Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
Ketahuilah, saudariku, sesungguhnya hal yang paling dibenci oleh Allah dari diri hamba-Nya adalah apabila si hamba menjadikan tandingan bagi Allah.
Suatu ketika, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Itulah perbuatan syirik. Sama saja, apakah yang dijadikan tandingan bagi Allah tersebut adalah makhluk-makhluk yang paling mulia di sisi-Nya, seperti para malaikat yang terdekat dan para nabi yang diutus, ataupun makhluk yang derajatnya lebih rendah daripada mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادٗا لِّي مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن كُونُواْ رَبَّٰنِيِّۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ ٱلۡكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ ٧٩ وَلَا يَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُواْ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةَ وَٱلنَّبِيِّۧنَ أَرۡبَابًاۗ أَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡكُفۡرِ بَعۡدَ إِذۡ أَنتُم مُّسۡلِمُونَ ٨٠
“Tidak sepantasnya seseorang yang diberi oleh Allah al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, ‘Jadilah kalian sebagai para penyembahku, bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi, (yang dia katakan adalah), ‘Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani dengan sebab kalian selalu mengajarkan al-Kitab dan dengan sebab kalian terus mempelajarinya.’ Tidak pula dia menyuruh kalian menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Pantaskah dia menyuruh kalian berbuat kekafiran dalam keadaan kalian telah berislam?” (Ali ‘Imran: 79—80)
Perlu diketahui, syirik bukan semata-mata keyakinan akan adanya pencipta selain Allah. Syirik bukan pula semata-mata perbuatan menyamakan sebagian makhluk dengan Allah. Akan tetapi, hakikat kesyirikan adalah menyerahkan hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah kepada selain Allah.
Saudariku, tahukah Anda hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah, yang Dia tidak mengizinkan satu pun hamba-Nya bersekutu dengan-Nya dalam hal tersebut? Hal yang khusus bagi-Nya ini banyak sekali, tetapi bisa dirumuskan dalam tiga poin berikut.
Hanya Allah yang mampu melihat segala penjuru alam semesta dan mengetahui apa saja—yang besar dan yang kecil, yang tampak dan yang tersembunyi, yang dekat dan yang jauh—di setiap waktu. Allah mengetahui jumlah butiran pasir di padang sahara, ikan di dasar lautan, dsb. Allah mengetahui bisikan hati seluruh manusia pada waktu yang sama. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.
Itu semua adalah sifat yang khusus bagi Allah. Jadi, jika seseorang meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui seluruh kondisinya, yang apabila dengan penuh konsentrasi dia menghadirkan wajah makhluk tersebut dalam pikirannya, kemudian menyebut namanya dengan lisan atau hatinya dengan penuh keyakinan bahwa makhluk ini mampu mengetahui perbuatannya, mendengar seluruh permohonannya, dan mengetahui semua urusannya; dia telah melakukan kesyirikan. Sama saja halnya, apakah makhluk ini malaikat yang terdekat, nabi yang diutus, imam besar, wali tersohor, jin, atau yang lainnya. Sama saja halnya pula, apakah diyakini bahwa ilmu tersebut ada pada makhluk-makhluk ini semenjak awal, ataukah diyakini bahwa ilmu tersebut sebagai anugerah ilahi yang kemudian menjadi sifat yang melekat padanya selama-lamanya.
Menghidupkan dan mematikan, meluaskan dan menyempitkan rezeki, memuliakan dan merendahkan, memenangkan dan mengalahkan, memberi kesehatan dan penyakit, menolak mudarat dan mendatangkan manfaat, mengabulkan doa dan menahannya, dan sebagainya—itu semua sifat khusus bagi Allah. Tiada sekutu bagi-Nya dalam sifat-sifat tersebut.
Maka dari itu, barang siapa meyakini bahwa di antara makhluk Allah ada yang memiliki sifat-sifat tersebut sehingga dia menyampaikan hajat kebutuhannya kepada makhluk itu, bernazar dan berkurban untuknya, memanggil namanya ketika tertimpa musibah, dsb., sungguh dia telah melakukan kesyirikan.
Sesungguhnya, Allah mengkhususkan beberapa amalan pengagungan hanya untuk diri-Nya, seperti sujud, rukuk, berdiri dengan penuh kekhusyukan dan merendahkan diri dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sebagaimana dalam shalat; sedekah, puasa, haji dengan berbagai syiarnya, kurban, nazar, bersumpah hanya dengan nama-Nya, dsb. Maka dari itu, barang siapa memberikan praktik amalan tersebut untuk selain Allah, dia telah berbuat syirik.
Misalnya, memberikannya kepada kuburan tertentu.
Seseorang menuju kuburan itu dari tempat yang jauh (safar) sebagaimana ia menuju Baitullah untuk berhaji. Dia teriakkan nama penghuni kubur tersebut dalam perjalanannya layaknya sedang bertalbiah kepada Allah. Dia membawa binatang kurban ke sana dan thawaf di sana. Kuburan itu diberinya tirai sebagaimana halnya Ka’bah diberi tirai. Dia berdiri dengan khusyuk di hadapan kuburan seraya memanjatkan doa kepada penghuninya, dan menyampaikan bermacam-macam hajat kebutuhan dunia dan akhiratnya. Dia agungkan kuburan tersebut sebagaimana diagungkannya Ka’bah. Diciumnya sebagian sisi nisan kuburan sebagaimana diciumnya Hajar Aswad. Dipeluknya kuburan itu dan dinyalakannya penerangan di sekitarnya dengan penuh pengagungan dan perendahan hati. Dia membersihkannya dan menghamparkan permadani di sekitarnya. Dia juga menyiapkan air wudhu di dekatnya, ngalap (mencari) berkah dengan air yang ada di sekitarnya, lalu meminum dan membawanya pulang untuk dibagi-bagikan kepada orang lain. Hal itu disertai keyakinan adanya berkah pada air tersebut sebagaimana keyakinan terhadap air Zamzam. Dia menghormati rerumputan, pepohonan, dan binatang yang ada disekitar kuburan.
Ini semua adalah praktik kesyirikan. Sama saja, apakah penghuni kubur tersebut seorang nabi, wali, orang saleh, pemimpin tarekat, tokoh umat, pendiri pondok, ataupun yang lainnya.
Menyerahkan semua itu kepada selain Allah—siapa pun dan apa pun dia—adalah kesyirikan, baik kepada kuburan, pohon, batu besar, tempat keramat, binatang tertentu, maupun yang lainnya.
Ketahuilah, saudariku, sesungguhnya syirik adalah dosa yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Orang yang melakukan kesyirikan berarti telah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya. Ia telah memberikan ibadah bukan kepada yang berhak menerimanya. Padahal, ibadah adalah hak terbesar Allah atas para hamba.
Allah mengabarkan bahwa orang yang melakukan kesyirikan dan mati dengan membawa dosa tersebut, diharamkan masuk surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢
“Sesungguhnya barang siapa menyekutukan Allah, sungguh Allah mengharamkan baginya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka. Tiada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 72)
Allah subhanahu wa ta’ala juga mengabarkan bahwa Dia tidak akan pernah mengampuni dosa syirik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (an-Nisa’: 48)
Allah subhanahu wa ta’ala juga mengabarkan bahwa seluruh amalan pelaku kesyirikan akan musnah sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٨٨
“Seandainya mereka berbuat syirik, niscaya sia-sia seluruh amal perbuatan mereka.” (al-An’am: 88)
Allah juga berfirman,
وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥
“Sungguh, telah diwahyukan kepadamu, juga kepada (para nabi) sebelummu, ‘Sungguh, jika engkau berbuat syirik, niscaya benar-benar akan terhapus amalanmu dan benar-benar engkau termasuk orang-orang yang merugi’.” (az-Zumar: 65) (Lihat Kitabut Tauhid karya asy-Syaikh Shalih al-Fauzan)
Wallahu a’lam bish-shawab.