Oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Wonosari
Segala puji bagi Allah l, pencipta alam semesta, pemberi rezeki, dan pengabul doa. Allah l adalah satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi. Allah k menciptakan kita dengan tujuan yang mulia, yaitu beribadah kepada-Nya saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Allah l berfirman,
ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Realisasi ibadah tidak akan sempurna selain dengan mengikuti petunjuk dan bimbingan Rasulullah n. Oleh sebab itulah, kita harus mengenal siapa Rasulullah n, apa itu hadits, dan bagaimana kedudukannya dalam Islam.
Mengenal Rasulullah n
Mengenal Rasulullah n adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Sebab, hal itu adalah bentuk dari konsekuensi syahadat وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ, artinya “Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Nama beliau adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib bin Hasyim, sebuah nama yang indah dan terpuji, dari keturunan yang mulia dan luhur.
Nama beliau ini sesuai dengan kenyataan karena arti “Muhammad” ialah yang terpuji. Sejak masa mudanya, sebelum diangkat menjadi nabi, beliau dijuluki sebagai al-Amin, “yang tepercaya”. Allah l berfirman pula tentang akhlak beliau,
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Masih banyak ayat yang menyebutkan kebagusan akhlak Rasulullah n.
Realitas juga menunjukkan hal tersebut. Bahkan, orang-orang kafir di zaman Rasulullah n mengakui kebaikan akhlak beliau. Namun, mereka tidak mau beriman karena sombong dan mengikuti hawa nafsu.
Sikap seorang muslim dan muslimah terhadap Rasulullah n adalah membenarkan berita yang datang dari beliau, menaati perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya, dan hanya beribadah kepada Allah dengan ajaran beliau.
Pengertian Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah n, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuan.
Contoh hadits yang berupa ucapan beliau adalah,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, Allah akan menjadikannya orang yang faqih (pandai) dalam ilmu agama.” (HR. al-Bukhari no. 71)
Contoh hadits yang berupa perbuatan beliau adalah ucapan Ibnu Abbas c,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ.
“Rasulullah n adalah orang yang paling dermawan. Kedermawanan beliau semakin bertambah pada bulan Ramadhan ketika Malaikat Jibril menjumpai beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan dan mengajari beliau al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari no. 6)
Contoh hadits yang berupa persetujuan beliau adalah ketika beliau membiarkan sahabat Abu Umair memelihara burung lalu burungnya mati. Beliau n lalu bersabda,
يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ؟
“Wahai Abu Umair, ada apa dengan nughair (nama burung kecil tersebut)?” (HR. al-Bukhari no. 6129)
Dan masih banyak contoh hadits lain yang semisal dengan contoh di atas, yang tidak mungkin disebutkan semuanya di rubrik ini.
Pembagian Hadits
Pembagian hadits sangatlah banyak karena ada beberapa tinjauan atau sisi pandang. Di sini kami akan menyebutkan pembagian hadits dilihat dari sisi apakah bisa dijadikan sumber hukum (dalil) ataukah tidak.
Dari sisi ini, hadits terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang bisa dijadikan sumber hukum dan yang tidak boleh dijadikan sumber hukum.
Hadits yang bisa dijadikan sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits hasan. Adapun hadits yang tidak boleh dijadikan sumber hukum sangat banyak macamnya. Secara garis besar, jenis yang kedua ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu hadits maudhu’ (palsu) dan hadits dha’if (lemah).
Wajibnya Beramal dengan Hadits Shahih
Sebagai orang yang beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya, kita wajib bersegera beramal dengan hadits yang sudah pasti keshahihannya. Allah k berfirman,
ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ
“Sesungguhnya, jawaban orang-orang mukmin apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nuur: 51)
Allah l berfirman pula,
ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Hukum Menyengaja Menyelisihi Perintah Rasulullah n
Dari dua ayat di atas dapat dipahami haramnya hal tersebut. Masih ada ancaman yang lebih keras dan lebih tegas, yaitu pada firman Allah l,
ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nuur: 63)
Kedudukan Hadits dalam Islam
Kedudukan hadits dalam agama Islam sangatlah tinggi. Ia menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Hal ini bukan berarti dinomor duakan atau diambil secara bersamaan.
Agama Islam tidak dapat dipahami dan diamalkan dengan sempurna kecuali dengan hadits. Sebab, di dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan beberapa perkara secara global, tidak ada perinciannya. Maka haditslah yang merincinya.
Misalnya perintah shalat, Allah l berfirman,
ﭸ ﭹ
“Dan tegakkanlah shalat.”
Al-Qur’an tidak menyebutkan jumlah rakaat, sifat shalat, dan hal-hal lain yang terkait dengan rukun, syarat, dan sunnah-sunnah dalam shalat. Rincian ibadah shalat terdapat dalam hadits.
Demikian pula halnya zakat, haji, puasa, dan ibadah lainnya, penjelasannya terdapat dalam hadits. Dengan demikian, tidak bisa dipisahkan antara al-Qur’an dan hadits. Keduanya adalah satu kesatuan untuk memahami Islam.
Kekuatan hukum hadits yang shahih seperti al-Qur’an. Allah l berfirman,
ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3—4)
Dari keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan salahnya paham qur’aniyyun (baca: ingkarus sunnah, golongan yang mengingkari sunnah) yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an dalam memahami agama Islam.
Kitab yang Khusus Memuat Hadits Shahih
Kitab yang memuat hadits-hadits shahih adalah Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dua kitab ini adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Ulama telah bersepakat tentang keshahihan hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Kitab al-Muwaththa’ al-Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Sunan al-Baihaqi adalah kitab-kitab yang memuat hadits-hadits shahih yang sangat banyak, namun terdapat pula yang lemah.
Cara Mengetahui Keshahihan Hadits
Kita, kaum muslimin dan muslimat yang awam, hendaknya mencukupkan diri dengan penelitian para ulama hadits, seperti ulama terdahulu; al-Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Hajar, dll. Atau ulama hadits zaman ini, seperti asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Muqbil, dan ulama yang lain.
Bolehkah Berdalil dengan Hadits Lemah atau Hadits Palsu?
Hadits yang lemah (dha’if) dan yang palsu (maudhu’) pada hakikatnya bukanlah sabda Rasulullah n. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi kita berdalil dengannya atau menjadikannya sebagai sumber hukum.
Cara Mengetahui Kelemahan dan Kepalsuan Hadits
Jawabannya, bagi kita yang awam, dengan cara merujuk pada kitab ulama hadits, seperti kitab “Kumpulan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu” karya asy-Syaikh al-Albani dan yang lainnya, atau kitab-kitab yang semisalnya.
Dampak Negatif Berdalil dengan Hadits Lemah dan Hadits Palsu
Dampak negatifnya sangatlah banyak. Cukuplah kita sebutkan sebagian di antaranya, yaitu timbulnya pemahaman sesat, munculnya kebid’ahan (amalan yang dianggap sebagai ajaran Islam padahal bukan), dan timbulnya perselisihan umat.
Tiga dampak di atas sangat berat dan parah, belum lagi dampak-dampak yang lain. Oleh karena itu, seorang muslim dan muslimah haruslah berhati-hati terhadap hadits-hadits dha’if dan maudhu’.
Terlebih lagi di zaman sekarang yang penuh dengan fitnah dan kebodohan. Setiap orang berbicara masalah agama, padahal dia bukan ahlinya. Setiap orang bisa menulis makalah tentang agama padahal bukan bidangnya. Seseorang bisa mengajak orang lain untuk mengamalkan sebuah amalan padahal tidak ada dalilnya.
Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah n,
قَبْلَ السَّاعَةِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ
“Sebelum terjadinya kiamat, ada masa pemutarbalikan fakta. Di saat itu, orang yang jujur dianggap berdusta, orang yang berdusta dianggap benar, orang yang amanah dianggap berkhianat, orang yang berkhianat dianggap amanah, dan berbicaralah ruwaibidhah.” (HR. Ahmad no. 8459, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, 4/396)
Ruwaibidhah adalah orang bodoh dalam hal agama, tetapi berbicara masalah besar yang terkait dengan agama.
Menjadi kelaziman bagi seorang muslim dan muslimah agar teliti dan selektif dalam menimba ilmu agama. Al-Imam Ibnu Sirin, seorang ulama tabi’in, menasihati kita,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَلْيَنْظُرْ عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama (ilmu) kalian.” (Muqaddimah Shahih Muslim hlm. 11)
Makna nasihat ini adalah hendaknya kita waspada saat menimba ilmu agama. Sebab, akan berbahaya jika kita sembarangan ketika menimba ilmu, bisa jadi akibatnya adalah kesesatan yang ujungnya adalah neraka.
Kita senantiasa memohon kepada Allah l agar tetap diberi petunjuk di atas jalan-Nya yang lurus.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca sebagai mukadimah untuk edisi berikutnya, yaitu cuplikan hadits-hadits yang berkaitan dengan kewanitaan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.