Syaikhul Islam mengatakan bahwa berlebihan dalam menyikapi masalah najis, baik dari segi jenisnya maupun kadarnya, adalah termasuk agama Yahudi. Adapun bermudah-mudahan dalam menyikapinya adalah termasuk agama Nasrani. Agama Islam bersikap pertengahan.[1]
Perlu diketahui, keadaan asal segala sesuatu adalah halal dan suci. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
“Dialah (Allah) yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah: 29)
Dari ayat mulia ini, banyak ulama mengambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini telah disediakan oleh Allah untuk kita nikmati dan manfaatkan. Artinya, hukum asalnya adalah halal dan suci selama tidak ada dalil khusus yang menunjukkan keharaman atau kenajisannya.[2]
Pembagian Najis
Dari segi tingkat kenajisannya, zat dan benda najis dibagi menjadi tiga tingkatan:
Dari segi asal kenajisan, zat najis dibagi menjadi dua:
Zat najis yang seperti ini tidak bisa disucikan dengan cara apa pun. Seandainya kotoran manusia dimasukkan ke air laut, tidak akan berubah hukumnya dan tidak akan menjadi suci.[3]
Yang seperti ini bisa disucikan dengan cara zat najis itu dihilangkan dan dituangi air atau yang lain sampai hilang pengaruhnya.
Berikut ini beberapa zat atau benda yang ditunjukkan kenajisannya oleh dalil.
Di antara dalilnya adalah hadits yang berkisah tentang seorang badui yang kencing di masjid. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan agar dituangkan seember air ke tempat yang terkena kencing supaya suci. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Perintah untuk cebok, baik menggunakan air maupun selainnya, setelah buang air besar dan buang air kecil menunjukkan bahwa kencing dan kotoran manusia adalah najis.[4] Selain itu, beberapa ulama telah menyebut adanya ijma’ atau kesepakatan ulama tentang najisnya kotoran manusia.[5]
Madzi adalah cairan bening atau putih yang lengket, biasanya keluar ketika bergejolaknya syahwat atau keinginan untuk berhubungan badan. Terkadang madzi keluar tanpa terasa. Keluarnya madzi bisa terjadi pada pria dan wanita.
Di antara dalil yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang madzi yang keluar dari seseorang, maka beliau memerintahkan agar dia mencuci kemaluan dan berwudhu setelahnya.[6]
Wadi adalah cairan putih kental, mirip dengan air mani/sperma, tetapi tidak berbau. Wadi keluar setelah kencing. Ibnu ‘Abbas rahimahullah berkata bahwa madzi dan wadi membatalkan wudhu, dan kemaluan harus dicuci karena keluarnya madzi dan wadi. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih secara mauquf dari ucapan Ibnu ‘Abbas)
Selain itu, para ulama menjelaskan, di antara sebab wadi dihukumi najis adalah pada hakikatnya wadi adalah air seni juga, yang tertahan di kandung kemih dan baru keluar beberapa saat setelah kencing. Di sisi lain, saluran yang sama antara air seni dan wadi menjadi dasar menghukuminya sebagai najis. Yang tidak kalah penting, beberapa ulama telah menyebut kesepakatan para ulama terkait dengan najisnya madzi dan wadi.[7]
Dalilnya adalah ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang darah haid yang mengenai pakaian, beliau memerintahkan agar darah tersebut dikerik (jika sudah mengering), kemudian digosok-gosok (agar lebih mudah larut dalam air), dan dituangkan/dipercikkan air ke bagian yang terkena darah tersebut. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalilnya adalah hadits,
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian apabila dijilat oleh anjing adalah dengan cara dicuci tujuh kali dengan air, dan cucian pertama dicampur dengan tanah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih dengan cara yang sesuai dengan syariat. Ada beberapa bangkai yang diperkecualikan dari hukum najis, yaitu:
Seluruh hewan air adalah halal, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Hal ini berdasarkan ayat ke-96 dari surat al-Maidah dan hadits shahih ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang air laut, beliau menegaskan bahwa air laut bisa dipakai bersuci dan bangkai hewan laut hukumnya halal.[8]
Dalilnya adalah hadits bahwa seorang muslim tidak najis (HR. al-Bukhari dan Muslim) dan hadits yang berkisah tentang seorang kafir yang ditawan di dalam masjid (HR. al-Bukhari dan Muslim). Artinya, baik muslim maupun kafir, badan mereka tidak najis, baik ketika masih hidup maupun sesudah mati.
Dalilnya adalah hadits yang mengajarkan bahwa jika ada lalat yang jatuh ke wadah air, hendaknya lalat itu dicelupkan semua ke dalam air karena pada salah satu sayapnya terdapat bibit penyakit, sedangkan pada sayap lainnya terdapat obatnya. (HR. al-Bukhari)
Berdasarkan hadits ini, hukum seluruh hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dikiaskan dengan lalat.
Adapun hewan yang dagingnya boleh dimakan, seperti ayam dan kambing, ketika telah menjadi bangkai yang haram dimakan, hukum anggota-anggota tubuhnya terbagi menjadi tiga[9]:
Hal ini berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa dagingnya adalah najis[11]. Berdasarkan hadits ini, beberapa ulama mengkiaskan najisnya daging seluruh hewan yang dagingnya haram dimakan.[12]
Beberapa Zat atau Benda yang Dianggap Najis, Padahal Suci
Dalilnya adalah hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau mengerik air mani yang telah mengering pada baju Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan tidak mencucinya. Kemudian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memakai pakaian tersebut untuk shalat. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Artinya, seandainya air mani najis, tidak cukup hanya dikerik, tetapi harus dihilangkan zatnya dengan cara dicuci.
Ini semua bisa jadi dianggap menjijikkan, tetapi suci karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Jadi, perlu kita pahami bahwa najisnya sesuatu bukan dikembalikan kepada perasaan, tetapi kepada syariat.
Air liur atau ludah hewan yang dagingnya boleh dimakan juga suci karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Bahkan, terdapat beberapa hadits shahih yang menunjukkan sucinya air liur hewan yang dagingnya boleh dimakan.
Dalilnya adalah hadits yang dikenal dengan kisah al–‘Uraniyyin. Intinya, disebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintah sekelompok orang untuk meminum kencing unta sebagai obat. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Cairan ini berasal dari saluran rahim, bukan dari saluran kencing. Adapun madzi, telah lewat penjelasan bahwa hukumnya najis.
Kalau hewan itu masih hidup, tubuhnya suci. Misalnya, keledai piaraan. Keledai piaraan adalah hewan tunggangan pada zaman Nabi, padahal dagingnya haram dimakan. Termasuk dalam hukum ini adalah keringat hewan tersebut.
Darah seperti ini tidak najis karena bukan darah yang mengalir.
Masih ada beberapa zat yang diperselisihkan dengan kuat oleh para ulama tentang najis atau tidaknya. Misalnya, darah manusia (selain darah haid dan nifas), darah yang mengalir, khamr (minuman yang memabukkan), dan kencing serta kotoran hewan yang dagingnya haram dimakan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa zat-zat tersebut adalah najis. Namun, ada beberapa dalil yang menunjukkan kesuciannya. Selain itu, perlu diingat, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan halal sampai ada dalil yang jelas dan shahih yang menunjukkan kenajisannya. Oleh karena itu, kami lebih cenderung untuk mengambil pendapat ulama yang menganggap bahwa zat-zat tersebut adalah hukumnya suci. Wallahu a’lam.
Catatan
Al-Lajnah ad-Da’imah mengingatkan, meskipun kita berpendapat bahwa darah yang tidak mengalir itu tidak najis, hendaknya kita berusaha membersihkan tubuh dan pakaian kita jika terkena darah tersebut, misalnya ketika kita memotong hewan kurban. Sebab, darah itu menjijikkan. Di sisi lain, kita perlu menghindarkan diri dari pandangan negatif masyarakat karena bisa jadi kita dianggap sebagai orang yang jorok dan tidak bersih.[13]
Sikap ini bisa kita kiaskan pada hal-hal lain yang hukumnya suci tetapi dianggap kotor atau menjijikkan. Wallahul muwaffiq.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”
[1] Al-Qawa’id an-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah.
[2] Sebagai contoh referensi, lihat Tafsir as-Sa’di.
[3] Kecuali jika terjadi istihalah, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan cara menghilangkan najis, insya Allah.
[4] Insya Allah akan disebutkan hadits yang terkait dengan syariat cebok pada pembahasan tersendiri. Untuk menunjukkan najisnya kotoran manusia, sebagian ulama berdalil dengan hadits perintah kepada seseorang yang hendak shalat memakai sandal agar memeriksa sandalnya terlebih dahulu; jika ada kotoran, sandalnya diusapkan ke tanah. Namun, kalau dicermati, kotoran yang dimaksud dalam hadits ini belum tentu kotoran manusia, dan perintah untuk mengusapkan sandal itu ke tanah tidak melazimkan bahwa kotoran itu najis. Wallahu a’lam.
[5] Lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya an-Nawawi v.
[6] Asal hadits ini muttafaqun ‘alaih, tetapi dalam riwayat al-Imam al-Bukhari tidak disebutkan perintah mencuci kemaluan.
[7] Lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya an-Nawawi v.
[8] HR. al-Arba’ah dan lainnya.
[9] Irsyad Ulil Bashair karya as-Sa’di.
[10] Penyamakan adalah proses untuk menjadikan kult hewan agar awet dan tidak mudah rusak sehingga bisa dimanfaatkan lebih jauh.
[11] HR. al-Bukhari dan Muslim, hanya saja dalam riwayat al-Bukhari menggunakan lafadz rijs yang semakna dengan najis.
[12] Silakan merujuk ke Nailul Authar karya asy-Syaukani.
[13] Fatawa al-Lajnah ad-Daimah no. 5310 soal ke-4.