Meraih Surga Allah dengan Kepakan Dua Sayap Ibadah Raghbah dan Rahbah
Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
Di antara bentuk ibadah yang sangat agung di sisi Allah adalah rasa harap dan cemas kepada-Nya disertai dengan kekhusyukan. Itulah ar-raghbah (harap), ar-rahbah (cemas), dan al-khusyu’ (kekhusyukan). Tiga perangai ini merupakan akhlak para nabi dan rasul serta orang-orang yang saleh. Allah memuji mereka dengan sifat ini dalam firman-Nya,
إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiya’: 90)
Pada kesempatan kali ini penulis akan menguraikan sedikit tentang raghbah dan rahbah. Adapun masalah khusyu’, insya Allah akan penulis bahas secara terpisah pada edisi mendatang.
Definisi Raghbah dan Perbedaannya dengan Roja’
Pembaca majalah Qonitah rahimakumullah, masih ingatkah Anda akan pembahasan roja’ dalam majalah kita ini pada edisi 14? Ya, pada edisi tersebut penulis menjelaskan makna roja’ (harapan). Adapun pada edisi ini, insya Allah, kita akan mempelajari raghbah yang juga mirip dengan roja’ secara makna.
Asy-Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa definisi raghbah adalah kecintaan untuk mencapai sesuatu yang dicintai. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah)
Dari definisi ini tentu kita memahami adanya kemiripan makna antara raghbah dan roja’, karena roja’ adalah harapan seseorang terhadap sesuatu yang didambakan. Lantas, apa perbedaan antara keduanya? Marilah kita simak penjelasan Ibnul Qayyim berikut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara raghbah dan roja’ ialah bahwasanya roja’ itu kerakusan dalam pengharapan, sedangkan raghbah adalah usaha mengejar pengharapan tersebut. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa raghbah merupakan buah dari roja’. Orang yang mengharapkan sesuatu akan mengejarnya.” (Madarijus Salikin)
Agar perbedaan ini lebih mudah dipahami, perhatikanlah permisalan berikut. Seseorang sangat berharap akan masuk surga Firdaus. Dia yakin akan keberadaan surga tersebut dan segala kenikmatan tiada tara yang ada di dalamnya. Dia pun berharap bahwa Allah akan memasukkannya ke surga tersebut. Akan tetapi, dia tidak yakin apakah Allah akan mencukupi kekurangannya untuk bisa masuk ke dalamnya ataukah tidak. Dengan itu, lahirlah raghbah. Dia berjuang dengan sekuat tenaga menjalankan segala ketaatan yang sanggup dia lakukan. Tiada satu pun peluang ibadah yang sanggup dia lakukan melainkan pasti dia lakukan.
Perlu diperhatikan bahwa ketaatan kepada Allah itu butuh ilmu. Artinya, seseorang tidak akan bisa melakukan amalan raghbah ini kalau dia tidak berilmu. Semua ibadah dalam agama Allah ini butuh ilmu. Orang yang bersemangat beramal tanpa ilmu tidak masuk dalam kategori ini sama sekali.
Apabila kuat raghbah seseorang, akan kuat pula perhatiannya terhadap ilmu dan amal. Dia selalu menjaga ilmunya dengan amalan, dan menjaga amalannya dengan keikhlasan. Dari sini kita ketahui tingginya nilai raghbah, buah dari roja’ yang merupakan rukun ibadah.
Karena apa saja yang diharapkan oleh makhluk itu hanya berada pada satu-satunya Dzat yang memiliki segala sesuatu, janganlah kita menggantungkan harapan kita kepada selain pemiliknya. Siapa saja yang menggantungkan harapannya dan berharap kepada selain pemiliknya, hendaknya bersiap untuk kecewa. Oleh karenanya, Allah memerintah Nabi-Nya agar menggantungkan harapannya hanya kepada-Nya.
Allah berfirman,
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب
“Dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya engkau berharap.” (al-Insyirah: 8)
Definisi Rahbah dan Perbedaannya dengan Khauf
Tentu Pembaca masih ingat pula akan pembahasan khauf (rasa takut), bukan? Rahbah mirip dengan khauf karena definisi rahbah adalah rasa cemas atau takut yang disertai keinginan untuk lari dari sesuatu yang ditakuti. Jadi, rahbah adalah rasa takut yang membuahkan amalan. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, asy-Syaikh ‘Utsaimin)
Dengan penjelasan tersebut kita ketahui perbedaan antara khauf dan rahbah, yakni bahwasanya rahbah merupakan buah dari khauf. Bisa kita katakan bahwa kedudukan rahbah dengan khauf ini sama dengan kedudukan raghbah dengan roja’. (Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim)
Untuk mendekatkan pemahaman kita akan perbedaan tersebut, marilah kita simak gambaran berikut. Seseorang yakin akan keberadaan neraka beserta segala macam siksa yang ada di dalamnya. Hal ini melahirkan rasa takut yang tiada tara pada dirinya terhadap neraka. Dia pun berdoa kepada Allah agar jangan sampai dimasukkan ke dalamnya. Akan tetapi, dia tidak yakin apakah Allah akan menyelamatkannya dari neraka itu ataukah tidak. Dari sini lahirlah rahbah. Dia tinggalkan segala perkara yang akan membawanya kepada dosa dan ancaman neraka.
Dalam masalah rahbah ini juga dibutuhkan ilmu. Penulis sangat menekankan hal ini karena tidak setiap perkara yang dipandang jelek oleh manusia adalah perkara yang jelek menurut pandangan syariat. Sebaliknya, tidak setiap perkara yang baik menurut pandangan mereka adalah baik pula menurut pandangan syariat.
Antara Raghbah, Rahbah, dan Kesabaran
Terkait dengan apa yang ada di sisi Allah, raghbah seseorang kepada-Nya terwujud dengan ketaatan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya dan mensyukuri seluruh nikmat-Nya. Adapun rahbah kepada-Nya terwujud dengan menjauhi seluruh larangan-Nya dan meminta ampun serta bertobat dari semua dosa. Kedua perkara tersebut—menjalani seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya—tidak akan terealisasi kecuali dengan kesabaran.
Antara Raghbah, Rahbah, dan Taufik
Kedua ibadah ini akan selalu turun naik pada setiap hamba sesuai dengan kadar kuat dan lemahnya iman. Keduanya akan naik pada saat imannya naik, dan akan turun pada saat imannya turun. Kedua ibadah ini akan sangat berkurang nilainya pada seorang hamba saat dia melakukan kemaksiatan dan dosa. Sementara itu, seorang hamba akan mendapatkan taufik dari Allah sesuai dengan kadar raghbah (harap) dan rahbah (cemas)nya kepada-Nya.
Ibnul Qayyim berkata, “Jika Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, Dia akan memberikan taufik kepadanya agar mempergunakan segala daya upayanya dalam berharap dan cemas hanya kepada-Nya, karena sesungguhnya keduanya adalah unsur taufik. Sesuai dengan kadar rasa harap dan cemas dalam hati seorang hamba itulah akan dihasilkan taufik.” (Syifa’ul ‘Alil)
Buah dari Raghbah dan Rahbah
Kesempurnaan raghbah dan rahbah seseorang kepada Allah akan tampak pada perilakunya. Dia akan menjadi suri teladan dalam masyarakatnya dan menjadi orang yang sangat bersemangat berilmu dan beramal. Dia selalu menjaga keikhlasan dalam ibadahnya dan menggantungkan harapan hanya kepada Allah sehingga dia pun sangat dekat dengan-Nya dan tenteram jiwanya. Dia berhati-hati dari segala dosa, menjaga lisan, tepercaya dalam amanat yang dibebankan kepadanya, dan jauh dari penyakit hasad, ujub, dan sombong. Pendek kata, terkumpul padanya seluruh akhlak mulia yang ada dalam Islam. Di sisi lain, setiap kali terjatuh ke dalam dosa, dia segera bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya.
Ini buah dari raghbah dan rahbah di dunia. Lantas, seperti apa buahnya di akhirat? Jelas bahwa keduanya akan membawa pemiliknya kepada ridha Allah dan kecintaan-Nya, keselamatan dari kengerian dan ketakutan pada hari tersebut, dan kesuksesan memasuki surga Allah. Adakah cita yang lebih tinggi daripada ini?
Hukum Orang yang Memberikan Raghbah dan Rahbahnya kepada Selain Allah
Dengan penjelasan di atas, kita ketahui bahwa keduanya merupakan ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung. Maka dari itu, memberikannya kepada selain Allah adalah kesyirikan. Hal ini banyak terjadi pada orang-orang awam. Mereka berharap masuk ke surga dan takut terhadap azab neraka, tetapi menggantungkan harapan dan ketakutan serta kecemasan mereka bukan kepada Allah. Mereka mendatangi kubur orang-orang saleh dan memohon kepada mereka agar disampaikan hajat mereka kepada Allah. Mereka meyakini bahwa orang-orang saleh tersebut dekat dengan Allah, sedangkan mereka orang-orang yang berlumur dosa. Seandainya mereka langsung berdoa kepada Allah, tentu doa mereka tidak akan didengar.
Dengan keyakinan tersebut mereka memberikan berbagai praktik ibadah kepada orang-orang saleh yang telah mati tersebut. Mereka berkurban, bernazar, dan bersedekah atas nama orang-orang saleh yang mereka yakini akan menyampaikan hajat mereka kepada Allah, baik hajat dunia maupun hajat akhirat mereka.
Ini bentuk keyakinan Arab jahiliah. Jika diingatkan, “Jangan beribadah kepada orang yang sudah mati!”, mereka segera menjawab, “Kami sama sekali tidak beribadah kepada mereka. Kami hanya mengharapkan dengan amalan kami ini agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” Lihat surat az-Zumar: 3.
Mereka juga akan mengatakan, “Mereka itu orang-orang saleh yang memiliki kedekatan dengan Allah. Mereka akan menyampaikan hajat kami kepada-Nya.” Lihat surat Yunus: 18.
Wallahu a’lam.