Lisan termasuk karunia Allah yang sangat agung bagi manusia. Di antara perwujudan syukur kita kepada Allah terhadap sebuah nikmat adalah dengan menggunakan nikmat tersebut untuk ketaatan kepada-Nya. Demikian pula seharusnya sikap kita terkait dengan nikmat lisan. Kita menggunakannya untuk kebaikan dan ketaatan, bukan sebaliknya.
Kita harus menyadari bahwa lisan ibarat pedang bermata dua. Jika digunakan dengan baik, ia akan bermanfaat bagi pemiliknya. Sebaliknya, jika pemiliknya tidak bisa mengendalikannya, lisan justru menjerumuskannya pada kebinasaan, di dunia dan di akhirat. Kebinasaan di dunia bisa dalam bentuk hilangnya harta, kewibawaan dan harga diri, rusaknya persahabatan, ketenteraman dalam sebuah keluarga, ketenangan hidup dalam sebuah masyarakat, bahkan hilangnya nyawa. Adapun di akhirat, maka jelas, lisan yang tidak dijaga dengan baik akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka. Na’udzu billahi min dzalik (Kita berlindung kepada Allah dari hal itu). Karena itu, sudah sepantasnya kita sangat berhati-hati menjaga ucapan yang keluar dari lisan kita.
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah.
Banyak kebaikan yang bisa kita petik dengan lisan, di antaranya zikir, doa, dan tutur kata yang baik, nasihat, amar ma’ruf nahi mungkar, dan sebagainya. Kita bisa melakukannya sesuai dengan kemampuan kita. Adapun keburukan yang bisa terlontar dari lisan di antaranya namimah (adu domba), ghibah (menyebut kejelekan orang lain), celaan, makian, dan sebagainya.
Di antara keburukan yang bersumber dari lisan di atas, paling mudah ditemui adalah ghibah. Bisa jadi, sebagian orang malah tidak sadar bahwa dirinya telah melakukan perbuatan dosa besar ketika membicarakan kejelekan orang lain. Mereka menganggapnya sebagai kembang obrolan. Apalagi ketika sesama kaum hawa bertemu kemudian mengobrol, hal seperti ini seakan-akan menjadi sesuatu yang dianggap biasa, kecuali para wanita yang dirahmati oleh Allah. Di warung ketika berbelanja, saat arisan, bahkan saat menghadiri majelis taklim sekalipun, sebagian wanita masih meluangkan waktu untuk menyebut-nyebut keburukan orang lain, sampai-sampai suaminya sendiri tak luput dibicarakan.
Selain beberapa bentuk ghibah di atas, kita harus mewaspadai sarana lain yang bisa mengantarkan pada ghibah dan sekarang sedang merebak: kicauan melalui jejaring sosial di internet.
Akan tetapi, ada beberapa bentuk membicarakan kejelekan orang lain yang diperbolehkan. Di antaranya ketika terzalimi dan meminta hakim mengembalikan haknya, ketika meminta fatwa, saat meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran, saat menasihati kaum muslimin atau memperingatkan mereka dari sebuah kejahatan, ketika seseorang menampakkan kemaksiatan, atau memanggil seseorang yang sudah terkenal dengan sebuah sebutan.
Kita memohon kepada Allah agar dijauhkan dari ghibah dan segala bencana yang bersumber dari lisan.