Muslimah yang dirahmati oleh Allah, pada pembahasan lalu telah disebutkan keutamaan Ayat Kursi yang terdapat dalam hadits Ubai bin Ka’ab. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam menggelarinya sebagai ayat yang paling agung dalam Kitabullah. Masih ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan lain ayat ini.
Namun, sebelum kami sebutkan keutamaan tersebut, kami sempurnakan dahulu pembahasan terkait dengan makna dan kandungan ayat ini.
Kalimat Keempat (لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ)
Kalimat ini menerangkan bahwa Allah adalah pemilik langit dan bumi beserta segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Dia pulalah pencipta tunggal langit, bumi, dan segala makhluk yang berada di sana. Semua berada dalam kekuasaan-Nya dan diatur menurut kehendak-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal kerajaan, kepemilikan, dan penciptaan.
Saudariku, sesekali cobalah tengok ke atas. Lihatlah langit saat hari cerah. Pandanglah dengan tatapan iman. Perhatikanlah lapis terbawah dari tujuh lapis langit yang dicipta. Sanggupkah mata ini menjangkau tepiannya? Bagaimana langit yang luas tak terhingga itu bisa tegak tanpa ada satu pun tiang penyangga? Bangunan yang sudah berumur tua, berjuta abad menjadi atap, mengapa belum berlubang, belum pula retak-retak? Subhanallah! Tabarakallah!
Langit dunia…. Di sanalah bintang-bintang, matahari, dan bulan—ciptaan Allah yang semuanya begitu berarti bagi kehidupan insan—dipasang oleh Allah. Langit juga menjadi sumber rezeki kita. Allah menurunkan darinya air yang suci dan diberkati. Di sana pula disimpan oleh-Nya catatan takdir kita dan catatan tentang balasan yang dijanjikan, di dunia ataupun kelak di alam baka.
Kemudian, bumi yang kita pijak ini seharusnya juga menjadi salah satu objek renungan kita. Alangkah luasnya, alangkah banyak manfaatnya. Di atasnyalah kita bangun rumah untuk berteduh. Di atasnya pula kita bisa bercocok tanam. Dari sanalah kita bisa menikmati berbagai jenis makanan. Saat kita menyantap berbagai jenis hidangan lezat, jangan sampai alur berpikir kita terhenti pada resep dan cara pengolahannya. Lebih dalam daripada itu, hendaknya kita menyadari bahwa semua makanan itu adalah anugerah Allah yang dikeluarkan dari perut bumi.
Kalimat Kelima (مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِه)
Kalimat ini berkonteks pertanyaan, “Siapakah yang bisa memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin dari-Nya?” Sebuah pertanyaan, tetapi maknanya adalah penampikan, yaitu menampik anggapan bahwa di antara kekasih Allah ada yang bisa memberikan syafaat di sisi-Nya walaupun Ia belum mengizinkan.
Tidak demikian! Betapa banyak malaikat—hamba-hamba Allah yang suci—yang berada di langit, tetapi tidak bisa memberikan syafaat kepada siapa pun sebelum mendapatkan persetujuan dari Allah. Begitu pula Nabi kita, Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bukanlah pemilik syafaat yang sesungguhnya. Beliau adalah hamba Allah. Namun, beliau adalah salah satu kekasih Allah yang diberi hak memberi syafaat setelah Allah mengizinkannya.
Sebagai contoh, syafaat teragung yang diajukan oleh Nabi kita kepada Allah kelak bagi ahli mahsyar (umat manusia yang berkumpul di mahsyar pada hari kiamat, –ed.). Syafaat ini tidak berlangsung begitu saja. Beliau tidaklah berani berinisiatif mengajukan syafaat untuk mereka. Tidak! Namun, dengan izin Allah, Nabi datang ke hadirat Allah dan bersujud di bawah ‘Arsy. Beliau bertasbih dan memuji-Nya dengan puja-puji yang diilhamkan seketika itu pada kalbu dan lisan beliau, yang belum pernah beliau ucapkan di dunia. Setelah itu, barulah Allah memerintah Nabi untuk bangkit dari sujud dan menyampaikan permintaan beliau, lalu beliau diberi izin untuk memberikan syafaat. Beliau pun mengutarakan permohonan seluruh ahli mahsyar agar Allah segera menegakkan perhitungan atas amal-amal mereka.
Tahukah Anda, Apakah Syafaat Itu?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa syafaat adalah perantaraan (pertolongan) untuk menyampaikan permohonan. Syafaat biasa terjadi dalam kehidupan ini antara raja dan rakyat, antara penguasa dan masyarakat. Walaupun tampaknya yang butuh terhadap para pemberi syafaat adalah rakyat, penguasa pun butuh dengan keberadaan mereka. Sebab, penguasa memiliki kekurangan ilmu dan pemahaman secara riil dan akurat tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh rakyat. Juga adanya celah-celah dari sisi kekuasaan yang selalu melekat pada penguasa di bumi.
Namun, bagi Allah, syafaat bukan sebagai bantuan untuk-Nya. Syafaat di sisi Allah memiliki dua tujuan:
Bagaimana mungkin Allah membutuhkan mereka, padahal Allah memiliki kesempurnaan ilmu dan qudrah (kemampuan)?
Kalimat Keenam (يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ)
Kalimat ini menerangkan kesempurnaan ilmu Allah. Allah Maha Mengetahui segala-galanya, baik yang telah berlalu, yang sedang berlangsung, maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu sebelum segala sesuatu itu terjadi. Tidak ada sesuatu pun, baik yang di langit maupun di bumi, yang tersembunyi bagi Allah. Allah juga Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam dada.
Ilmu Allah adalah ilmu yang azali dan abadi, tidak diawali dengan ketidaktahuan dan tidak berakhir dengan kelupaan. Kesempurnaan ilmu inilah yang mewajibkan kita untuk beribadah hanya kepada-Nya.
Allah mengetahui segala gerak-gerik hamba-Nya. Amalan kebajikan dan kejahatan, yang lahir ataupun yang batin, semuanya diketahui oleh Allah tanpa menunggu laporan dari makhluk. Semua amalan telah tercatat, dan catatan tersebut terjaga. Tiada yang terluput. Pada hari kiamat nanti Allah membeberkan kembali hasil usaha manusia di dunia secara total dan rinci. Kemudian, dibalas-Nya kebaikan sesuai dengan kemurahan-Nya dan kejelekan dengan seadil-adilnya.
Kalimat Ketujuh (َلَا يُحِيطُونَ بِشَيۡءٖ مِّنۡ عِلۡمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ)
Kalimat ini juga menunjukkan kesempurnaan ilmu Allah. Allah menerangkan bahwa ilmu-Nya yang begitu luas tidaklah ada yang mampu menguasainya. Tidak ada satu pun ciptaan Allah yang mampu mengetahui sebuah masalah selain dengan pengajaran dan pemberitahuan dari Allah. Jika Allah berkehendak mengajarkan suatu urusan kepada seseorang, hal itu pun akan diketahui olehnya. Sebaliknya, jika Allah tidak berkehendak mengajarinya, dia tidak akan mengetahui hal tersebut.
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ َالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ
“Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami’.” (al-Baqarah: 31—32)
Di banyak kesempatan, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya oleh kaumnya tentang berbagai hal dan kejadian, yang telah lalu ataupun yang akan datang. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bisa menyebutkannya dengan rinci dan tepat setelah mendapat pengajaran dari Allah. Namun, pada beberapa kesempatan, beliau tidak bisa menjawab pertanyaan mereka, seperti pertanyaan tentang ruh, waktu hari kiamat, dsb. Sebab, Allah tidak membukakan ilmu tentang hal-hal tersebut untuk beliau.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ ٣٤
“Sesungguhnya Allah, pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Kalimat Kedelapan, (وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ)
‘Arsy adalah ciptaan Allah yang terbesar. Kursi juga ciptaan Allah yang berukuran besar, yang meliputi langit dan bumi seluruhnya. Kursi bukanlah ‘Arsy. Ibnu ‘Abbas menafsirkan tentang makhluk Allah yang bernama Kursi ini bahwa ia adalah tempat diletakkannya kedua kaki Allah. (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 12404 dengan sanad yang hasan dan al-Hakim 2/282—beliau menyatakannya shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Apakah Kursi betul-betul benda yang memiliki fisik atau sekadar kiasan tentang kekuasaan Allah? Dalam as-Silsilah ash-Shahihah (1/109), asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلَاةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ
“Tidak lain perbandingan tujuh langit terhadap Kursi Allah kecuali seperti sebuah cincin yang dilemparkan di atas padang sahara. Adapun besarnya ‘Arsy apabila dibandingkan dengan Kursi, seperti luasnya padang sahara dibandingkan dengan cincin tersebut.”
Di akhir hadits ini, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan bahwa tidak ada hadits shahih mengenai bentuk Kursi Allah selain hadits ini. Kursi adalah makhluk terbesar setelah ‘Arsy. Kursi adalah makhluk yang konkret (memiliki fisik), bukan sesuatu yang abstrak (bersifat maknawi).
Kalimat Kesembilan (وَلَا ئَُودُهُۥ حِفۡظُهُمَاۚ)
Allah tidak terbebani dan tidak merasa keberatan dalam menjaga langit dan bumi beserta semua yang ada di dalamnya. Semua mudah dan ringan bagi Allah. Dialah yang menjaga setiap jiwa atas apa yang diperbuatnya. Dialah yang Maha Mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang terluput dari pengawasan-Nya. Segala sesuatu bagi Allah adalah hina. Mereka semua tunduk dan butuh kepada-Nya. Adapun Allah, Dia Mahakaya, Maha Terpuji, dan Maha Berbuat sekehendak-Nya. Allah tidak ditanya mengapa berbuat begini dan begitu. Akan tetapi, merekalah yang akan ditanyai dan dimintai tanggung jawab atas perbuatan mereka.
Kalimat Kesepuluh (وَلَا ئَُودُهُۥ حِفۡظُهُمَاۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡعَظِيمُ)
Kalimat terakhir dari Ayat Kursi ini menetapkan sifat ketinggian bagi Allah di atas ciptaan-ciptaan-Nya, sekaligus menetapkan keagungan Allah, baik dalam hal Dzat maupun seluruh sifat-Nya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan rahasia penggabungan dua nama ini. Beliau berkata, “Dalam Ayat Kursi, Allah menyebutkan sifat hayat yang merupakan pokok seluruh sifat. Dia sebutkan pula sifat qayyumiyah yang mengharuskan kesempurnaan Dzat Allah dan kekekalan-Nya. Segala kekurangan ditiadakan dari Dzat Allah, seperti tidur, kantuk, lemah, dll. Kemudian, disebutkan pula kesempurnaan kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak pada kerajaan tersebut, sehingga tidak ada yang bisa memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya.
Kemudian, Allah menyebutkan keluasan ilmu-Nya. Tidak ada sedikit pun dari ilmu itu yang terjangkau oleh makhluk kecuali jika Allah berkehendak mengajarinya. Allah menyebutkan pula luasnya kursi-Nya, yang hal itu mengingatkan kita akan kebesaran dan keagungan-Nya. Kemudian, Allah memberitakan keperkasaan-Nya, dan bahwa Allah Mahamampu menjaga alam semesta, baik yang berada di atas maupun di bawah, tanpa ada keberatan dan kepenatan sedikit pun. Allah menutup ayat ini dengan dua nama yang mulia, yang menunjukkan ketinggian Dzat dan keagungan diri-Nya.”
Selanjutnya, beliau mengatakan, “Nama al-‘Aliyyu menyuratkan sifat sempurna bagi Allah, demikian pula nama al–‘Azhim. Beriringnya dua nama ini juga menyuratkan kesempurnaan tersendiri bagi Allah. Allah Mahatinggi dalam keagungan-Nya dan Mahaagung dalam ketinggian-Nya. Bisa jadi, nama al-‘Aliyyu disebutkan terlebih dahulu sebagaimana didahulukannya penyebutan sebab atas musababnya. Jadi, kita katakan tentang dua nama ini, ‘Allah Mahaagung karena ketinggian-Nya di atas seluruh makhluk’.” (ash–Shawa’iqul Mursalah 4/1364)
Keutamaan Lain Ayat Kursi
Sebagaimana yang telah kami janjikan, di pengujung tulisan ini kami sebutkan keutamaan lain Ayat Kursi.
1. Orang yang membacanya akan dijaga dari gangguan setan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengisahkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mempercayakan kepadaku tugas penjagaan zakat Ramadhan yang berwujud bahan makanan. Saat aku berjaga, datanglah seseorang meraup bahan makanan. Kusergap dia, lalu kuancam, ‘Demi Allah, aku akan membawamu kepada Rasulullah.’
Namun, ia mencegahku dan berkata, ‘Aku ini orang tak punya. Anak-anakku banyak. Aku sangat butuh.’ Mendengar ucapannya itu, aku pun melepasnya.
Keesokannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya sebelum aku melapor, ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang diperbuat oleh tawananmu semalam?’
‘Wahai Rasulullah, ia mengeluhkan hajat yang mendesak dan anak yang banyak. Saya kasihan kepadanya sehingga dia pun saya bebaskan,’ jawabku.
‘Ketahuilah, sesungguhnya ia menipumu. Ia akan datang lagi,’ tegas Nabi.
Aku menjadi sangat yakin bahwa orang itu akan datang lagi. Aku pun mengintai kehadirannya. Benar, ia datang lagi. Lagi-lagi ia mencuri bahan makanan. Aku kembali menangkapnya dan mengancamnya lagi untuk dihadapkan kepada Rasulullah.
‘Lepaskan aku,’ katanya. ‘Aku orang miskin, punya banyak tanggungan. Aku tidak akan datang lagi.’
Aku pun membiarkannya pergi karena merasa kasihan.
Keesokannya, Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya lagi kepadaku, ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang diperbuat oleh tawananmu semalam?’
‘Wahai Rasulullah, ia mengeluhkan hajat dan tanggungannya. Saya kasihan kepadanya sehingga membebaskannya.’
‘Ketahuilah, sesungguhnya ia membohongimu. Tunggulah, ia akan datang lagi.’
Aku pun mengintai kehadirannya pada kali yang ketiga. Ternyata, ia datang lagi mengambil sejumlah bahan makanan. Kutangkap lagi dia dan kuancam, ‘Aku benar-benar akan menyeretmu ke hadapan Rasulullah. Ini sudah ketiga kalinya engkau berjanji tidak akan kembali.’
Ia berkata, ‘Lepaskan aku! Aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang dengannya Allah akan memberikan manfaat kepadamu.’
‘Kalimat apa itu?’ tanyaku.
Ia menjawab, ‘Ketika engkau berbaring di atas ranjangmu, bacalah Ayat Kursi hingga selesai. Sesungguhnya Allah akan senantiasa menjagamu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai subuh.’
Aku pun membiarkannya pergi.
Keesokannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya pula kepadaku, ‘Apa yang diperbuat oleh tawananmu semalam?’
‘Wahai Rasulullah,’ jawabku, ‘ia mengaku telah mengajari saya kalimat yang dengannya Allah akan memberikan manfaat kepada saya, sehingga saya pun melepasnya.’
Kata Rasulullah, ‘Kalimat apa itu?’
Aku menirukan ucapan orang itu.
‘Ketahuilah, Abu Hurairah,’ sabda Rasulullah, ‘ia telah berkata jujur kepadamu (tadi malam), padahal ia pendusta. Tahukah kamu, siapa yang engkau temui selama tiga malam berturut turut itu? Ia adalah setan’.” (HR. al–Bukhari)
Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa ia memiliki satu gentong kurma. Ia merasa aneh karena kurma itu selalu berkurang dan berkurang. Ubai berinisiatif menjaga kurma itu pada malam hari. Ternyata, datang sesosok makhluk mirip anak remaja (menghampiri gentong itu). Tanpa merasa canggung, Ubai mengucapkan salam kepadanya, dan ia pun menjawabnya. Ubai bertanya, “Kamu ini jin atau manusia?”
Sosok tersebut menjawab, “Aku dari bangsa jin.”
Ubai berkata, “Ulurkan tanganmu kepadaku.”
Jin itu pun mengulurkan tangannya kepada Ubai. Ternyata, tangannya berwujud tangan anjing yang berbulu lebat layaknya bulu anjing.
Ubai bertanya, “Beginikah tubuh para jin?”
“Sungguh, bangsa jin telah mengetahui bahwa di antara mereka ada yang lebih kuat daripada diriku,” sahut jin tersebut.
Ubai berkata lagi, “Apa yang mengundangmu hingga kamu sampai ke sini?”
Jin itu berkata, “Aku mendengar kabar bahwa Ubai adalah orang yang gemar bersedekah. Oleh karena itu, aku datang agar mendapat jatah dari makananmu.”
“Bagaimana agar kami selamat dari gangguanmu?”
Jin itu berkata, “Ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah, yaitu Allahu la ilaha illa huwa al–Hayyu al–Qayyum. Barang siapa membacanya pada petang hari, akan dijaga dari jin hingga pagi; dan barang siapa membacanya pada pagi hari, akan dijaga darinya hingga sore hari.”
Keesokannya, Ubai mendatangi Rasulullah n dan menceritakan pengalamannya kepada beliau. Beliau bersabda, “Orang jelek itu telah berkata jujur kepadamu.” (Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh an–Nasa’i dan ath–Thabarani dengan sanad yang jayyid.”)
2. Besar harapan mendapat husnul khatimah bagi orang yang membaca Ayat Kursi secara kontinu.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا أَنْ يَمُوتَ
“Barang siapa membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat fardhu, tidak ada yang menghalanginya untuk masuk jannah selain kematian.” (HR. an–Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnus Sunni, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih al–Jami’)
Wallahu a’lam bish-shawab.