Telah disampaikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita melalui firman-Nya bahwa musuh-musuh Islam tidak akan pernah berhenti dari upaya menjauhkan umat dari agama yang suci ini. Allah berfirman,
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)
وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ
“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kalian—setelah kalian beriman—menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka.” (al-Baqarah: 109)
Berbagai cara mereka lakukan untuk mewujudkannya, baik secara langsung maupun tidak, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Lebih khusus, mereka menawarkan sesuatu yang dari luar tampak seolah-olah menyayangi dan membela hak-hak kaum wanita, menjunjung tinggi kedudukannya, padahal sejatinya menyeret kaum wanita kepada azab Allah.
Kini banyak wanita yang memiliki pemahaman salah. Mereka menolak kepemimpinan kaum pria karena menganggap hal itu berarti merendahkan, memandang sebelah mata, dan melecehkan kaum wanita serta melenyapkan segala potensinya.
Sesungguhnya, ketika pria atau suami itu menjadi pemimpin, justru hal ini merupakan kemuliaan bagi wanita. Adapun bagi pria atau suami, menjadi pemimpin adalah tanggung jawab dan beban yang harus dipikulnya.
Artinya, ketika pria atau suami menjadi pemimpin, syariat mewajibkan kepadanya untuk memerhatikan dan menjaga wanita atau istri dengan ikatan syar’i. Suami akan memimpin segala kegiatannya, memerhatikan kemaslahatannya, dan mengupayakan segala sebab yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan ketenteramannya.
Pria Menjadi Pemimpin adalah Ketentuan Syariat
Syariat telah menetapkan kepemimpinan yang syar’i bagi kaum pria dengan ketentuan yang syar’i pula. Allah berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
“Pria (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (pria) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (an-Nisa’: 34)
Ayat ini mengandung keterangan tentang kepemimpinan suami atas istri, seperti yang dinyatakan oleh jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan ahli tafsir dan fuqaha (ahli fikih).
Al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Maksud firman Allah tersebut adalah bahwa kaum pria (para suami) adalah pihak yang mempunyai kewenangan atas kaum wanita (para istri) dalam hal mendidik dan menuntun mereka untuk menunaikan kewajiban kepada Allah dan kepada diri sendiri.” (Tafsir ath-Thabari, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)
Ibnu Katsir rahimahullah, dalam Tafsirnya, mengemukakan, “Pria menjadi pengatur atas wanita, artinya pria adalah pemimpinnya, hakimnya, dan yang meluruskannya jika dia (wanita) menyimpang.” (Tafsir Ibni Katsir, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)
Adapun al-Imam al-Jash-shash, dalam tafsirnya tentang ayat di atas, mengatakan, “Ayat ini menunjukkan beberapa makna. Salah satunya, suami dilebihkan dalam hal kedudukan atas istri. Suamilah yang mendidik dan menjaganya. Ini menandakan bahwa suami boleh meminta istrinya untuk tetap tinggal di rumahnya dan melarangnya keluar, dan istri wajib menaatinya dan menerima perintahnya selama bukan dalam kemaksiatan. Selain itu, suami juga wajib menafkahinya.” (Tafsir Ahkamil Qur’an lil Imam al-Jash-shash, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)
Suami ditetapkan sebagai penjaga bagi istri. Suami mengatur urusan dan memperbaiki keadaan istri, dan istri wajib taat kepadanya. Suami dituntut memberikan mahar dan nafkah, memperlakukan istri dengan baik, menyuruhnya untuk taat kepada Allah, dan memotivasinya untuk mencintai syiar-syiar Islam, seperti shalat dan puasa. Adapun istri berkewajiban menjaga harta (suami), berbuat baik kepada keluarga suami, dan menerima perkataan suami—yang mengandung ketaatan.
Di dalam banyak hadits, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan gambaran kepemimpinan pria atas kaum wanita. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita (istri) berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada (hadir) kecuali dengan izin suami, dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumah suami kecuali dengan izin suami.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kalimat ‘sedangkan suaminya ada (hadir)’ tidak mengandung mafhum mukhalafah (dipahami dengan makna sebaliknya). Artinya, ketidakhadiran suami tidak berarti istri boleh mengizinkan seseorang (yang bukan mahram) untuk masuk kerumahnya. Pelarangan ketika itu justru lebih kuat.” (Fathul Bari)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian ia (istri) enggan memenuhinya hingga suaminya tidur dalam keadaan marah kepadanya, malaikat akan melaknatnya sampai waktu pagi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيلَ لَهَا: اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, berpuasa sebulan (pada bulan Ramadhan), betul-betul menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga melalui pintu mana saja yang engkau suka’.” (HR. Ahmad dan yang lainnya)
Kepemimpinan telah ditetapkan bagi kaum pria, tetapi syariat sama sekali tidak melupakan tugas dan kewenangan bagi kaum wanita. Wanita menjadi pengatur dan penjaga ketertiban rumah, menjadi penanggung jawab di rumah suaminya, serta menjaga anak-anak dan hartanya.
Syariat memberikan jaminan bahwa wanita berhak mendapatkan tempat tinggal, pakaian, nafkah, dan perlakuan serta pergaulan yang baik dari suaminya. Inilah yang harus dijalankan oleh kaum pria, sebagai konsekuensi kepemimpinan yang dipikulnya.
Mengapa Pria Menjadi Pemimpin?
Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan kepemimpinan bagi pria dengan dua sebab utama. Sebab pertama adalah firman Allah, “… karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (perempuan).” Ayat ini mengandung keterangan yang jelas tentang dilebihkannya kaum pria atas kaum wanita dengan sifat, perangai, dan kekhususan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kaum pria. Pria dilebihkan atas wanita, baik dari sisi penciptaan maupun dari sisi perintah agama yang dibebankan kepada pria saja.
Dari sisi penciptaan, seperti dalam hal akal dan kekuatan, pada umumnya pria mengungguli kaum wanita. Allah berfirman,
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ
“… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi pria di antara kalian. Jika tidak ada (saksi) dua orang pria, boleh seorang pria dan dua orang wanita di antara orang-orang yang kalian sukai dari para saksi (yang ada), agar jika salah seorang wanita lupa, yang seorang lagi mengingatkannya.” (al–Baqarah: 282)
Berbeda halnya dengan kaum wanita yang dianugerahi sifat lembut dan penyayang.
Adapun dari sisi perintah agama, pria mendapatkan perintah untuk melakukan hal-hal yang tidak dibebankan kepada wanita, seperti menghadiri shalat Jumat, shalat berjamaah, berjihad, dan mengerjakan ibadah-ibadah lainnya.
Sebab kedua dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “… dan karena mereka (pria) telah memberikan nafkah dari hartanya.” Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan nafkah, yang diberikan pria (suami) kepada wanita (istri), sebagai sebab ditetapkannya kepemimpinan pria atas wanita. Pria dituntut melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan dan ciri kepemimpinannya, seperti memberi nafkah, mengatur, dan menjaga.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah, ‘karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita)’ maksudnya kaum pria lebih utama dan lebih baik daripada kaum wanita. Oleh karena itu, kenabian pun khusus bagi pria, demikian juga kedudukan sebagai raja (pemimpin) yang besar.
Firman Allah, ‘dan karena mereka (pria) telah memberikan nafkah dari hartanya’, maksudnya adalah mahar/maskawin, nafkah, dan segala hal yang menjadi kewajiban pria (suami) kepada istrinya, yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Tafsir Ibni Katsir, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)
Wanita yang Paling Baik
Wanita (istri) yang baik adalah yang memahami bahwa kepemimpinan pria atas wanita adalah bagian dari fitrah yang ditetapkan oleh Allah. Pria diberi kesempurnaan akal, kemampuan mengatur sesuatu dengan baik, kekuatan jasmani dan rohani, dan kemampuan memikul tanggung jawab memberi nafkah dan menjaga. Maka dari itu, wanita yang baik adalah yang memahami kedudukannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah wanita yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Yang menyenangkan hati jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya dengan melakukan sesuatu yang membuat suami benci’.” (HR. an-Nasa’i dan Ahmad)
Wallahu a‘lam.