Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah bin Halil
Keluar Lendir dari Kemaluan, Wajib Mandi?
Assalamu’alaikum. Jika seorang wanita sedang terangsang lalu keluar lendir dari kemaluannya, apakah dia harus mandi wajib? Mohon penjelasan.
Dijawab oleh al-Ustadz Hamzah:
Jika dia yakin bahwa yang keluar dari kemaluannya adalah mani (kental, berwarna putih, keluar dengan memancar), wajib baginya mandi janabah. Namun, jika yang keluar itu madzi (bening agak encer), hendaklah dia membersihkan madzi tersebut dari kemaluannya lalu berwudhu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Air (yakni mandi janabah) itu disebabkan oleh air (keluarnya mani).” (HR. Muslim)
Jangka Waktu Nazhor dan Walimah
Assalamu’alaikum. Ada seorang laki-laki yang melakukan nazhor dan merasa sudah cocok dengan si wanita. Kemudian, laki-laki ini diberi waktu yang cukup lama (lebih dari setahun). Namun, ternyata wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain. Berapa batas waktu antara nazhor sampai pernikahan? Mohon penjelasan. Jazakumullahu khairan katsiran.
Dijawab oleh al-Ustadz Hamzah:
Pria yang sudah melakukan proses nazhor (disertai mahram si wanita) dan menyukai wanita tersebut sebaiknya segera melamar wanita itu kepada walinya. Jika lamarannya diterima, dimusyawarahkan waktu akad nikahnya (lebih cepat lebih baik).
Demikian juga wanita yang melakukan proses nazhor (didampingi mahramnya), hendaklah memberi tahu walinya apakah nazhor tersebut dilanjutkan ke pernikahan atau tidak.
Jika khitbah (lamaran) pria tersebut sudah diterima dan kedua calon pasangan tersebut saling ridha, wanita yang dilamar tidak boleh melangsungkan pernikahan dengan pria lain. Sebab, hal ini akan menyakiti hati pria yang lamarannya telah diterima tersebut.
Perlu diketahui bahwa seseorang tidak boleh melamar wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya sesama muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
“Tidak boleh seseorang melamar wanita yang sudah dilamar oleh saudaranya (sesama muslim).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jika nazhor yang dilakukan itu belum dilanjutkan ke proses khitbah dan si wanita belum memiliki kecondongan hati kepada pria yang menazhornya, dia boleh melangsungkan pernikahan dengan pria lain setelah memutuskan hubungannya dengan pria pertama tersebut melalui walinya atau orang lain.
Tidak ada batas waktu khusus antara nazhor dan akad nikah/pernikahan. Hal ini bergantung pada kondisi keluarga calon pasangan tersebut. Akan tetapi, lebih cepat lebih baik, untuk menghindari fitnah syahwat dan fitnah lainnya. Janganlah pernikahan/akad nikah ditunda-tunda dalam rangka persiapan acara penikahan yang berlebih-lebihan yang di luar syariat Islam.
Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc.
Amalan yang Bisa Dilakukan Wanita Haid
Bismillah. Amalan atau ibadah apa saja yang boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid? Sebab, selama haid, wanita tidak boleh shalat, puasa, membaca al-Qur’an, dst. Mohon penjelasan. Jazakumullah khairan.
Jawab:
Alhamdulillah, haid bukanlah penghalang bagi seorang wanita untuk beramal dan meraih pahala besar di sisi Allah. Banyak pintu kebaikan dan ibadah yang dibukakan oleh Allah bagi kaum wanita meskipun mereka dalam keadaan haid atau nifas.
Perkara pertama yang kami wasiatkan, hendaknya setiap wanita ridha dengan ketentuan Allah yang Dia tetapkan kepada kaum wanita, berupa haid dan nifas, yang demikian besar hikmahnya.
Ketahuilah, barakallahu fikum, sesungguhnya ridha terhadap takdir Allah adalah kemuliaan tersendiri bagi kaum wanita, dan ibadah hati yang demikian besar nilainya di sisi Allah.
Saat Haji Wada’, ‘Aisyah tiba di Makkah dan tidak bisa menyelesaikan umrahnya karena sedang haid. Wanita haid tidak boleh thawaf. ‘Aisyah pun menangis karenanya. Dengan penuh kearifan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
“Sesungguhnya haid ini perkara yang telah ditetapkan oleh Allah untuk anak-anak perempuan Adam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Subhanallah, betapa tampak kelembutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Beliau menghibur Ummul Mukminin. Beliau ingatkan dia bahwa haid adalah ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sabda beliau ini juga terdapat dorongan bagi wanita untuk meridhai ketetapan Allah atas semua anak wanita Adam.
Haid bukan hanya menimpa anak Adam. Bahkan, dinukilkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari, dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Hawa juga ditimpa haid setelah diturunkan oleh Allah dari jannah ke muka bumi.
Benar, selama haid memang ada beberapa ibadah yang tidak boleh dilakukan, seperti shalat dan puasa. Wanita haid juga tidak boleh berjima’ (bersebadan) dengan suaminya.
Kaum muslimin bersepakat (ijma’) bahwa wanita yang haid dan nifas tidak boleh melakukan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat nafilah. Bahkan, kewajiban shalat gugur darinya dan tidak ada kewajiban qadha atasnya.
Adapun puasa, ijma’ juga menyatakan bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Namun, dia wajib menggantinya pada hari lain saat suci (jika yang ditinggalkannya adalah puasa Ramadhan, -ed.).
Shalat dan puasa memang tidak diperbolehkan bagi mereka, tetapi ibadah-ibadah lain masih terbuka lebar. Di antara yang bisa dilakukan adalah membaca al-Qur’an, berzikir, dan berdoa. Bahkan, amalan haji dan umrah pun tidak disyaratkan dilakukan dalam keadaan suci, kecuali thawaf.
Adapun apa yang disampaikan penanya bahwa wanita haid tidak boleh membaca al-Qur’an, hal ini tidak benar. Keadaan suci bukan syarat dalam berzikir dan membaca al-Qur’an. Wanita yang haid atau nifas boleh berzikir dan membaca al-Qur’an, baik dari hafalannya maupun dari mushaf. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,,.
كاَنَ النَّبِيُّ صّلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berzikir kepada Allah di setiap keadaan beliau.”
Hal itu juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,, ketika beliau haid dan tidak bisa thawaf. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَلَّا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah segala yang dilakukan oleh jemaah haji. Hanya saja, janganlah kamu thawaf di Baitullah.”
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan haji—seperti berzikir, bertalbiah, bertahlil (membaca la ilaha illallah), berdoa, membaca al-Qur’an, melempar jumrah, wuquf di Arafah, mendengarkan khotbah, dll.—boleh dilakukan, kecuali thawaf.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat sampai di Dzul Hulaifah untuk ihram dalam Haji Wada’, salah seorang shahabiyyah melahirkan putranya. Shahabiyyah tersebut adalah Asma’ bintu ‘Umais, istri Abu Bakr ash-Shiddiq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah Asma’ untuk mandi (meskipun masih nifas) dan melanjutkan perjalanan yang cukup panjang untuk melakukan haji.
Pintu kebaikan masih terus terbuka lebar bagi wanita haid dan nifas.
Jika Anda adalah seorang istri, ketaatan Anda kepada suami dalam perkara yang makruf bernilai ibadah yang besar di sisi Allah. Sangat banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Bahkan, wanita yang taat kepada suaminya dipersilakan oleh Allah untuk masuk ke jannah dari pintu mana pun yang dikehendakinya.
Haid tidak menghalangi wanita untuk membahagiakan suaminya dengan kemesraan. Banyak contoh dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersama ‘Aisyah yang menunjukkan keromantisan beliau dan sekaligus bakti ‘Aisyah meskipun dalam keadaan haid. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah membaca al-Qur’an dengan berbaring di pangkuan ‘Aisyah, sementara ia dalam keadaan haid. Ketika i’tikaf, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kepala beliau dari masjid untuk dibersihkan dan disisir oleh ‘Aisyah yang sedang haid.
Masih banyak contoh lain. Semuanya menunjukkan bahwa pintu kebaikan bagi wanita terbuka lebar meski dia dalam keadaan haid atau nifas. Walhamdulillah.
Wanita Haid, Mungkinkah Memperoleh Lailatul Qadar?
Bismillah, ana mau bertanya. Ibadah apa yang bisa dilakukan oleh wanita haid/nifas pada malam-malam di bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh malam terakhir? Apakah wanita haid yang tidak berpuasa juga bisa berjumpa dengan Lailatul Qadar?
Jawab:
Lailatul Qadar adalah malam yang pasti akan turun pada setiap tahun, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Setiap orang yang hidup pada bulan Ramadhan pasti akan melewati Lailatul Qadar. Namun, masalahnya, siapakah mereka yang beruntung dengan malam ini? Orang yang beruntung adalah mereka yang menegakkan Lailatul Qadar dengan iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa menegakkan Lailatul Qadar dengan iman dan ihtisab, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Itulah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Jika telah masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan, beliau menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan membaca al-Qur’an. Bahkan, Malaikat Jibril mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk memurajaah bacaan al-Qur’an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau hidupkan pula Lailatul Qadar dengan doa dan zikir. Tidak lupa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam juga membangunkan istri-istrinya.
Ketahuilah bahwa wanita nifas atau haid pun akan mendapatkan Lailatul Qadar jika menghidupkan malam tersebut dengan iman dan ihtisab. Kesucian dari haid dan nifas tidak menjamin seorang wanita mendapatkan kemuliaan Lailatul Qadar. Di samping itu, puasa bukanlah syarat seorang wanita mendapatkan kemuliaan malam tersebut.
Hidupkanlah malam-malam Ramadhan dengan melakukan semua amalan yang diperbolehkan bagi wanita haid, seperti membaca al-Qur’an, berzikir, dan memperbanyak doa, termasuk doa yang diajarkan Rasulullah ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada beliau,
اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan suka memberi maaf, maka maafkanlah aku.”
Doa tersebut umum bagi umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, termasuk wanita yang haid. Allahu a’lam bish shawab.
Semoga Allah memberi kita kemudahan untuk menghidupkan Lailatul Qadar dan mendapatkan berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Amin.
Safar Tanpa Mahram Untuk Menuntut Ilmu
Bismillah. ‘Afwan, mau tanya. Bagaimana hukum seorang akhwat pergi sendiri untuk menuntut ilmu dengan naik kendaraan umum tanpa didampingi mahramnya, lama perjalanan sekitar satu jam? Jazakumullahu khairan.
Jawab:
Bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi Anda niat dan semangat untuk menuntut ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Teruslah memupuk niat dan semangat tersebut dengan senantiasa memohon kepada Allah kemudahan, baik kemudahan dalam mencarinya, kemudahan dalam memahaminya, maupun kemudahan dalam mengamalkannya.
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam selalu memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan mengamalkan ilmu tersebut. Setiap pagi beliau memanjatkan doa,
اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima.”
Terkait dengan pertanyaan, jika perjalanan Anda dalam menuntut ilmu tersebut mencapai jarak safar, Anda wajib ditemani mahram. Namun, apabila perjalanan tersebut tidak mencapai jarak safar, kami wasiatkan kepada Anda untuk tetap berusaha didampingi mahram karena perjalanan tersebut memakan waktu cukup lama. Dua jam pulang pergi adalah perjalanan panjang dan sangat riskan bagi seorang muslimah yang multazimah. Lebih-lebih lagi, di akhir zaman ini semakin banyak kejelekan dan fitnah, bukan hanya di jalan raya, melainkan juga di angkutan-angkutan umum.
Islam adalah agama yang sangat bersemangat menjaga kaum wanita dan mendudukkan mereka pada martabat yang tinggi. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melakukan safar menunaikan Haji Wada’, saat beliau hendak pulang meninggalkan Makkah menuju Madinah, ‘Aisyah meminta izin untuk menunaikan umrah dari Tan’im. Tan’im berjarak hanya sekitar 6 km dari Masjid al-Haram. Untuk ibadah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menugasi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, saudara kandung ‘Aisyah, untuk mendampingi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Jika Anda tidak mendapatkan mahram dalam safar menuntut ilmu, atau banyak fitnah yang dikhawatirkan dalam perjalanan tersebut, manfaatkanlah teknologi yang dimudahkan oleh Allah bagi kita saat ini. Dengan memanfaatkannya, Anda tetap bisa menuntut ilmu syariat. Alhamdulilah, kaset-kaset para ulama dan asatidzah (para ustadz) Ahlussunnah wal Jama’ah mudah didapatkan. Pilihlah tema-tema yang terpenting di antara yang penting untuk dipelajari, baik masalah akidah, ibadah, maupun masalah yang lain. Susunlah jadwal yang rapi untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Anda juga bisa mendengarkan siaran radio-radio salafi yang menyiarkan secara langsung atau ulang dari taklim-taklim yang bermanfaat. Sibukkan pula diri Anda dengan membaca buku-buku dan majalah terbitan Ahlussunnah wal Jama’ah yang saat ini cukup banyak, walhamdulillah.
Dengan Anda menempuh semua jalan tersebut, semoga Allah memudahkan segala pintu ilmu dan pintu jannah bagi Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya dengan itu jalan menuju surga.”
Dalam sebuah majelis di Masjid Nabawi, asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad disodori sebuah pertanyaan dari seorang wanita. Wanita tersebut bertanya perihal safar tanpa mahram untuk menuntut ilmu, menghadiri majelis masyayikh yang kebetulan tidak ada di kotanya.
Asy-Syaikh mengingatkan agar wanita ini tetap di rumahnya dan tidak melakukan safar tanpa mahram. Selanjutnya, beliau mendorongnya untuk sering-sering mendengarkan kaset-kaset para ulama dan memanfaatkan berbagai kemudahan yang dibukakan oleh Allah pada zaman ini.
Demikian beberapa nasihat yang bisa kami tulis. Semoga Allah senantiasa membimbing kita di atas jalan ilmu dan memudahkan jalan untuk mendapatkan dan mengamalkannya. Amin.