Diriwayatkan dari Laits, dari Mujahid,
أَنَّ اللهَ يَحْتَجُّ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ بِسُلَيمَانَ، وَعَلَى الْأَرِقَّاءِ بِيُوسُفَ، وَعَلَى أَهْلِ الْبَلَاءِ بِأَيُّوبَ
“Allah menegakkan hujah di hadapan orang-orang kaya dengan keberadaan Nabi Sulaiman, di hadapan orang-orang yang diperbudak dengan keberadaan Nabi Yusuf, dan di hadapan orang-orang yang mendapatkan ujian dengan keberadaan Nabi Ayyub.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir, dinukil dari Tuhfatun Nubala’ min Qashash al-Anbiya’ hlm. 284 [pdf])
Dengan demikian, tidak ada lagi bagi kita alasan untuk tidak menaati Allah. Penderitaan dan sakit apa pun tidak akan bisa menyamai penderitaan yang dirasakan oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam. Pantaskah kita beralasan dengan penderitaan yang kita rasakan, lantas kewajiban dari Allah kita tinggalkan begitu saja?
Kekayaan atau kekuasaan mana pun tidak akan bisa menandingi kekuasaan dan kekayaan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Pantaskah kekuasaan dan kekayaan yang hanya bersifat sementara ini membuat kita lalai dari kewajiban yang dibebankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada kita?
Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةٗ لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا ٧
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (al-Kahfi: 7)
كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ١٨٥
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali ‘Imran: 185)