Perwujudan Cinta Sejatiku
Adalah lumrah jika cinta menuntut pengorbanan. Orang yang jatuh cinta pasti siap berbuat apa saja demi orang yang ia cintai. Dia juga pantang berbuat sesuatu yang tidak disukai oleh orang yang ia cintai, apalagi melakukan hal-hal yang membuatnya marah dan murka. Jika tidak, pengakuan cintanya patut dipertanyakan.
Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’I rahimahullah —ulama besar pada masanya, yang ketenaran namanya terus diakui oleh kaum muslimin hingga hari ini—mengatakan dalam untaian mutiara syairnya,
تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ
هَذَا لَعَمْرِي فِي الْقِيَاسِ شَنِيعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ
إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ
Engkau menentang Allah, padahal mengaku mencintai-Nya
Sungguh, menurut akal, ini sangat jelek
Kalau saja cintamu itu jujur, niscaya engkau menaati-Nya
Sebab, orang yang mencintai taat terhadap yang dicintainya
Pembaca Qonitah, cinta itu menuntut ketaatan, tidak cukup dengan pengakuan lisan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Apabila kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang’.” (Ali ‘Imran: 31)
Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menuntut setiap orang yang menyatakan cinta kepada-Nya untuk membuktikannya. Bukti cinta tersebut adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Allah telah menjadikan Nabi-Nya tersebut sebagai suri teladan yang harus diikuti dan diteladani, sebagaimana dalam ayat-Nya,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi barang siapa yang mengharap (bertemu dengan) Allah dan hari akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
Ayat-ayat al-Qur’an yang Memerintahkan Menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah mengatakan, “Aku melihat dalam mushaf al-Qur’an, maka aku dapati ‘menaati Rasul’ pada 33 ayat dalam al-Qur’an.”
Di antara ayat-ayat tersebut telah kami sebutkan dalam majalah Qonitah (vol. 1/edisi 01 1434 H/2013 M, hlm. 17—19). Silakan membaca dan mempelajarinya kembali.
Dari ayat-ayat tersebut bisa ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya:
Al-Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullah menegaskan, “Menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah tunduk terhadap sunnah-sunnah beliau.” (Lihat Shahih Ibnu Hibban di bawah hadits no. 18)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Al-Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari rahimahullah, imam para ulama ahli tafsir, menerangkan ayat tersebut. Menurut beliau, seorang mukmin dan mukminah tidak pantas mempunyai pilihan lain selain menaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak pantas seorang mukmin dan mukminah menentang Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa menentang, dia telah menyimpang dari jalan yang benar dan tidak menempuh jalan hidayah. (Tafsir ath-Thabari dengan diringkas)
Maka dari itu, berhati-hatilah, wahai wanita mukminah. Ketika mendengar perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala atau perintah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, baik yang terkait dengan keyakinan, cara beribadah, aturan bermuamalah, cara berpakaian, cara berumah tangga, tata krama bermasyarakat, maupun perintah lainnya, jangan sampai Anda tidak bersegera melaksanakannya. Perhatikan, jangan sampai Anda mempunyai alternatif lain selain menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak, awas! Ancaman Allah sangat besar, “Sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk jannah (surga), kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya, ‘Siapakah yang enggan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barang siapa taat kepadaku, dia masuk jannah; dan barang siapa menentangku, dia telah enggan masuk jannah.” (HR. al-Bukhari no. 7280)
Saudariku muslimah, tentu Anda bercita-cita masuk jannah, bukan? Kalau begitu, bersegeralah menjadi mukminah yang taat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Bagaimanakah cara menaati Rasul?
Sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Ibnu Hibban di atas, menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah dengan tunduk terhadap sunnah-sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wassalam. Dalam semua sepak terjang Anda sehari-hari, jadikan diri Anda sebagai insan yang taat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Jika Anda berani menentang sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, berarti Anda enggan masuk jannah! Subhanallah, adakah orang yang beriman, tetapi tidak mau masuk jannah? Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah).
Menutup tulisan singkat ini, mari kita renungkan ucapan al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah, “Keterangan yang saya sampaikan, yaitu perintah Allah yang mewajibkan umat manusia untuk menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, adalah dalil (bukti) bahwa sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam itu datang dari Allah. Barang siapa mengikutinya, berarti dia telah mengikuti sunnah tersebut berdasarkan al-Qur’an. Kita tidak mendapati berita yang menyebutkan bahwa Allah mewajibkan hamba-Nya (untuk mengikutinya) dengan nash yang tegas, selain al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah tidak menjadikan kedudukan bagi seorang pun yang semisal dengan kedudukan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Allah mewajibkan para hamba-Nya untuk ber-ittiba’ (mengikuti beliau) dan menaati perintah-perintah beliau. Semua hamba adalah pengikut beliau, sedangkan pengikut tidak boleh menyelisihi kewajibannya, yaitu mengikuti beliau. Barang siapa yang wajib mengikuti sunnah Rasulullah, tidak ada pilihan lain baginya selain sunnah tersebut.” (ar-Risalah hlm. 109)
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, taat dan berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Barang siapa memerhatikan alam (dunia) ini dan berbagai kejelekan yang ada padanya, dia akan tahu bahwa setiap kejelekan di alam ini disebabkan oleh penentangan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam dan keluar dari ketaatan kepada beliau; sedangkan setiap kebaikan di alam ini disebabkan oleh ketaatan kepada beliau.
Demikian pula berbagai kejelekan, kepedihan, dan azab di akhirat. Semua ini tidak lain adalah akibat dan konsekuensi menentang Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam. Jadi, semua kejelekan di dunia dan di akhirat berpangkal pada penentangan terhadap Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam.
Seandainya umat manusia menaati Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam dengan sebenar-benarnya, di dunia ini tidak akan terjadi satu kejelekan pun. Ketaatan kepada Rasul laksana benteng, barang siapa memasukinya, dia aman; laksana gua, barang siapa berlindung di dalamnya, selamat. Jelaslah bahwa penyebab kejelekan di dunia dan di akhirat tidak lain adalah kejahilan (bodoh/tidak berilmu) tentang sunnah yang dibawa oleh Rasul dan keluar dari (terikat) dengannya. Inilah bukti yang pasti bahwa tidak ada keselamatan dan kebahagiaan bagi hamba selain dengan cara berupaya serius untuk mengenal ilmu tentang sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan mengamalkannya.” (ar-Risalah at-Tabukiyyah hlm. 43—44)
[1] Semua ajaran dan tata cara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam beragama.