Menggapai Kebahagiaan Dunia Akhirat Bagian ke-2
Oleh: Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus)
Saudariku fillah, pada edisi sebelumnya telah disebutkan kandungan surat al-‘Ashr bahwa semua orang pasti akan merugi, kecuali orang yang memiliki empat sifat, yaitu iman, amal saleh, dakwah di jalan Allah, dan sabar. Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan dua sifat, yaitu iman dan amal saleh.
Sesungguhnya, iman dan amal saleh adalah unsur kesempurnaan manusia. Ketika seseorang memiliki iman yang kuat—dengan dasar ilmu yang benar dan lurus—dan kuat pula amalnya, dia pun menjadi insan kamil (manusia seutuhnya), sempurna sifat kemanusiaannya. Akan tetapi, dia belum menjadi seorang rabbani yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya,
كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Jadilah kalian para rabbani, dengan sebab kalian selalu mengajarkan al-Kitab dan dengan sebab kalian terus mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79)
sampai melakukan dua sifat lainnya. Oleh karena itu, pada edisi ini, biidznillah, kami akan menjelaskan dua hal tersebut, yaitu dakwah di jalan Allah dan sabar.
3. Dakwah di Jalan Allah
Dakwah di jalan-Nya adalah mengajak manusia kepada seluruh syariat Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dakwah di jalan Allah adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung, berdasarkan perintah Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan keterkaitan yang sangat erat antara dakwah dan keberuntungan. Allah menjadikan para pelaku dakwah yang mengajak manusia ke jalan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Berdasarkan ayat ini pula kita ketahui bahwa dakwah hukumnya fardhu kifayah. Artinya, apabila telah ada sebagian kaum muslimin yang menjalankannya dan keberadaan mereka dalam dakwah tersebut sudah cukup, gugurlah kewajiban dakwah dari muslimin lainnya.
Barang siapa memerhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, dia akan mendapati bahwa tidak setiap muslim mengetahui agamanya dan menjalankan apa yang telah diketahuinya. Jika demikian keadaannya, ketahuilah, dakwah ini memang bukan kewajiban setiap individu muslim atau sembarang muslim. Benar, setiap muslim berkewajiban menyampaikan urusan agama yang telah diketahuinya, berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. al-Bukhari)
Akan tetapi, kewajiban berdakwah dalam bentuk tulisan, ceramah di mimbar-mimbar, kajian ilmiah dengan menelaah sebuah kitab, daurah, dan yang semisalnya, semua ini hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang khusus dari kaum muslimin, yaitu para ulama dan penuntut ilmu. Makna inilah yang diinginkan dari kata dakwah, berdasarkan firman Allah,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, yang aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah di atas bashirah. Mahasuci Allah, dan aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Jadi, di antara syarat berdakwah di jalan Allah adalah di atas bashirah. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kata bashirah mengandung tiga hal yang harus terkumpul pada diri seorang dai, yaitu (1) berilmu tentang hukum-hukum syariat, (2) mengetahui metode berdakwah, dan (3) memahami kondisi orang-orang yang didakwahi. (Lihat Syarh al–Ushul ats–Tsalatsah)
Dakwah di jalan Allah memiliki beberapa metode sesuai dengan kondisi orang yang didakwahi. Allah telah menjelaskan metode tersebut dalam firman-Nya,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan dengan wejangan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (an–Nahl: 125)
Metode pertama dalam dakwah adalah bil hikmah (dengan hikmah). Artinya, berdakwah sesuai dengan kondisi, daya tangkap, dan kadar ketundukan orang yang didakwahi. Di antara hikmah adalah berdakwah dengan ilmu, bukan dengan kebodohan; memulai dengan urusan yang paling penting; menyampaikan dengan bahasa yang paling mudah dicerna, pada hal-hal yang paling mudah dipahami sehingga lebih mudah diterima, dan dengan cara lemah lembut.
Jika dakwah dengan metode ini diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, seorang dai beralih ke metode kedua, yaitu al-mau’izhah al-hasanah (wejangan yang baik). Metode ini dilakukan dengan menyebutkan perintah dan larangan yang diiringi oleh dorongan dan ancaman. Terkait dengan perintah—misalnya—disebutkan berbagai kemaslahatan yang terdapat di dalamnya, pahala menjalankan perintah tersebut, dan pemuliaan Allah terhadap siapa saja yang menaati perintah-Nya. Terkait dengan larangan—misalnya—disebutkan berbagai kerusakan yang timbul karenanya, dahsyatnya siksa bagi yang melanggarnya, dan kehinaan yang ditimpakan oleh Allah kepada siapa saja yang mendurhakai-Nya.
Jika orang yang didakwahi meyakini bahwa dirinya berada di atas kebenaran atau dia menyeru kepada kebatilan, yang diterapkan padanya adalah metode ketiga, yaitu membantahnya dengan cara yang terbaik. Di antaranya adalah dengan mematahkan argumentasinya dengan dalil-dalil yang dipeganginya. Sebab, tidak ada satu dalil pun yang dipegangi oleh ahli batil melainkan dalil tersebut justru menghantam dirinya. (Lihat Taisirul Karimir Rahman karya asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah)
4. Sabar
Maksudnya, sabar dalam menjalani tiga hal di atas karena mengharap ridha Allah semata. Betapa banyak gangguan dan rintangan yang dihadapi oleh seseorang saat pertama kali dia mendapatkan hidayah keimanan, mengenal dakwah Ahlus Sunnah, dan belajar agama dengan benar. Tidak jarang gangguan tersebut justru muncul dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Betapa banyak cobaan yang harus dihadapi oleh penuntut ilmu. Lapar dan dahaga menjadi teman akrabnya. Jauh dari kampung halaman dan keluarga menjadi ujian tersendiri baginya. Tinggal di pondok pesantren, bersimpuh di hadapan gurunya, menjadi kegiatan sehari-harinya. Demikian pula menghadiri majelis ilmu; mendengarkan, mencatat, menghafal, dan mengulang-ulang pelajarannya, dst. Semua itu membutuhkan kesabaran. Tidak ada yang bisa teguh menjalaninya selain orang-orang yang diteguhkan oleh Allah.
Demikian pula ketika seseorang hendak menjalankan ilmunya, dia membutuhkan kesabaran. Apabila seseorang beribadah berdasarkan ilmu, sesuai dengan syariat Allah, dia akan mendapatkan ujian dari orang-orang yang beribadah berdasarkan hawa nafsu. Ujian tersebut bisa berupa ucapan ataupun tindakan, seperti pemukulan, bahkan pengusiran. Di sebagian tempat, menjalankan as-Sunnah bagaikan memegang bara api. Tetap memegang bara api itu, tangannya terbakar. Jika bara itu dilepas, akan hilang darinya. Maka dari itu, kesabaran sangat dibutuhkan.
Begitu pula halnya saat seseorang berdakwah, dia akan mendapatkan berbagai gangguan. Pada saat mendakwahkan tauhid, dia harus siap menghadapi ujian dari para penyeru kesyirikan. Pada saat mendakwahkan as-Sunnah, dia harus siap menghadapi ujian dari para penyeru hawa nafsu dan kebid’ahan. Pada saat memperingatkan manusia dari kemungkaran dan kemaksiatan, dia harus siap menghadapi ujian dari orang-orang fasik lagi zalim, dst.
Menjalankan perintah-perintah Allah membutuhkan kesabaran. Meninggalkan larangan-larangan Allah membutuhkan kesabaran. Menghadapi musibah yang ditakdirkan oleh Allah juga membutuhkan kesabaran. Maka dari itu, seseorang tidak akan hidup tenteram di dunia ini melainkan jika dia menghiasi hidupnya dengan kesabaran. Sungguh benar ‘Umar bin al-Khaththab a yang telah mengatakan, “Kami mendapati sebaik-baik kehidupan kami dengan kesabaran.” (Disebutkan oleh al-Imam Ahmad dalam az-Zuhd dan al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya)
Terkait dengan kesabaran menghadapi musibah yang ditakdirkan oleh Allah, kami hendak memberikan penekanan, mengingat kaum wanita biasanya lebih sulit mengendalikan diri dalam menghadapinya. Sabar dalam hal ini hanya bisa terealisasi dengan terpenuhinya tiga faktor:
Perlu diketahui, sabar terhadap takdir-Nya akan bernilai ibadah di sisi Allah apabila dilakukan pada awal terjadinya musibah. Adapun berkeluh kesah, meratap, dan melakukan hal-hal yang menunjukkan ketidaksabaran saat pertama kali musibah menyapanya, kemudian dia sadar setelah berlalu beberapa waktu bahwa perbuatan tersebut tidak ada gunanya, lantas mengatakan bahwa dirinya bersabar, maka kesabaran yang seperti ini bukanlah kesabaran yang terpuji.
Sebagai penutup, kami nukilkan ucapan Ibnul Qayyim t secara makna, “Apabila empat hal tersebut terkumpul pada diri seseorang, jadilah dia termasuk para rabbani.” (Lihat Zadul Ma’ad)
Itulah empat hal yang menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam.