam hari, sampai matahari terbit dari tempat dia terbenam (barat).”[1]
Itulah salah satu tanda kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada manusia, padahal Dia tidak memerlukan, tidak berhajat, dan tidak bergantung kepada mereka. Dia Mahakaya, Mahasempurna, lagi Maha Terpuji. Kebaikan dan ketaatan hamba-Nya tidak menambah kekuasaan-Nya, sedangkan kedurhakaan mereka tidak pula merugikan-Nya sama sekali.
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada kita untuk kita baca sebagai pernyataan dan pengakuan bahwa kita salah dan berdosa adalah bacaan Sayyidul Istighfar. Rangkaian doa yang ada di dalam hadits ini sarat dengan makna dan hikmah yang agung, maka kita tidak hanya harus menghafalnya, tetapi juga memahami dan meyakini kandungan isinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
سَيِّدُ الْاِسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ. مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Sayyidul Istighfar adalah seorang hamba mengucapkan,
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
‘Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tiada sembahan yang haq kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas ketetapan dan janji-Mu selama aku mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa-apa yang telah aku perbuat. Aku kembali kepada-Mu mengakui semua nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku, dan aku mengakui pula semua dosaku, maka berilah ampunan untukku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau.’
Siapa yang mengucapkannya pada siang hari dalam keadaan meyakininya, lalu mati pada hari itu sebelum masuk sore hari, dia termasuk ahli jannah (penduduk surga). Dan siapa yang mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu mati sebelum pagi, niscaya dia termasuk ahli jannah.”[2]
Alangkah indah dan agungnya doa ini. Alangkah mendesaknya hajat kita kepada permohonan ampun dan tobat yang benar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Marilah kita telusuri kandungannya, dari uraian sebagian ulama kita yang menjelaskannya dalam buku-buku mereka.
Wallahul Muwaffiq.
Bacaan ini dinamakan sayyidul istighfar sudah tentu karena keutamaan dan kemuliaannya. Betapa tidak?
Doa ini sarat dengan makna-makna tobat sehingga diistilahkan sebagai sayyid yang asalnya adalah pemuka dan rujukan semua persoalan. Seakan-akan semua ungkapan tobat dan permintaan ampunan kembali kepada lafadz-lafadz yang tertuang dalam doa yang agung ini.
Di dalam kalimat-kalimatnya tersirat zikir, menyebut-nyebut dan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna.
Tersirat pula di dalamnya pernyataan betapa rendah dan kurang serta lemahnya orang yang sedang memohon ampunan itu. Ini semua adalah puncak rasa tunduk dan hina hamba itu di hadapan Rabbnya.
Pengertian beberapa kalimat
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي
“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku.”
Sebuah panggilan yang amat indah dari seseorang ketika dia mengucapkan Allahumma (Ya Allah), seandainya dia memahami maksud kalimat ini.
Tahukah Anda bahwa ketika Anda memanggil Allah dengan menyebut kalimat Allahumma, seakan-akan Anda sedang menyeru dan memanggil Allah dengan suara lirih sambil menyebut semua nama-Nya yang Mahaindah (Asma’ul Husna)?
Kalimat ini adalah ungkapan pengakuan tentang rububiyyah Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa Dia adalah Rabb (Yang Maha Mencipta, Memberi rezeki, Menguasai, dan Mengatur) seluruh makhluk-Nya beserta sifat-sifat dan perbuatan mereka. Pengakuan tersebut berisi keyakinan bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mencipta, memiliki kehendak yang mutlak.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Tiada sembahan yang haq kecuali Engkau.”
Kalimat ini adalah ikrar bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya yang berhak diibadahi.
خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ
“Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu.”
Ini pengakuan seseorang bahwa Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang telah menciptakan dirinya, sekaligus pengakuan bahwa dia adalah hamba Allah, baik secara kauni (sebagai ciptaan Allah) maupun syar’i (ketetapan syariat). Allah Maha Melakukan apa saja yang diinginkan-Nya pada diri hamba-Nya, apakah membuatnya sakit ataukah sehat, pintar ataukah bodoh, susah ataukah senang, menangis ataukah tertawa, mulia ataukah hina.
Kita adalah hamba Allah berdasarkan syariat-Nya, dengan beribadah kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ
“Aku di atas ketetapan dan janji-Mu selama aku mampu.”
Ketetapan yang dimaksud adalah ketetapan yang diambil oleh Allah dari hamba-hamba-Nya dalam asal penciptaan mereka, ketika mengeluarkan mereka dari tulang punggung (sulbi) bapak mereka dan mempersaksikan,
أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ
“Bukankah Aku Rabb kamu sekalian?” Mereka berkata, “Betul.” (al-A’raf: 172)
Manusia mengakui rububiyyah-Nya sebagai pencipta mereka dan tunduk kepada wahdaniyyah-Nya (satu-satunya yang berhak diibadahi).
Janji Allah yang dimaksud di sini ialah semua yang dijanjikan oleh Allah, bahwa siapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun dan dia menunaikan apa yang diwajibkan oleh Allah, tentu masuk surga.
Sampai pada kalimat ini, seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengajari kita bahwa tiada seorang pun yang mampu menunaikan semua yang menjadi hak Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak pula ada yang sanggup menjalankan semua bentuk ketaatan dan bersyukur atas semua kenikmatan. Lebih-lebih lagi nikmat Allah itu sangat banyak, tidak ada satu pun yang dapat menghitungnya, apalagi mensyukurinya.
Ungkapan ini seakan-akan menegaskan bahwa kita punya tanggung jawab dan beban yang harus dilaksanakan, dengan menjalankan semua kesepakatan yang kita buat dengan Allah, melaksanakan semua janji untuk istiqamah dan komitmen terhadap semua yang diperintahkan oleh Allah. Namun, semua itu sesuai dengan kemampuan yang ada (setelah usaha maksimal).
أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ
“Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa-apa yang telah aku perbuat.”
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan jiwaku, dari waswas setan yang berbisik kepadanya, dan dari kejelekan amalan yang diperindah oleh setan. Aku berlindung kepada-Mu, ya Allah, dari semuanya, karena tidak ada yang menjauhkannya dariku selain Engkau.
أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِك عَلَيَّ
“Aku kembali kepada-Mu mengakui semua nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku.”
Tersirat pula di dalamnya ikrar kehambaan seseorang di hadapan Rabbnya. Seorang manusia pasti kembali kepada Allah membawa kenikmatan yang pernah dilimpahkan Allah kepadanya, yang tidak mungkin dihitungnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَسۡبَغَ عَلَيۡكُمۡ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةٗ وَبَاطِنَةٗۗ
“… dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Luqman: 20)
Bagaimana mungkin kita bisa bersyukur dengan sempurna, sementara satu kenikmatan saja wajib kita syukuri, dan kemampuan bersyukur atas nikmat itu adalah sebuah kenikmatan pula?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).” (an–Nahl: 53)
Alangkah lemahnya kita. Betapa bodohnya kita. Betapa dangkalnya pengetahuan kita. Alangkah jauhnya kita dari rasa syukur kepada Allah.
Tidakkah kita layak memohon ampunan-Nya setiap saat?
Perhatikan pula bacaan berikut.
وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
“… dan aku mengakui pula semua dosaku, maka berilah ampunan untukku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau.”
Seorang manusia tidak lepas dari dua keadaan ini: merasakan kesenangan sebagai karunia dari Allah; dan senantiasa dalam keadaan bersalah, kurang sempurna dalam mensyukuri kesenangan tersebut. Oleh sebab itu, selama hidupnya, seharusnya dia tidak pernah berhenti memohon ampunan kepada Allah atas kekurangan tersebut.
Kemudian, di akhir hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan,
مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Siapa yang mengucapkannya pada siang hari dalam keadaan meyakininya, lalu mati pada hari itu sebelum masuk sore hari, dia termasuk ahli jannah. Dan siapa yang mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu mati sebelum pagi, niscaya dia termasuk ahli jannah.”
Itu semua adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat besar kepada manusia. Dengan amalan yang sedikit, seseorang diberi pahala yang sangat besar.
Hakikat istighfar ialah kita meminta ampunan kepada Allah dengan menggerakkan lisan kita dan meninggalkan serta menghentikan semua kemaksiatan dan dosa melalui sikap dan perbuatan kita.
Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak meremehkan doa ini, setiap hari, pagi dan petang. Hendaknya pula dia senantiasa mengingat syarat-syarat dan adab-adab dalam berdoa sebagaimana yang telah diuraikan dalam edisi-edisi sebelumnya.
Demikian ulasan singkat tentang kandungan doa yang agung ini. Semoga bermanfaat dan menumbuhkan semangat dalam menghafal dan mengamalkannya.
Wallahul Muwaffiq.
[1] HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2759.
[2] HR. al-Bukhari no. 6306, dari Syaddad bin Aus z.