MENCARI KEBERKAHAN HARTA
Sudah menjadi kewajiban seorang suami menafkahi keluarganya dan memenuhi kebutuhan mereka. Kewajiban inilah yang menjadi salah satu sebab seorang lelaki (baca: suami) menjadi qawwam.
Ketika membahas masalah harta, seorang muslim terikat dengan aturan syariat. Bagaimana harta didapat, pada urusan apa saja harta dibelanjakan; mutlak menjadi perhatian kita karena semua itu akan dihisab kelak. Maka dari itu, seorang istri—selain mendorong suami untuk mencari penutup kebutuhan—semestinya juga mengingatkan suami tentang kehalalan harta yang dimakan. Apalagi kita sadar sepenuhnya bahwa kehalalan harta yang disuapkan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa dan akhlak yang memakannya.
Lebih dari itu, ketika bekerja mencari penghidupan, semestinya kita selalu mengingat sebuah hal penting: harta dicari guna memenuhi salah satu kebutuhan keluarga dan kepentingan mereka. Sebagaimana kita tahu, selain harta, keluarga juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Karena itu, sangat disayangkan apabila kegiatan mencari penghidupan justru mengharuskan seseorang “terpisah” dari anak-anaknya. Berangkat pagi buta sebelum anak bangun tidur, pulang ke rumah malam setelah anak tertidur.
Kapan ada waktu untuk bercengkerama dengan anak? Masihkah tersisa sebuah ruang untuk kita berkomunikasi dengan mereka: bertanya tentang kegiatan mereka hari itu, apa yang dilakukan di sekolah, masalah apa yang sedang dihadapi, dan sebagainya? Tidakkah kita sadar bahwa anak adalah sebuah harta juga, bahkan tak ternilai harganya? Karena itu, hati-hatilah, jangan sampai harta—yang sejatinya hanyalah sarana—naik kedudukannya menjadi tujuan utama hingga melalaikan seseorang dari kewajiban mendidik anak dan keluarga.
Hal lain yang mesti diperhatikan terkait dengan harta ialah keberkahannya. Berkah berarti banyak kebaikan dan manfaatnya. Jadi, bukan banyaknya harta yang menjadi tujuan, tetapi bagaimana harta yang didapat itu bisa menumbuhkan sekian banyak kebaikan, baik bagi diri kita, keluarga, maupun masyarakat.
Betapa banyak manusia memiliki harta berlimpah, tetapi ia tidak bisa memanfaatkannya pada jalan kebajikan. Harta banyak, tetapi anggota keluarga seakan-akan hidup di alamnya masing-masing. Harta bertumpuk, tetapi hubungan silaturahim dengan sanak famili berantakan. Harta menggunung, tetapi tidak pernah mengenal tetangga dan lingkungan sekitar. Jika sudah demikian, apa manfaat harta bagi diri kita? Tidak ada keuntungan dunia, tidak ada pula timbunan pahala. Benar-benar merugi. Rasa capek mencari dan mengumpulkan harta dibayar dengan rusaknya urusan dunia dan akhirat.
Pembaca…
Perlu kita sadari bahwa keberkahan harta ada ketika dibelanjakan dalam kerangka ketaatan kepada Allah. Allah akan mengembangkannya hingga 700 kali lipat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan bahwa harta kita yang sebenarnya ialah apa yang telah kita infakkan di jalan ketaatan. Adapun yang masih tersisa di tangan, itu adalah milik ahli waris, bukan milik kita.
Karena itu, marilah kita bersemangat mengumpulkan “harta kita yang hakiki” dengan membelanjakannya dalam ketaatan, jauh dari kekikiran maupun sikap menghambur-hamburkan.