Qonitah
Qonitah

mandi dalam bimbingan syariat (bagian kedua)

10 tahun yang lalu
baca 11 menit
Mandi dalam Bimbingan Syariat (Bagian Kedua)

fikih-ibadah-13Al-Ustadz Utsman 

 

Beberapa Mandi yang Disunnahkan

  1. Mandi ketika masuk Islam.

Dalilnya adalah hadits tentang masuk Islamnya Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits ini disebutkan bahwa beliau mandi ketika hendak mengucapkan syahadat dan masuk Islam (HR. al-Bukhari dan Muslim).[1] Oleh karena itu, disunnahkan mandi bagi orang yang masuk Islam, kecuali jika ada sebab yang mengharuskan mandi sebelum dia masuk Islam. Misalnya, seorang kafir junub lalu masuk Islam, maka dalam keadaan ini wajib baginya mandi.[2]

  1. Mandi ketika siuman dari pingsan.

Dalilnya adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sakit keras sebelum wafat. Ketika itu beliau pingsan beberapa kali, dan setiap kali siuman, beliau mandi (HR. al-Bukhari dan Muslim).

  1. Mandi ketika masuk kota Mekah.

Dalilnya ialah hadits Ibnu ‘Umar yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mandi jika masuk Mekah (HR. Muslim, dan al-Bukhari meriwayatkan yang semisalnya). Disyariatkan mandi ini karena kehormatan kota Mekah, bukan karena seseorang melakukan ihram. Jadi, walaupun seseorang tidak dalam keadaan ihram, tetap disunnahkan mandi jika masuk kota Mekah.

  1. Mandi karena ihram.

Hal ini berdasarkan penuturan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa di antara sunnah (sunnah nabawiyyah, –pen.) adalah seseorang mandi jika hendak berihram.[3] Syariat ini juga berlaku bagi wanita yang ihram dalam keadaan nifas sekalipun[4].

  1. Mandi setelah menguburkan jenazah seorang musyrik.

Hal ini berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam kepada ‘Ali bin Abi Thalib setelah beliau radhiyallahu ‘anhu mengubur jenazah Abu Thalib.[5]

Selain yang tersebut di atas, para ulama juga berpendapat disunnahkannya mandi pada hari Idul Fitri dan Idul Adha serta untuk hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), karena mandi masuk dalam makna berhias. Selain itu, ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mandi pada hari id dan hari ‘Arafah, sebagaimana tersebut dalam atsar yang shahih. Adapun hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang mandi pada hari id dan hari ‘Arafah, semuanya tidak shahih.[6]

 

Tata Cara Mandi

Ada dua tingkatan tata cara mandi yang syar’i.

Caranya, berniat mengangkat/menghilangkan hadats besar lalu mengalirkan air ke seluruh tubuh, yakni seluruh permukaan kulit, termasuk kulit kepala. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bagian-bagian tubuh yang terlipat atau tersembunyi, seperti ketiak, bagian dalam daun telinga, pusar, kulit di antara kedua pantat, sela-sela jari kaki, lipatan-lipatan perut, dan semisalnya.[7]

Apakah wajib membasuh bagian dalam mulut, hidung, dan kemaluan? Menurut pendapat yang kuat, ini semua tidak wajib dibasuh. Wallahu a’lam.

Banyak hadits yang menjelaskan tuntunan nabawi terkait dengan tata cara mandi secara mendetail. Di antaranya hadits dari dua istri beliau, ‘Aisyah dan Maimunah radhiyallahu ‘anhuma. Secara berurutan, tata cara mandi ini sebagai berikut.

  • Membasuh kedua pergelangan tangan. Jika air yang dipakai bersuci diambil dari wadah (bukan dari keran air), kedua tangan dibasuh sebelum dimasukkan ke wadah.
  • Membersihkan kemaluan—dari bekas mani atau kotoran yang menempel—dengan tangan kiri, kemudian mengusapkan tangan kiri ke dinding atau mencucinya dengan sabun dan semisalnya.
  • Berwudhu sebagaimana ketika hendak shalat, termasuk membasuh kedua kaki.
  • Menciduk air dengan kedua tangan dan memasukkan jari-jemari yang basah ke pangkal rambut kepala sampai diperkirakan seluruh kulit kepala sudah basah.
  • Mengguyurkan air ke kepala tiga kali—guyuran pertama ke bagian kanan kepala, guyuran kedua ke bagian kiri, dan guyuran ketiga ke bagian tengah.[8] Tiap guyuran ini menggunakan kedua telapak tangan yang disatukan.
  • Mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh dengan memerhatikan bagian-bagian tubuh yang terlipat atau tersembunyi. Tidak disunnahkan mengulangi guyuran untuk seluruh tubuh sebanyak tiga kali selama seluruh tubuh sudah terkena air.

Catatan:

  • Dalam sebagian riwayat hadits disebutkan bahwa wudhu di awal mandi tanpa membasuh kedua kaki, dan membasuh kaki diakhirkan setelah seluruh rangkaian tata cara mandi di atas. Terkait dengan perbedaan riwayat ini, agar bisa mengamalkan seluruh sunnah yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkadang kita mandi dengan cara pertama (dengan berwudhu secara sempurna, termasuk membasuh kaki), dan terkadang dengan cara kedua (dengan berwudhu tanpa membasuh kaki, dan mengakhirkan pembasuhan kaki di akhir mandi).[9]
  • Tata cara mandi di atas sama untuk pria dan wanita.
  • Antara mandi junub dan mandi ketika suci dari haid atau nifas ada beberapa perbedaan[10]:
  1. Pada mandi suci dari haid disyariatkan membersihkan bekas-bekas darah haid dari kemaluan dan memasukkan semacam kapas yang telah diberi minyak misk[11] ke dalam kemaluan. Apabila tidak ada misk, bisa dipakai wewangian lain. Ini semua dilakukan setelah selesai mandi, bukan sebelumnya. Pada mandi junub tidak disunnahkan menggunakan
  2. Pada mandi suci dari haid disunnahkan mencampur air dengan daun sidr (daun bidara), sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat al-Imam Muslim, sedangkan pada mandi junub tidak disunnahkan.
  • Apakah ikatan rambut harus diurai ketika mandi? Jika tidak diurai diperkirakan air tidak akan bisa membasahi kulit kepala, ikatan rambut wajib diurai. Adapun jika tidak diurai air masih bisa membasahi kulit kepala, ikatan rambut tetap sangat ditekankan untuk diurai pada mandi suci dari haid. Berbeda halnya dengan mandi junub, rambut tidak perlu diurai.[12] Biar dibahas di rubrik fikih wanita saja agar tidak berulang.
  • Tidak disunnahkan berwudhu setelah mandi. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan bahwa biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak berwudhu setelah mandi.[13]

 

Tuntunan dalam Pemakaian Air untuk Bersuci

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa air yang sah dipakai untuk wudhu dan mandi tidak memiliki batasan tertentu; mencukupi dalam jumlah sedikit ataupun banyak selama terpenuhi syarat sah basuhan, yaitu mengalirnya air ke anggota-anggota (wudhu ataupun mandi). Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ‘Mungkin dengan kelembutan (kehati-hatian), air sedikit saja sudah cukup, dan mungkin pula dengan kecerobohan, air banyak tidak cukup.’.”

Beliau (an-Nawawi) juga berkata, “Ulama sepakat bahwa al-israf (membuang-buang/menyia-nyiakan) air merupakan perbuatan terlarang walaupun dilakukan di pinggir laut.”[14]

Beberapa hadits datang menjelaskan jumlah air yang pernah dipakai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam untuk mandi. Ternyata ada perbedaan jumlah yang pernah dipakai, di antaranya:

  • pernah beliau mandi dengan air 1 sha’ sampai 5 mudd[15] ( al-Bukhari dan Muslim).
  • pernah beliau mandi bersama ‘Aisyah dengan wadah yang menampung 3 sha’ ( al-Bukhari dan Muslim).
  • pernah beliau mandi bersama ‘Aisyah dengan wadah yang menampung 3 mudd ( Muslim).

Dari sini para ulama menyimpulkan bahwa tidak ada batasan minimal atau maksimal jumlah air yang harus terpenuhi. Yang penting, jangan terlalu banyak sampai ke taraf israf, jangan pula terlalu ingin hemat tetapi tidak tercapai kadar wajib untuk bersuci.[16]

 

Beberapa Hukum yang Terkait dengan Orang yang Berhadats Besar

Hukum berzikir dengan selain membaca al-Qur’an: boleh.

Hukum menadabburi al-Qur’an dengan kalbunya: boleh.

Hukum membaca al-Qur’an

Ada perbedaan pendapat yang sangat kuat tentang hal ini di kalangan ulama. Pendapat yang kuat adalah boleh berdasarkan beberapa dalil, di antaranya[17]:

  1. Keumuman hadits ‘Aisyah dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berzikir kepada Allah dalam segala keadaan. Hadits ini bermakna umum, baik terkait dengan zikir yang masuk di dalamnya membaca al-Qur’an, maupun terkait dengan keadaan, yaitu keadaan suci dan selainnya, termasuk keadaan hadats besar.
  2. Keumuman hadits tentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam kepada ‘Aisyah, “Lakukanlah semua hal yang dilakukan oleh orang yang sedang berhaji, tetapi jangan thawaf mengelilingi al-Bait (Ka’bah).” ( al-Bukhari dan Muslim). Ini beliau sampaikan kepada istri beliau, ‘Aisyah, yang bersedih karena mengalami haid padahal sedang menjalankan ibadah haji.

Dipahami dari hadits ini bahwa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita yang haid dalam ibadah haji hanyalah thawaf di Ka’bah. Adapun selain thawaf, ibadah apa saja yang biasa dilakukan oleh orang yang sedang berhaji boleh dilakukan oleh wanita haid, termasuk membaca al-Qur’an. Tentu dikecualikan pula melakukan shalat dan puasa karena kedua ibadah ini, sebagaimana sudah dimaklumi bersama, tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid.

  1. Tidak adanya dalil yang shahih dan jelas, yang melarang wanita haid membaca al-Qur’an.[18]

 

Hukum Berada di Masjid Sementara Waktu bagi Orang Junub atau Haid

Pendapat yang kuat adalah boleh, dan bagi wanita yang haid ada syarat, yaitu bisa menjaga agar jangan sampai zat najis (darah haidnya, -ed.) mengotori masjid. Di antara dalilnya adalah:

  1. Keumuman hadits kedua pada masalah sebelum ini. Artinya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya dilarang thawaf di Ka’bah. Adapun melakukan ibadah selain thawaf, seperti berada di masjid sementara waktu untuk berzikir, tidak terlarang.
  2. Sekian banyak hadits yang mengisahkan ahlush shuffah, para sahabat miskin yang diberi izin tinggal di salah satu bagian Masjid Nabawi. Tentu di antara mereka ada yang mengalami junub. Namun, tidak didapatkan hadits yang berisi petunjuk kepada mereka untuk keluar dari masjid jika mengalami junub.
  3. Hadits masyhur tentang al mar’ah as-sauda’, seorang wanita hitam yang tinggal di masjid dan membersihkan masjid. Hukum asal bagi setiap wanita adalah mengalami haid, tetapi tidak ada petunjuk kepada wanita ini untuk menjauhi masjid jika mengalami haid.
  4. Hadits di dalam ash-Shahih tentang tinggalnya Ibnu ‘Umar semasa muda di masjid. Sisi pendalilannya seperti dua dalil sebelumnya.
  5. Tidak adanya dalil yang shahih dan jelas, yang terkait dengan larangan masalah ini.[19]

Wallahu a’lam bish shawab.

[1] Hadits ini diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaq, Ahmad, dan yang lainnya dengan redaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah Tsumamah untuk mandi. Hanya saja, riwayat perintah untuk mandi ini tidak shahih dan bertentangan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang tidak menyebutkan perintah untuk mandi, tetapi (mandi itu) atas inisiatif Tsumamah sendiri. Ada pula hadits dari Qais bin ‘Ashim z bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah beliau untuk mandi ketika masuk Islam. Hadits ini dinyatakan shahih oleh beberapa ulama, tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa sanadnya munqathi’ (terputus). Walhasil, guru kami, asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-‘Adani, menyatakan bahwa tidak ada hadits shahih yang berisi perintah untuk mandi bagi seseorang yang masuk Islam (sebagaimana dalam rekaman pelajaran beliau Syarh Muntaqal Akhbar dan Syarh Manhajus Salikin). Wallahu a’lam.

[2] Suci dari hadats merupakan syarat sah shalat. Sebagaimana orang kafir yang punya hadats kecil lalu masuk Islam dan hendak shalat harus berwudhu, demikian pulalah jika punya hadats besar lalu masuk Islam, dia wajib mandi.

[3] HR. al-Bazzar, dan asy-Syaikh Muqbil menyatakannya shahih dalam ash-Shahihul Musnad.

[4] Ats-Tsamarul Mustathab. Demikian pula yang dikuatkan oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-‘Adani hafizhahullah (semoga Allah menjaga beliau).

[5] HR. Ahmad dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani menyatakannya shahih dalam berbagai kitab beliau, seperti dalam al-Irwa’.

[6] Masih ada beberapa mandi lain yang digolongkan sebagai mandi yang disunnahkan, seperti mandi ketika akan shalat (atau pada tiga waktu shalat) untuk wanita istihadhah, mandi setiap selesai jima’, dan mandi bagi orang yang telah memandikan mayat, dsb. (bisa dirujuk ke kitab ats-Tsamarul Mustathab). Hanya saja, perlu dilihat kembali derajat keshahihan hadits-hadits tersebut karena beberapa ahli hadits menilainya lemah. Wallahu a’lam. Saran: catatan seperti ini perlu dihilangkan agar tidak mengurangi ketsiqahan terhadap asy-Syaikh al-Albani.

[7] Syarh Shahih Muslim lin Nawawi.

[8] Ada pula yang berpendapat bahwa masing-masing dari ketiga guyuran itu dikenakan ke seluruh bagian kepala. Namun, apa yang kami sebutkan di atas lebih sesuai dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Wallahu a’lam.

[9] Sebagian ulama menempuh beberapa cara lain untuk menggabungkan kedua riwayat di atas.

[10] Bisa dirujuk ke kitab Fathul Bari li Ibni Rajab.

[11] HR. al-Bukhari dan Muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya wajib. Hikmah syariat ini adalah mengharumkan kemaluan dan menghilangkan bau yang tidak sedap darinya.

[12] Silakan dirujuk masalah ini secara lebih luas dalam kitab Tahdzibus Sunan karya Ibnul Qayyim.

[13] HR. al-Khamsah. Asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh Muqbil menyatakannya shahih.

[14] Syarh Shahih Muslim.

[15] 1 mudd adalah seukuran kedua telapak tangan yang disatukan, tidak terlalu terbuka dan tidak terlalu tertutup. 1 sha’ = 4 mudd.

[16] Nailul Authar.

[17] Sengaja kami menguraikan masalah ini dan masalah setelahnya dengan sedikit panjang lebar.

[18] Adapun hadits yang maknanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam membaca al-Qur’an dalam segala keadaan selama tidak junub adalah hadits yang lemah. Dalam sanadnya ada seorang perawi bernama ‘Abdullah bin Salimah; dia dha’if/lemah dan meriwayatkan hadits ini setelah tua dan mulai pikun. Asy-Syafi’i berkata bahwa ahli hadits tidak menetapkan hadits ini (menganggapnya sebagai hadits yang lemah). Begitu pula hadits yang maknanya janganlah seorang yang junub atau haid membaca sedikit pun dari al-Qur’an. Di sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin ‘Ayyasy. Para imam ahli hadits, seperti al-Bukhari, Ahmad, dan Abu Hatim ar-Razi, mengingkarinya karena dia meriwayatkan hadits ini. Walhasil, masih ada beberapa hadits lain yang semakna, dan semuanya lemah.

[19] Ada beberapa hadits yang berisi larangan bagi seorang junub atau wanita haid untuk berada sementara waktu di masjid. Namun, semuanya tidak shahih sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya asy-Syaikh al-Albani dalam Tamamul Minnah.