Permasalahan khitan bagi wanita hingga saat ini menjadi polemik/perdebatan, baik di kalangan medis maupun masyarakat pada umumnya. Ada yang pro (setuju), ada pula yang kontra (menentang), terutama setelah keluarnya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Oleh karena itu, kami merasa terpanggil untuk menjelaskan khitan ini dari tinjauan syariat, dengan mengharapkan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Pengertian Khitan
Khitan (الخِتَانُ) adalah masdar (bentuk kata benda) dari fiil خَتَنَ yang artinya memotong. Kata الخَتْنُ artinya memotong bagian tertentu dari anggota tubuh yang tertentu pula. Jadi, kata الخِتَانُ merupakan istilah bagi perbuatan pengkhitan, dan dapat diartikan sebagai tempat memotong dari pria dan wanita. (Lihat Fathul Bari 10/340 karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani)
Dalil-dalil Disyariatkannya Khitan
1. Dalil dari al-Qur’an al-Karim
ﮋ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪﮊ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) lalu Ibrahim menunaikannya.”
Khitan adalah salah satu kalimat yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai ujian bagi Nabi Ibrahim ‘alahissalam. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Ibrahim diuji dengan sepuluh hal bersuci: lima di kepala dan lima di badan. Yang di kepala adalah memotong kumis, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, bersiwak, dan membelah rambut kepala. Adapun yang di badan adalah memotong kuku, mencukur rambut kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, dan membasuh tempat keluarnya kotoran dan kencing dengan air (istinja).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/170)
ﮋ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮊ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama (ajaran) Ibrahim, seorang yang hanif’.”
Ayat ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau untuk mengikuti agama (ajaran) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,. Salah satu ajaran beliau ‘alaihissalam adalah khitan, dan beliaulah manusia pertama yang melakukannya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً بِالْقَدُوْمِ
”Nabi Ibrahim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun menggunakan kapak.” (HR. al–Bukhari 6/388 dan 11/88, Muslim no. 2370, dan Ahmad 2/322, 417, 435)
Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim, “Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun. Khitan terus-menerus dilakukan oleh para rasul setelah beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka. Al–Masih Isa ‘alaihissalam juga berkhitan.”
2. Dalil dari as–Sunnah al–Muthahharah
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ، وَالْاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ
“Ada lima hal yang termasuk fitrah: berkhitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut rambut ketiak.” (HR. al–Bukhari 10/343, Muslim no. 257, at–Tirmidzi 2756, an–Nasa’i 8/181, 1/14, dan Ibnu Majah no. 292. Ini adalah lafadz al-Imam Muslim)
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan telah bertemu, diwajibkan mandi.” (HR. at–Tirmidzi 1/180—181, asy-Syafi’i 1/36, Ibnu Majah 1/211, dan Ahmad 6/161, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 80, 1/121)
Hadits ini secara jelas menunjukkan adanya dua khitan, yaitu pada pria dan pada wanita.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang pria telah duduk di antara empat cabang tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh khitan istrinya, wajib mandi.” (HR. al–Bukhari 1/291 dan Muslim no. 343)
Di dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan adanya dua tempat khitan, yaitu pada pria dan pada wanita. Hal ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.
لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Jangan dihabiskan karena hal itu lebih menguntungkan wanita dan lebih disenangi oleh suami.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 5271, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al–Jami’ ash–Shaghir no. 498)
إَذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلَا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ
“Apabila engkau mengkhitan (para wanita), potonglah sedikit, jangan dihabiskan. Sebab, hal itu lebih membaguskan wajah dan lebih menyenangkan suami.” (HR. ath-Thabarani, Abu Dawud, al-Hakim, dan al–Baihaqi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al–Jami’ ash-Shaghir no. 509)
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ثُمَّ اخْتَتِنْ
“Cukurlah darimu rambut kekafiran, kemudian berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud dalam Shahih Abu Dawud no. 382, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al–Jami’ ash-Shaghir no. 1251 dan Irwa’ul Ghalil no. 75)
مَنْ أَسْلَمَ فَلْيَخْتَتِنْ وَإِنْ كَانَ كَبِيْرًا
“Barang siapa masuk Islam, hendaklah dia berkhitan meskipun telah dewasa.”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Meskipun mursal, hadits ini layak dijadikan dalil (sandaran) hukum.” (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud hlm. 148)
Hukum Khitan Bagi Wanita
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan bagi wanita. Ada yang berpendapat wajib dan ada yang berpendapat sunnah. Namun, dengan melihat dalil-dalil yang ada atau dari keumuman dalil, penulis lebih condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa khitan hukumnya wajib, baik bagi pria maupun wanita. Ini adalah pendapat:
Setelah membawakan hadits-hadits tentang khitan, seperti hadits,
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Beliau rahimahullah berkata, “Hadits ini menjadi dalil bahwa dahulu para wanita juga dikhitan.”
Di dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, beliau membawakan lima belas sisi pendalilan yang mewajibkan khitan ini. Beliau juga menyebutkan pasal tersendiri yang menyebutkan bahwa hukum khitan bersifat umum mencakup pria dan wanita. (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud hlm. 147—167)
Dalam Fathul Bari (10/339), beliau menukilkan perkataan Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membahas hadits, “Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur rambut kemaluan, …”. Kata beliau, “Menurut saya, kelima fitrah yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai salah seorang Bani Adam. Jika demikian, bagaimana mungkin ia termasuk dari kaum muslimin?”
Asy-Syaikh al-Albani berkata dalam kitab beliau, Tamamul Minnah (hlm. 69), “Adapun hukum khitan, yang rajih (kuat) menurut kami adalah wajib. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, seperti al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, dan al-Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi pendalilan yang mendukung pendapat ini. Ketika berdiri sendiri, setiap sisi tidak kokoh (dukungannya atas pendapat ini). Akan tetapi, secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Namun, bukan di sini tempat untuk membawakan semuanya. Kami cukup menyebutkan dua sisi saja, yaitu:
Khitan adalah salah satu millah (ajaran) Ibrahim ‘alaihissalam, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Hurairah yang disebutkan di dalam kitab ini (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud). Ini adalah hujah terbaik, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dan dinukilkan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari (10/281).
Waktu Khitan
Baik bagi pria maupun wanita, waktu khitan mempunyai batasan minimal dan batasan maksimal. Batasan minimal (waktu mustahab/disunnahkan) khitan adalah hari ketujuh setelah kelahiran, berdasarkan beberapa hadits berikut.
Adapun batasan maksimal (waktu wajib untuk khitan) adalah sebelum balig (tanda-tanda balig bisa dilihat pada edisi 2). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh orang tua/wali tidak mengkhitan anaknya sampai melebihi masa balig.” (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud karya Ibnul Qayyim hlm. 158—159)
Batasan yang Dipotong/Diambil Ketika Khitan
An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (1/543), “Yang wajib pada pria ketika dikhitan adalah dipotong seluruh kulit yang menutupi al-hasyafah (kepala zakar) sampai terbuka seluruh hasyafah tersebut.”
Adapun bagian yang dipotong pada wanita ketika khitan, ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Ini pendapat jumhur ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Imam an-Nawawi, al-Imam al-Mawardi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Namun, ini pendapat yang marjuh (tidak kuat) karena tidak didukung oleh ulama-ulama sebelumnya.
Di antara kedua pendapat ini, yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan demikian, khitan yang syar’i tidak bertentangan dengan peraturan menteri kesehatan tentang khitan wanita.
Hikmah dan Faedah Khitan
Khitan mempunyai banyak hikmah dan faedah, di antaranya:
Wallahu a‘lam.
[1] Yang wajib adalah memotong sedikit kulit teratas/tertinggi dari bagian tersebut, bukan sampai pangkalnya.