Ada beberapa kaidah penting dalam masalah menghilangkan najis[1].
Artinya, jika air kencing mengenai tanah kemudian tanah tersebut terkena air hujan sampai tidak ada lagi air kencing yang tersisa, kita tidak perlu lagi menghilangkan najis dari tanah tersebut. Akan tetapi, jika seseorang berniat menghilangkan najis dari badan atau pakaiannya kemudian melakukan usaha untuk menghilangkannya, dia mendapatkan pahala, insya Allah. Adapun jika najis itu hilang tanpa dia niatkan dan tanpa usaha darinya, dia tidak mendapat pahala, tetapi beban kewajiban untuk menghilangkan najis sudah terangkat darinya.
Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa berdasarkan kadar kenajisannya, najis terbagi menjadi tiga: berat, sedang, dan ringan. Adapun cara menghilangkannya sebagai berikut.
Cara menghilangkannya adalah dengan mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali; salah satu pencucian dicampur dengan tanah. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kebanyakan riwayat hadits yang menjelaskan masalah ini menegaskan bahwa tanah dicampur dengan air pada pencucian yang pertama. Adapun sekadar mengusapkan tanah tanpa dicampur air ke bagian yang dijilat oleh anjing, tidak mencukupi.
Apakah tanah bisa diganti dengan zat lain, seperti sabun? Jawabnya, selama tanah masih bisa ditemukan, tidak boleh diganti dengan zat lain. Sebab, dalil-dalil menegaskan pemakaian tanah dalam hal ini. Selain itu, zat semacam sabun sudah dikenal pada zaman Nabi, tetapi memang syariat sengaja memilih tanah sebagai zat yang dicampurkan ke air untuk menghilangkan najis air liur anjing dari wadah yang dijilatnya, dan tidak memilih zat lain.[4]
Apakah kenajisan babi disamakan dengan kenajisan air liur anjing? Jawabnya, tidak, karena hadits hanya menyebutkan air liur anjing.
Faedah
Pada sebagian riwayat ada perintah untuk menumpahkan air yang ada dalam wadah yang dijilat anjing. Namun, beberapa ulama menyebutkan bahwa riwayat ini tidak shahih.[5] Wallahu a’lam.
Dalil tentang cara menghilangkan najis ini adalah hadits Ummu Qais bintu Mihshan ketika dia membawa bayinya yang belum memakan makanan (selain ASI) kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kemudian bayi itu kencing di pangkuan beliau. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk diambilkan air, lalu beliau tuangkan ke bagian yang terkena kencing tanpa mencucinya. (HR. Muslim)
Adapun bayi perempuan, hukum kencingnya sama dengan kencing orang dewasa berdasarkan hadits yang shahih dalam hal ini.[6]
Catatan
“Tidak memakan makanan selain ASI” maksudnya bukanlah tidak ada yang masuk ke perut bayi selain ASI. Seandainya seorang bayi minum obat karena sakit, dia tetap dikatakan belum memakan makanan selain ASI. Sebab, obat tersebut dimasukkan ke dalam mulutnya bukan sebagai makanan/nutrisi. Wallahu a’lam.
Cara menyucikan benda yang terkena najis ini adalah dengan menghilangkannya sampai tidak tersisa warna, bau, dan rasanya.
Keterangan Tambahan Terkait dengan Cara Menghilangkan Najis
Dalilnya adalah hadits (yang artinya), “Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia memeriksa. Jika melihat di kedua sandalnya ada kotoran atau sesuatu yang menjijikkan, hendaklah ia mengusapkan keduanya (ke tanah) dan shalat dengan memakai keduanya.”[7]
Hadits ini mengajari kita bahwa tidak diharuskan mencuci sandal dengan air untuk menghilangkan kotoran yang menempel di bawahnya selama kotoran tersebut sudah hilang dengan digosok-gosokkan ke tanah.
Adapun kemaluan, yang wajib disucikan dari madzi hanya bagian yang terkena madzi dan tidak disyaratkan mencuci seluruh bagian kemaluan dan skrotum (kantong buah pelir).
Akan tetapi, jika seorang wanita melewati tempat yang basah dan bagian bawah pakaiannya mengenai yang basah itu, ada dua kemungkinan:
(1). Jika yang basah itu tidak diketahui najis atau bukan, dikembalikan pada hukum asal, yaitu suci, dan tidak ada masalah di sini.
(2). Diduga kuat atau diyakini bahwa yang basah itu najis, maka bagian bawah pakaian yang terkena zat basah harus dicuci. Untuk menyucikannya tidak cukup dengan hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.[11]
Jika pakaian telah dibersihkan semaksimal mungkin tetapi masih ada warna darah yang membekas padanya, hal ini dimaafkan, insya Allah, dan bisa dipakai untuk shalat.
(1). Bisa diperkirakan—walaupun tidak secara pasti—bagian pakaian yang terkena najis[15], maka cukup dicuci bagian tersebut dan tidak disyaratkan mencuci bagian lainnya.
(2). Tidak bisa diperkirakan bagian yang terkena najis, maka seluruh pakaian dicuci sebagai bagian dari pengamalan kaidah, “Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan perbuatan tertentu, maka perbuatan tertentu itu menjadi wajib untuk dilakukan.”
[1] Sebagian besar kaidah ini terdapat dalam kitab ad-Darari karya asy-Syaukani.
[2] Ini dinamakan istihalah.
[3] Seperti kisah kencingnya seorang badui di dalam Masjid Nabawi (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dalam hal ini kita tidak perlu mengeruk tanah yang terkena air kencing.
[4] Disebutkan dalam beberapa referensi bahwa menurut penelitian modern, terbukti bahwa dalam air liur anjing terdapat beberapa mikroba yang membahayakan tubuh. Mikroba ini hanya bisa dibunuh dengan unsur yang terkandung di dalam tanah. Kalau memang penelitian ini benar, hal ini semakin memperkuat bahwa tanah tidak bisa diganti dengan zat lain. Seandainya penelitian ini tidak benar, kita tetap berpegang pada apa yang telah ditegaskan oleh syariat yang mulia ini.
[5] Kelemahan riwayat ini ditegaskan oleh Hamzah al-Kinani dan diisyaratkan oleh al-Imam an-Nasa’i, Ibnu ‘Abdil Bar, dan Ibnu Mandah rahimahumullah.
[6] HR. Abu Dawud dan lainnya, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Muqbil.
[7] HR. Abu Dawud dan lainnya, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Muqbil.
[8] Berdasarkan hadits dari Sahl bin Hunaif yang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tentang madzi yang mengenai pakaian. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani.
[9] Tingkat kebersihan cebok menggunakan air dan menggunakan batu tentu berbeda. Akan tetapi, syariat mengizinkan cebok dengan batu. Jadi, sisa najis yang mungkin masih menempel dimaafkan. Sebagai salah satu referensi, silakan lihat as-Syarhul Mumti’.
[10] HR. Abu Dawud dan lainnya, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani.
[11] Syarh Sunan Abi Dawud karya asy-Syaikh al-‘Abbad, dan Ma’alimus Sunan.
[12] Fathu Dzil Jalal wal Ikram.
[13] Irsyad Ulil Bashair.
[14] Berbeda halnya ketika seseorang ragu-ragu, apakah najis mengenai pakaian atau tidak. Dalam kondisi ini, dikembalikan ke hukum asal bahwa pakaian itu suci dan dianggap tidak terkena najis.
[15] Misalnya, diketahui bahwa najis berasal dari arah kanan kita. Artinya, besar kemungkinan bagian kanan pakaianlah yang terkena najis.
[16] Taudhihul Ahkam.
[17] Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah.
[18] Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah.
[19] Syarh (penjelasan) asy-Syaikh Abdurrahman al-Mar’i hafizhahullah terhadap kitab ad-Darari.