Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
Mengenal Allah Bagian Ke-2
Saudariku fillah, pada edisi sebelumnya kita telah mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta. Kali ini, insya Allah, kita akan mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada pada diri kita.
Tanda-tanda kekuasaan Allah pada diri kita
Apabila mau memerhatikan dengan saksama keberadaan diri kita, niscaya kita akan mendapati bukti-bukti kebesaran Allah. Perhatikanlah ayat berikut.
أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَيۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَٰلِقُونَ ٣٥
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun (ada dengan sendirinya) ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)?” (ath-Thur: 35)
Keberadaan manusia itu tidak akan lepas dari tiga kemungkinan. Pertama, manusia itu ada dengan sendirinya tanpa adanya penciptaan dan yang menciptakan. Kedua, dia menciptakan dirinya sendiri. Ketiga, ada yang menciptakannya.
Kemungkinan pertama akan langsung dianggap mustahil oleh akal. Mustahil manusia ada tanpa ada yang menciptakannya. Bahkan, seandainya orang-orang kafir musyrik Quraisy ditanya siapakah yang menciptakan diri mereka, mereka akan menjawab, “Allah.”
Kemungkinan kedua juga akan langsung diingkari oleh akal. Sebelum ada, manusia itu tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa menciptakan dirinya?
Tidak tersisa bagi akal selain kemungkinan ketiga, yaitu adanya sang Maha Pencipta yang keberadaan-Nya tidak pernah didahului dengan ketiadaan, yang hidup abadi dan tidak akan pernah sirna. Dialah Allah yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya bahwa Jubair bin Muth’im berkata, “Saya mendengar Nabi membaca surat at-Thur pada waktu shalat maghrib. Tatkala beliau sampai pada ayat, ‘Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun (ada dengan sendirinya) ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)? Apakah mereka menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya, mereka tidak meyakininya. Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekalah yang berkuasa?’[1], hampir-hampir hatiku melayang.”
Saat ini kita dalam keadaan hidup, bisa melihat, mendengar, berbicara, berakal, memiliki kehendak, dst…. Sebelum ini, kita tidak ada. Awal keberadaan kita adalah setetes air mani yang menjijikkan dengan sifat dan ciri yang sama antara satu mani dan mani yang lain. Mustahil sesuatu yang sama tersebut menjadi sesuatu yang lain dengan jenis, macam, sosok, dan karakter yang berbeda, tanpa ada yang mengaturnya.
Perbedaan jenis, misalnya, ada manusia dan ada binatang. Dari jenis manusia pun ada bermacam-macam suku bangsa dan bahasa. Ada laki-laki dan ada perempuan. Dilihat dari sosoknya juga demikian, ada yang berkulit putih, ada yang berkulit hitam, ada yang pendek, ada yang tinggi, dst. Dilihat dari karakternya juga demikian, ada yang pemaaf, ada yang pemarah, ada yang pendiam, ada yang hiperaktif. Demikian pula halnya binatang.
Perhatikanlah dengan saksama dan renungilah beberapa ayat berikut.
قُتِلَ ٱلۡإِنسَٰنُ مَآ أَكۡفَرَهُۥ ١٧ مِنۡ أَيِّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥ ١٨ مِن نُّطۡفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ ١٩
“Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (‘Abasa: 17—19)
أَلَمۡ يَكُ نُطۡفَةٗ مِّن مَّنِيّٖ يُمۡنَىٰ ٣٧ ثُمَّ كَانَ عَلَقَةٗ فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ ٣٨ فَجَعَلَ مِنۡهُ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ ٣٩
“Bukankah dia dahulu adalah setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakan dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikannya sepasang; laki-laki dan perempuan?” (al-Qiyamah: 37—39)
وَٱللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَآبَّةٖ مِّن مَّآءٖۖ فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ بَطۡنِهِۦ وَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ رِجۡلَيۡنِ وَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰٓ أَرۡبَعٖۚ يَخۡلُقُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٤٥
“Allah telah menciptakan semua makhluk yang melata dari air (mani), maka sebagian darinya ada yang berjalan dengan perut, sebagian yang lain berjalan dengan kedua kaki, sedangkan sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (an-Nur: 45)
Asy-Saikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Elemen dasar (penciptaan)nya adalah satu (yaitu air mani), tetapi makhluk yang tercipta beraneka rupa. Ada yang berjalan dengan perutnya, seperti ular dan yang sejenisnya. Ada yang berjalan dengan dua kaki, seperti manusia dan bangsa burung. Ada pula yang berjalan dengan empat kaki, seperti binatang ternak dan yang sejenisnya. Keragaman makhluk yang berasal dari satu elemen itu menunjukkan kemahakuasaan Allah dalam merealisasikan kehendak-Nya.” (Taisirul Karimir Rahman)
Mirip dengan fenomena ini adalah air hujan yang diturunkan oleh Allah dari langit. Perhatikanlah bagaimana bumi melahirkan berbagai tumbuhan, pepohonan, dan tanaman, padahal disiram dengan satu air, yaitu air hujan.
Allah berfirman,
وَفِي ٱلۡأَرۡضِ قِطَعٞ مُّتَجَٰوِرَٰتٞ وَجَنَّٰتٞ مِّنۡ أَعۡنَٰبٖ وَزَرۡعٞ وَنَخِيلٞ صِنۡوَانٞ وَغَيۡرُ صِنۡوَانٖ يُسۡقَىٰ بِمَآءٖ وَٰحِدٖ وَنُفَضِّلُ بَعۡضَهَا عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلۡأُكُلِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ٤
“Di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ra’d: 4)
Saudariku fillah, renungkanlah kembali bagaimana air mani yang menjijikkan tersebut bisa berubah menjadi makhluk yang memiliki sekian banyak sifat dan karakter. Namun, sebelum itu, perhatikanlah bagaimana air mani tersebut mengalami tahapan demi tahapan penciptaan.
Allah berfirman,
ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang tersebut Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (al-Mu’minun: 14)
Subhanallah (Mahasuci Allah), dari setetes air mani yang hina manusia diciptakan oleh Allah. Bisakah masuk ke akal kita bagaimana sesuatu yang cair, lumer, lembek, lagi menjijikkan bisa menjadi sesuatu yang sebagiannya keras (tulang) dan sebagian yang lain lunak (daging)? Sesuatu yang keras tersebut pun tersebar ke seluruh bagian yang lunak membentuk satu rangkaian yang sangat sempurna. Kemudian, tumbuh darinya urat dan saraf yang menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain. Terbentuk dengannya berbagai organ dengan bermacam-macam fungsi yang sesuai dengan kemaslahatan makhluk tersebut. Mungkinkah keteraturan ini terjadi dengan sendirinya?
Perhatikanlah sekali lagi penciptaan ini, di manakah terjadinya? Di dalam rahim! Ya, di tempat yang sangat sempit lagi sangat gelap. Hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya,
يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ
“Dia menciptakan kalian dalam perut ibu kalian, kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.” (az-Zumar: 6)
Tiga kegelapan tersebut adalah kegelapan perut, kegelapan rahim, dan kegelapan selaput pembungkus janin. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Perhatikanlah kehidupan kita di dalam rahim yang sempit dan tertutup. Seandainya bayi ditutup rapat beberapa saat setelah lahir, niscaya dia akan mati. Bahkan, tidak sedikit kasus bayi yang mati di dalam tabung inkubator setelah lahir, padahal tabung tersebut jauh lebih luas daripada rahim.
Bayi tersebut pun keluar dari tempat yang begitu sempit tanpa keinginan bayi itu sendiri ataupun ibunya. Sungguh, ini rahasia yang sangat rumit dan sulit dipecahkan. Itulah ketentuan Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Si bayi pun selamat, padahal menerima tekanan yang begitu kuat saat melewati mulut rahim yang sempit. Sang ibu juga selamat, padahal mengalami perdarahan yang begitu hebat. Semua ini menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah bagi siapa saja yang mau merenungkannya. Allah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya,
وَمَا تَحۡمِلُ مِنۡ أُنثَىٰ وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلۡمِهِۦۚ
“Tidak ada seorang wanita pun yang mengandung ataupun melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.” (Fathir: 11)
Semenjak hari kelahiran tersebut, ASI pun diproduksi. Siapakah yang mengaturnya? Keberadaan ASI itu sendiri pun merupakan tanda kekuasaan Allah yang sangat besar. Bagaimana Allah mengeluarkan dari tubuh seorang wanita air susu yang bersih dan segar, yang terpisahkan dari kotoran dan darah dalam perutnya?
Perhatikanlah isi perut kita, apa yang keluar darinya? Sesuatu yang sangat busuk baunya, kotoran yang sangat menjijikkan. Bayangkan, sesuatu tersebut selalu kita bawa ke mana pun kita pergi, tetapi sedikit pun tidak tercium bau busuk tersebut dari tubuh kita. Kotoran tersebut tertutup dengan sangat rapat dan tidak keluar kecuali dengan kemauan kita, sehingga kita bisa mengeluarkannya di tempat tertutup. Mahabesar Allah, Dzat yang Mahabijaksana.
Yang juga sangat menakjubkan adalah tertahannya air kencing meskipun kita dalam keadaan tidur. Kita semua mengetahui bahwa sesuatu yang cair akan selalu mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah. Lihatlah, kandung kemih menuju keran pembuangan yang selalu terbuka, tidak pernah kita sumbat, dan tidak ada sesuatu pun yang mengikatnya. Akan tetapi, air tersebut tidak keluar kecuali saat kita menghendakinya.
Selanjutnya, perhatikanlah posisi mata kita, alangkah sangat proporsional. Mata terletak di bagian tubuh yang paling atas sehingga terjauhkan dari hal-hal yang akan mengganggu dan menyakitinya. Coba bayangkan seandainya mata tersebut terletak di bagian kaki!
Sekali lagi, renungkanlah bagaimana Allah meletakkan mata tersebut di bagian wajah sehingga bisa melihat dengan leluasa tanpa terhalangi oleh apa pun. Mata juga menghiasi wajah sehingga wajah tampak sangat indah dengan keberadaannya. Coba bayangkan seandainya mata kita berada di belakang kepala, di dada, di perut, atau di punggung kita, niscaya tidak akan tercapai maslahat yang diinginkan dengannya. Bayangkan pula seandainya wajah kita tidak memiliki mata, niscaya akan sangat buruk penampilan kita. Demikian pula seandainya kita perhatikan seluruh bagian anggota tubuh kita yang lain, niscaya akan kita dapati hikmah yang tiada tara besarnya. Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.
Mungkinkah diterima oleh akal bahwa keteraturan yang sangat sempurna ini terjadi begitu saja secara alami tanpa ada yang mengaturnya?
Allah, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, telah menunjukkan kepada manusia bahwa sesuatu yang bersifat alami tidak akan menghasilkan keteraturan. Kobaran api tidak akan menghasilkan sesuatu yang beraturan jika dibiarkan secara alami. Sifatnya yang membakar tidak akan menghasilkan kemanfaatan jika tidak ada yang mengaturnya. Dia akan menghancurkan apa saja jika kobarannya besar; sebaliknya, dia tidak bisa menghasilkan apa-apa ketika nyalanya kecil. Demikian pula halnya angin, air, gas, minyak, dan yang lainnya.
Dari arah mana mereka bisa dipalingkan? Dengan pembicaraan yang bagaimana lagi, setelah tampak jelas keberadaan Allah dan kebesaran-Nya, mereka baru akan beriman?
Sungguh, masih banyak sekali rahasia kebesaran Allah dalam diri kita yang akan kita dapatkan di saat kita mau memerhatikannya dengan saksama. Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Ath-Thur: 35—37.