Assalamu’alaikum. Ustadz, saya punya masalah keluarga, khususnya dengan istri. Dia tidak taat dengan nasihat-nasihat masalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dia sering mendengarkan musik, tidak memakai hijab yang syar’i, dan suka pengajian yang tidak berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sebagaimana yang dipahami generasi salaf. Dia adalah wanita karier (pekerja). Saya sudah capai menasihati istri. Mohon nasihat Ustadz. Jazakumullah khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Anda sekeluarga.
Suami adalah pemimpin bagi keluarganya (termasuk istri) dan dia akan dimintai tanggung jawab atas hal ini. Dia wajib menjaga diri dan keluarganya dari azab Allah dengan menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Suami berusaha melakukan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah keluarganya sebagai perwujudan firman Allah di atas. Hendaklah dia melakukannya dengan cara yang baik dan penuh kelembutan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri) dengan cara yang baik.” (an-Nisa’: 19) Rasulullah ` bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah mencintai/menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. al–Bukhari)
Rasulullah bersabda pula,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum wanita karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Apabila engkau meluruskannya (dengan kasar), dia akan patah, dan apabila engkau membiarkannya, dia tetap bengkok. Maka dari itu, saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum wanita.” (Muttafaqun ’alaihi)
Hendaklah Anda menasihati istri dengan cara yang baik dan penuh kelembutan. Hindari kata-kata laknat atau caci makian. Dalam nasihat tersebut Anda ingatkan istri tentang hak-hak suami dan ancaman Allah terhadap istri yang tidak taat kepada suaminya atau tidak mensyukuri kebaikan suaminya. Sekali lagi, lakukan hal ini dengan cara yang baik dan penuh kelembutan. Bersabarlah dalam membimbingnya ke jalan yang hak dan berdoalah kepada Allah untuk kebaikan istri Anda.
Di samping itu, hendaklah Anda mengoreksi diri. Adakah ketaatan, yang diwajibkan oleh Allah atas diri Anda, yang belum Anda tunaikan? Adakah larangan Allah yang Anda langgar? Bisa jadi, dengan dosa yang Anda lalukan, Allah memberikan ujian kepada Anda berupa istri yang memiliki sifat seperti yang Anda sebutkan di atas—semoga Allah memperbaikinya.
Dengan nasihat-nasihat yang sesuai dengan syariat tersebut, mudah-mudahan istri kembali ke jalan Allah. Jika Anda sudah berupaya menasihati istri dengan cara yang baik dan penuh kelembutan, sementara istri belum menunjukkan perubahan yang baik, lakukanlah tahapan kedua, yaitu hajr (pisah tempat tidur). Lakukan hajr ini di rumah. Mudah-mudahan, dengan tahapan ini, istri mau kembali ke jalan yang hak.
Jika pada tahapan ini tidak ada perubahan yang baik pada istri, lakukanlah tahapan ketiga, yaitu memukulnya dengan pukulan yang mendidik. Hindari memukul wajah atau anggota tubuh yang dapat membahayakan kesehatan. Hindari pula pukulan keras yang menimbulkan cacat atau cedera.
Jika pada salah satu tahapan di atas istri menaati Anda, bantulah dia untuk kembali ke jalan yang hak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan pembangkangannya, maka nasihatilah mereka, jauhilah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (an-Nisa’: 34)
Namun, jika dengan ketiga tahapan di atas tidak ada perubahan yang baik pada istri dan dia tetap membangkang, cerailah dia dengan cara yang baik.
Selama masa ‘iddah, upayakan istri tetap tinggal di rumah, tidak keluar dari rumah. Anda tetap menafkahinya selama masa ‘iddah tersebut jika dia tinggal di rumah yang Anda tempati. Jika dalam masa ‘iddah ini tampak perubahan yang baik pada istri, rujuklah. Namun, jika sampai akhir masa ‘iddah tidak ada perubahan yang baik pada istri dan dia tetap membangkang, berpisahlah dengan baik dan jangan mengghibahinya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Menghadapi Problem Muamalah dengan Mertua
Assalamu’alaikum. Afwan, saya mau bertanya seputar problematik muamalah dengan keluarga suami. Hubungan muamalah dengan keluarga suami yang sampai saat ini kami alami seakan-akan tidak ada ujung penyelesaiannya. Kami (saya, suami, dan anak-anak), alhamdulillah, telah berada di manhaj salaf ini, tetapi keluarga suami sangat menentang. Bahkan, saat ini, beliau (mertua laki-laki) memutuskan tali silahturahmi dengan kami. Secara lisan, beliau menyampaikan bahwa beliau tidak ingin kami datang mengunjungi beliau. Pertanyaan saya, bagaimana cara kami bersikap dalam menghadapi masalah ini? Bagaimana pula cara yang bisa ditempuh untuk menghilangkan rasa jengkel dan emosi yang amat terasa di hati saya karena perlakuan keluarga suami kepada saya dan anak-anak? Mohon nasihat dari antum, Ustadz, supaya kami bisa menerima masalah ini dengan ikhlas dan lapang dada. Jazakallahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah:
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan hati Anda sekeluarga di atas manhaj yang hak ini.
Yang dapat menyelesaikan permasalahan ini—setelah Allah—adalah peranan suami Anda. Upayakan agar Anda dan suami tetap bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena Allah berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah memberikan jalan keluar baginya.” (ath-Thalaq: 2)
Di antara perintah Allah adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Hendaknya suami menaati orang tuanya dalam perkara yang makruf. Jika orang tua memerintahkan sesuatu yang mungkar, suami tidak boleh menaatinya. Suami menolaknya dengan cara yang baik, santun, dan penuh kelembutan.
Hendaknya suami mengetahui dan memerhatikan kondisi orang tua, sering mengunjunginya (jika memungkinkan), dan untuk sementara waktu tidak membawa istri dan anak-anak ketika berkunjung sampai situasi memungkinkan. Suami hendaknya pula meringankan beban orang tua, tidak membebaninya dalam masalah dunia, memberikan hadiah yang disukai orang tua (jika ada rezeki), dan melakukan perbuatan-perbuatan lain yang diizinkan oleh syariat, yang bisa mendatangkan kecintaan orang tua disertai dengan niat ikhlas dalam mengamalkannya.
Upayakan agar suami bersabar menghadapi kekurangan-kekurangan orang tuanya dengan tetap menjaga akhlak yang mulia di hadapan orang tuanya. Di samping itu, suami berdoa kepada Allah untuk kebaikan orang tuanya.
Semoga dengan hal ini Allah membukakan hati orang tuanya untuk menerima dakwah yang agung ini.
Jika suami sudah berusaha untuk mendapatkan kecintaan orang tua tetapi tidak ada perubahan yang baik pada orang tuanya, suami tetap melakukan birrul walidain, terus menjalin hubungan yang baik dengannya.
Adapun Anda, hilangkan perasaan jengkel dan emosi di hati Anda kepada mertua. Ketahuilah bahwa Anda sedang diuji kesabaran menghadapi mertua tersebut. Hendaklah Anda membantu suami dengan doa dan memberikan motivasi kepada suami untuk tetap birrul walidain.
Wallahu a’lam bish shawab.
Hukum Berdakwah dalam Rangka Bisnis
Bismillah. Afwan, saya mau tanya. Bagaimana hukum orang yang mengajarkan ilmu dalam rangka bisnis (dalam rangka mendapatkan uang)?
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:
Ibadah tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Inilah dua syarat diterimanya amal: ikhlas dan mutaba’atur Rasul.
Demikian pula dalam berdakwah, kedua syarat ini harus terpenuhi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Inilah dakwah para nabi dan rasul serta kaum mukminin yang mengikuti mereka. Mereka berdakwah, mengajak manusia kepada Allah. Artinya, mereka berdakwah dengan ikhlas, mengajak kepada syariat Allah, bukan kepada fanatisme; berdakwah bukan karena riya’ dan bukan dalam rangka mencari upah, serta tidak menjadikan dakwah sebagai sarana mengumpulkan dunia atau tujuan-tujuan selain Allah.
Allah berfirman mengisahkan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam, rasul yang pertama,
وَيَٰقَوۡمِ لَآ أَسَۡٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مَالًاۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۚ
“Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah’.” (Hud: 29)
Allah juga berfirman memerintah nabi dan rasul-Nya yang terakhir, Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلۡ مَآ أَسَۡٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٍ إِلَّا مَن شَآءَ أَن يَتَّخِذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ سَبِيلٗا ٥٧
“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kalian dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Rabbnya’.” (al-Furqan: 57)
Maka dari itu, seseorang yang berdakwah dalam rangka bisnis atau mencari imbalan dari manusia, sungguh dia telah diharamkan dari kebaikan yang sangat banyak. Dia juga telah menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan dan bahaya yang sangat besar. Allahul Musta’an.
Mencabut Rambut Putih di Pipi Termasuk Namsh?
Bismillah. Dalam majalah Qonitah terdapat penjelasan bahwa mencabut bulu wajah (namsh) dilaknat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Lantas, bagaimana dengan saya yang memiliki satu helai rambut putih yang sering tumbuh di pipi kiri? Apakah mencabutnya termasuk namsh tersebut? Namun, jika rambut ini tidak dicabut dan dibiarkan memanjang, saya pribadi merasa malu. Mohon dijawab.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:
Tidak mengapa dicabut, insya Allah.
Kapan Malam Nishfu Sya’ban?
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya orang yang masih awam tentang agama. Saya mau tanya tentang malam Nishfu Sya’ban dan kapan malam Nishfu Sya’ban itu. Mohon penjelasannya. Jazakallahu khair.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Rijal:
Wa’alaikumussalam. Untuk menetapkan keutamaan suatu amalan, tempat, atau waktu, seseorang harus berpegang pada dalil al-Kitab dan as-Sunnah ash-Shahihah, termasuk dalam masalah yang Anda tanyakan, yaitu malam Nishfu Sya’ban.
Malam Nishfu Sya’ban adalah malam pertengahan bulan Sya’ban. Di antara hadits yang diriwayatkan mengenai malam tersebut adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
يَطَّلِعُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِن شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat hamba-Nya pada malam pertengahan Sya’ban, maka Dia mengampuni semua hamba-Nya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan keshahihan hadits ini dalam as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (3/135—139 no. 1144), berdasarkan banyaknya jalan yang saling menguatkan. Beliau berkata dalam kitab tersebut, “Hadits ini shahih, diriwayatkan dari sejumlah sahabat, yaitu Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah al-Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amr, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”
Sepanjang pengetahuan kami, sebatas ini saja—Allahu a’lam—Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang malam Nishfu Sya’ban. Hadits tersebut menunjukkan bahwa tauhid dan bersihnya hati dari hasad dan permusuhan adalah sebab seseorang mendapatkan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun hadits-hadits tentang keutamaan ibadah-ibadah tertentu yang dianjurkan untuk dilakukan pada malam Nishfu Sya’ban, seperti shalat sunnah atau bacaan surat-surat tertentu dalam al-Qur’an, adalah hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu.
Di antara hadits maudhu’ (palsu) tentang amalan pada malam Nishfu Sya’ban adalah anjuran melakukan shalat sunnah seratus rakaat, yang dibaca di dalamnya Surat al-Ikhlas seribu kali. Shalat ini populer dengan sebutan shalat alfiyah.[1]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, “Wahai ‘Ali, barang siapa mengerjakan shalat seratus rakaat pada malam pertengahan bulan Sya’ban dengan membaca (ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ) seribu kali, niscaya Allah menunaikan segala hajat yang ia minta pada malam tersebut. Kemudian, dia akan diberi 70.000 bidadari, yang setiap bidadari memiliki 70.000 pelayan.”
Setelah menyebutkan hadits ini, al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Shalat ini dipalsukan dalam Islam setelah abad keempat hijriyah dan mulai berkembang di Baitul Maqdis. Kemudian, dipalsukanlah sejumlah hadits tentangnya.” (al-Manarul Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’if)
Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan—dengan kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala—mengenai malam Nishfu Sya’ban. Allahu a’lam.
[1] Lihat Majmu’ al-Fatawa 23/131, 132, dan 414.