Al-Ustadz Abu Hafsh Umar
Mensyukuri nikmat adalah kemestian. Akan tetapi, jika seorang hamba tidak menyadari sebuah nikmat, bagaimana dia bisa mensyukurinya? Ada nikmat yang tidak disadari oleh kebanyakan muslimin, yaitu nikmat kesempurnaan Islam.
Allah l telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna. Kesempurnaan agama Islam adalah nikmat agung yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat ini. Allah l berfirman,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)
Ibnu Katsir t berkata, “Ini adalah nikmat Allah yang paling agung, yaitu Allah telah menyempurnakan agama ini untuk mereka.”
Ketika ayat ini turun, ada seorang Yahudi yang mendengarnya. Dia berkata kepada Umar bin al-Khaththab a, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian, yang seandainya ayat tersebut diturunkan kepada kami, bangsa Yahudi, niscaya hari turunnya ayat tersebut kami jadikan sebagai hari raya.”
Umar bertanya, “Ayat apa itu?”
Si Yahudi menjawab,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)
Kata Umar, “Demi Allah, aku mengetahui hari dan waktu turunnya ayat tersebut kepada Rasulullah n, yaitu pada sore Hari Arafah pada hari Jumat.” (HR. Ahmad)
Mengapa Yahudi tersebut ingin menjadikan hari turunnya ayat di atas sebagai hari raya? Sebab, dia mengerti bahwa kesempurnaan Islam adalah nikmat yang luar biasa lagi sangat membahagiakan. Oleh karena itulah, hari turunnya ayat tersebut hendak dijadikan sebagai hari raya.
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, semestinya kita lebih berbahagia daripada si Yahudi tersebut atas nikmat kesempurnaan Islam ini. Sayang, sebagian muslimin kurang menyadari bahwa kesempurnaan Islam adalah nikmat yang agung. Mereka justru menganggap bahwa Islam belum sempurna. Akibatnya, mereka menambahkan dalam Islam urusan-urusan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n. Padahal, Rasulullah n bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan agama kami ini suatu perkara yang tidak termasuk darinya, perkara itu tertolak.” (HR. al-Bukhari)
Rasulullah n datang membawa risalah yang telah sempurna. Risalah beliau mencakup segala kebaikan yang ada dalam risalah nabi-nabi terdahulu. Segala sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan bagi umat manusia sudah disebutkan oleh risalah beliau. Tidak ada sedikit pun kebaikan yang terluput dari ajaran beliau. Allah l berfirman,
“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab (al-Qur’an).” (al-An’am: 38)
Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur sendi-sendi kehidupan kita, dari etika pergaulan, pernikahan, hukum bisnis dan perdagangan, kehidupan bertetangga, hukum kenegaraan, sampai masalah yang dianggap sepele oleh sebagian orang, seperti adab buang hajat, adab tidur, dsb.
Tentu saja, semua itu untuk kebaikan dan kemaslahatan para hamba. Seorang Yahudi bertanya kepada Salman al-Farisi a, “Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu kepada kalian, sampai masalah tata cara buang hajat?”
Salman menjawab, “Ya, beliau mengajari kami. Ketika buang hajat, kami dilarang menghadap atau membelakangi kiblat. Beliau juga melarang kami cebok dengan kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Sebenarnya, si Yahudi ingin mengejek Salman dengan pertanyaan tersebut. Dia menduga bahwa Islam tidak mengajarkan cara buang hajat. Akan tetapi, sebagai agama yang sempurna, tentu Islam mengajarkan segala sesuatu, sekalipun masalah buang hajat. Agama ini juga mengajarkan tata cara ibadah yang mengantarkan seorang hamba lebih dekat dan senantiasa terikat dengan Allah.
Tidak ada sesuatu pun yang mendatangkan kebaikan bagi hamba di dunia dan di akhirat melainkan telah dijelaskan oleh Nabi kita; dan tidak ada sesuatu pun yang membahayakan hamba melainkan Nabi kita telah memperingatkan darinya. Beliau n bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya, tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan dia telah menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang dia ketahui dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang telah dia ketahui.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash a)
Setelah kita mengetahui hakikat kesempurnaan ajaran Islam, ada beberapa konsekuensi yang mesti kita jalankan, di antaranya:
1. Karena kesempurnaan Islam adalah nikmat yang terbesar, semestinya kita senantiasa mensyukurinya dengan cara selalu bersemangat untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam agar bisa meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah l berfirman,
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
2. Hendaknya kita mencukupkan diri dengan ajaran Islam dan meninggalkan segala ajaran lainnya, apalagi konsep-konsep buatan manusia. Sebab, segala aturan yang bisa memperbaiki kehidupan kita telah ada dalam ajaran Islam. Adapun ajaran dan konsep buatan manusia tidak akan diterima di sisi Allah. Allah l berfirman,
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
3. Karena Islam adalah agama yang sempurna, kita tidak diperkenankan menambah-nambahi ajaran Islam. Sebab, segala urusan yang ditambahkan dan diada-adakan dalam masalah agama adalah bid’ah. Logikanya, jika ada orang yang menambahi ajaran Islam dengan berbuat bid’ah, berarti dia menganggap ajaran Islam belum sempurna. Padahal, Rasulullah n telah menyampaikan seluruh ajaran Islam, sedikit pun tidak ada yang beliau sembunyikan.
Aisyah d berkata, “Barang siapa menganggap bahwa Muhammad n menyembunyikan sesuatu dari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada beliau, sungguh dia telah membuat sebesar-besar kedustaan atas nama Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah l memberikan taufik kepada kita dan kepada kaum muslimin agar bisa menjalankan agama yang sempurna, yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah n ini, demi meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.