Asal arti kata ash-shidq (kejujuran) adalah kabar yang bersesuaian dengan kenyataan.
Ash-shidq terdapat pada kabar atau berita. Apabila Anda mengabarkan tentang sesuatu dan kabar tersebut sesuai dengan kejadian sesungguhnya, dikatakan bahwa kabar tersebut jujur. Misalnya, pada hari Ahad Anda mengatakan, “Hari ini hari Ahad”, maka kabar Anda benar. Namun, jika Anda mengatakan, “Hari ini hari Senin”, kabar Anda dusta. Kesimpulannya, jika kabar sesuai dengan realitas yang sesungguhnya, dikatakan sebagai kabar jujur; dan jika tidak, dikatakan sebagai kabar dusta.
Ash-shidq juga terdapat pada ucapan dan perbuatan, yaitu ketika keadaan batin seseorang bersesuaian dengan keadaan lahirnya. Dia mengamalkan sesuatu yang bersesuaian dengan isi hatinya. Oleh karena itu, orang yang berlaku riya’ bisa dikatakan sebagai orang yang tidak jujur. Sebab, dia menampakkan diri di hadapan orang lain sebagai orang yang beribadah kepada Allah, padahal kenyataannya tidak demikian.
Seorang yang musyrik (melakukan kesyirikan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala juga bukan orang yang jujur, karena ia menampakkan diri sebagai orang yang bertauhid, padahal kenyataannya tidak demikian.
Begitu juga halnya orang-orang munafik. Mereka tidak jujur karena menampakkan keimanan, padahal bukan orang-orang yang mukmin.
Seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) juga bukan orang yang jujur. Sebab, ia menampakkan diri mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal pada kenyataannya ia bukan orang yang mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kejujuran adalah salah satu sifat orang-orang yang beriman. Sebaliknya, kedustaan adalah salah satu sifat kaum munafik. (Syarh Riyadhus Shalihin “Bab ash-Shidq”, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah )
Kejujuran adalah satu sifat yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala juga memuji orang-orang yang memiliki sifat jujur. Allah berfirman,
ﭽ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭼ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)
Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang yang memiliki sifat jujur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintah umat beliau agar berhias dengan kejujuran karena kejujuran menjadi pembuka dan sarana menuju seluruh akhlak mulia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Sungguh, kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan, dan sungguh, kebaikan itu akan membimbing ke surga.”
Kejujuran adalah tanda keislaman, timbangan keimanan, pokok agama, dan tanda kesempurnaan seseorang yang memiliki sifat tersebut. Dengan kejujuran, seorang hamba memiliki kedudukan yang tinggi, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Dengan kejujuran pula, dia akan mencapai kedudukan orang-orang yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang para pelaku kebaikan dan memuji mereka atas kebaikan amalan mereka, yaitu amalan iman, Islam, sedekah, dan kesabaran, dengan menyebut mereka sebagai golongan orang yang jujur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﭼ
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang jujur (keimanannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)
Dengan kejujuran pula, seorang hamba akan selamat dari berbagai kejelekan. Keberuntungan yang besar didapatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat jujur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ﭽ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒﰓ ﰔ ﰕ ﰖ ﰗ ﭼ
Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kejujuran mereka.” Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar. (al-Maidah: 119)
Kejujuran adalah Ketenangan, Kedustaan adalah Kebimbangan
Orang yang jujur adalah orang yang tepercaya dalam mengemban setiap amanah, baik yang berkaitan dengan harta benda, hak-hak, maupun rahasia-rahasia. Orang yang jujur akan mendapatkan ketenteraman hati.
Barang siapa senantiasa menjaga kejujuran ucapannya, baik ketika memerintah dan melarang, ketika membaca al-Qur’an dan berzikir, maupun ketika memberi dan menerima, ia akan tercatat di sisi Allah dan di sisi manusia sebagai orang yang jujur, dicintai, dimuliakan, dan tepercaya. Persaksiannya adalah kebaikan, hukumnya penuh keadilan, berbagai muamalahnya dipenuhi kemanfaatan, dan majelisnya dipenuhi keberkahan.
Orang yang jujur pada setiap amalannya ialah yang terjauhkan dari riya’ dan sum’ah (mencari popularitas). Yang dia inginkan dari amalannya hanyalah wajah Allah subhanahu wa ta’ala semata. Demikian pula seluruh aktivitasnya, ia tidak menginginkan darinya berbagai bentuk makar dan tipu daya.
Dengan kejujuran, seseorang tidak akan mengharapkan balasan selain dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia akan tegas menyuarakan kebenaran sekalipun pahit dirasakan. Orang yang berlaku jujur tidak akan terpengaruh oleh celaan orang-orang.
Seorang mukmin yang terhiasi akhlak kejujuran tidak akan berdusta. Tidaklah ia berkata selain kebaikan. Ketenteraman hati dan ketenangan sikap terpancar dari hamba yang senantiasa berlaku jujur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، وَالصِّدْقُ طُمَأْنِينَةٌ وَالْكَذِبُ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Kejujuran adalah ketenangan, sedangkan kedustaan adalah kebimbangan.” (HR. at-Tirmidzi, beliau mengatakan, “Hadits shahih”; dari al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma)
Pengaruh Kejujuran & Pengaruh Kedustaan
Kejujuran dalam bertutur kata dan berbuat menyebabkan diterimanya sebuah perkataan. Disebutkan dalam hadits riwayat al-Bukhari rahimahullah , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum musyrikin, “Bagaimana pendapat kalian kalau aku kabarkan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerbu, apakah kalian membenarkan perkataanku?” Mereka menjawab, “Ya, kami belum pernah mendengarmu berdusta.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya “Kitab at-Tafsir”, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)
Kaisar Heraklius bertanya kepada kaum musyrikin Makkah—di antaranya Abu Sufyan yang ketika itu belum masuk Islam—tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dahulu kalian menuduhnya berdusta sebelum ia (Muhammad `) menyampaikan apa yang ia sampaikan?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak.”
Kaisar Heraklius mengatakan, “Sungguh, aku mengetahui, tidak mungkin ia meninggalkan perkataan dusta terhadap manusia lantas berani berdusta terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. al-Bukhari, “Kitab at-Tafsir”, “Bab surat Ali ‘Imran: 64”)
Sebaliknya, kedustaan menyebabkan ditolaknya sebuah perkataan, sekalipun benar. Minimalnya, perkataan tersebut akan diragukan. Karena pengaruh kedustaan, seseorang digolongkan sebagai orang fasik, sebagaimana halnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ﭽ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭼ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (al-Hujurat: 6)
Pengaruh kedustaan tampak pada wajah-wajah pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭼ
“Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka. Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Muhammad: 30)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan ayat ini, “Maksudnya, dengan tanda-tanda yang ada pada wajah mereka. Adalah kelaziman apabila isi hati mereka diungkapkan oleh lisan mereka. Lisan adalah gayungnya hati. Pada lisan tersebut akan tampak isi hati, baik kebaikan maupun kejelekan.” (Taisirul Karimir Rahman, asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah )
Kedustaan termasuk sifat-sifat kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Selain itu, kedustaan akan menghilangkan keberkahan, sedangkan kejujuran akan membuahkan keberkahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli memiliki hak untuk menentukan pilihan selama keduanya belum berpisah dari tempat transaksi. Jika keduanya berlaku jujur (pada sifat barang) dan menjelaskan (seandainya ada cacat pada barang), niscaya transaksi jual beli tersebut diberkahi. Akan tetapi, kalau keduanya berdusta dan menyembunyikan cacat (barang dagangan), akan dihilangkan keberkahan transaksi jual beli tersebut.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Demikian beberapa pengaruh kejujuran dan kedustaan, dan masih banyak pengaruh lainnya. Kesimpulannya, akhlak kejujuran adalah pembuka dan sarana menuju seluruh akhlak kebaikan, sedangkan kedustaan adalah sarana menuju berbagai bentuk kerusakan akhlak.
Wallahu a’lam.