KEAGUNGAN SURAT AL-FALAQ DAN AN-NAS (AL-MU’AWWIDZATAIN)
(Bagian ke-2)
Surat an-Nas termasuk surat pendek, terdiri atas enam ayat yang seyogianya dihafal oleh setiap muslim. Surat ini adalah salah satu al-Mu’awwidzatain. Surat pertama adalah al-Falaq yang telah kita bahas pada edisi sebelumnya.
Surat al-Falaq mengandung isti’adzah (permintaan perlindungan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari empat kejelekan, yaitu:
Hal ini menunjukkan bahwa surat al-Falaq mengandung isti’adzah dari kejelekan atau kezaliman yang berasal dari luar diri hamba, bukan karena usahanya, dan menjadi musibah baginya.
Adapun surat an-Nas mengandung istia’adzah dari kejelekan yang disebabkan oleh kezaliman hamba itu sendiri, sebagai akibat maksiat yang disebabkan oleh waswas. Surat ini hanya menyebutkan isti’adzah dari satu kejelekan yang lebih berbahaya daripada empat kejelekan yang disebutkan dalam surat al-Falaq.
Mengapa demikian? Karena satu kejelekan tersebut berkaitan dengan kalbu; jika kalbu mengalami kerusakan, rusaklah semua organ lainnya; jika kalbu tersebut baik, baiklah semuanya[1].
Oleh karena itu, surat an-Nas mengkhususkan isti’adzah dari kejelekan al-waswas al-khannas yang mendatangkan waswas dalam dada, baik dari bangsa jin maupun manusia.
Jenis dan Sebab Turunnya
Surat an-Nas diturunkan setelah surat al-Falaq. Ulama ahli tafsir juga berbeda pendapat tentang jenisnya, apakah makkiyyah atau madaniyyah. Akan tetapi, telah cukup pembahasannya dalam tafsir surat al-Falaq yang telah lalu. Al-Imam Abul Fadhl Mahmud al-Alusi, dalam kitab beliau, Ruhul Ma’ani (15/278), menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa al-Mu’awwidzatain adalah madaniyyah.
Tafsir dan Faedah Ayat
قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ١ مَلِكِ ٱلنَّاسِ ٢ إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ ٣ مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ ٤ ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ ٥ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ ٦
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia, Sembahan manusia; dari kejahatan waswas (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia’.”
قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ مَلِكِ ٱلنَّاسِ إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ
Disebutkan tiga penyandaran; Rabbinnas, Malikinnas, dan Ilahinnas. Apa kaitannya dengan isti’adzah?
Tatkala manusia bisa membuat, memelihara, dan memperbaiki sesuatu, Allah subhanahu wa ta’ala Mahamampu daripada makhluk-Nya. Ini termasuk makna rububiyyah. Allah berfirman, رَبِّ النَّاسِ.
Tatkala manusia memiliki kerajaan dan kekuasaan, Allah subhanahu wa ta’ala adalah Raja (Penguasa) mereka. Allah berfirman, مَلِكِ النَّاسِ.
Tatkala manusia menyembah sembahan selain-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satu-Nya sembahan yang berhak disembah. Allah berfirman, إِلَهِ النَّاسِ. (Lihat Zadul Masir 8/347)
Jadi, ayat-ayat tersebut terkait dengan isti’adzah dengan asmaul husna Allah subhanahu wa ta’ala .
Dari ayat ini saja bisa diambil banyak faedah, di antaranya:
Makna tauhid ar-rububiyyah adalah meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini. Tauhid al-uluhiyyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat). Adapun tauhid al-asma’ wash sifat pengertiannya adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya baik dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tanpa mengubah, meniadakan, menyerupakan, dan mengilustrasikan keadaannya.
Tauhid ar-rububiyyah berkonsekuensi tauhid al-uluhiyyah, dan tauhid al-uluhiyyah mengandung tauhid ar-rububiyyah dan al-asma’ wash shifat.
Perlu menjadi peringatan bagi umat, Rasulullah memerangi kaum kafir musyrik bukan karena tauhid ar-rububiyyah, melainkan karena tauhid al-uluhiyyah.
Kesyirikan tidak hanya tergambar pada perbuatan mereka yang menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala , seperti berhala, pepohonan, dan semisalnya. Akan tetapi, kesyirikan tidak boleh dilakukan dalam segala bentuk ibadah (karena ibadah adalah kekhususan-Nya), seperti doa, isti’adzah, istighatsah, dst.
Perbuatan syirik yang paling marak pada zaman kita adalah syirik al-wasa’ith, yaitu seseorang menjadikan wali—baik yang masih hidup maupun yang sudah dikubur—sebagai perantara antara dia dan Allah subhanahu wa ta’ala . Misalnya, dia beristighatsah dengan kuburan wali fulan, dsb. Syirik al-wasa’ith ini adalah salah satu pembatal keislaman.
Mereka menjadikan seseorang sebagai perantara atau wali dengan harapan doa mereka dikabulkan. Sungguh, dugaan mereka ini salah. Perbuatan tersebut justru berkonsekuensi bahwa mereka:
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ
“Ketahuilah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Orang-orang yang mengambil wali-wali selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (az-Zumar: 3)
قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ١ مَلِكِ ٱلنَّاسِ ٢ إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ ٣
Tujuannya, menekankan dan menguatkan makna yang dimaksudkan. Nama-nama tersebut juga tidak di’athafkan (disambungkan) dengan huruf wawu yang memungkinkan perubahan makna.
مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ
Al–waswas adalah munculnya sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa, baik berupa bisikan yang hanya terdengar oleh yang membisikkannya, maupun bisikan tanpa suara, yaitu waswas dari setan. (Bada’i at-Tafsir 5/443)
Al–waswas adalah bentuk masdar yang bermakna isim fa’il (pelaku), sehingga artinya adalah al–muwaswis (pemberi waswas), yaitu setan. Waswas terdapat dalam kalbu dan bisa berupa pikiran, waham, atau khayalan yang tidak ada hakikatnya.[2]
Waswas yang paling berbahaya adalah yang muncul pada permulaan iradah (kehendak) sehingga mengubahnya menjadi iradah ‘azimah jazimah (keinginan kuat dan pasti) untuk melakukan perbuatan jelek.
Waswas (bisikan setan) muncul ketika seorang hamba lalai dari mengingat Rabbnya dan ketika kalbu berlumur kejelekan dan maksiat. Setan mengalir dalam pembuluh darah dan memberi waswas kepada hamba kapan pun dan di mana pun tatkala si hamba lalai dari dzikrullah.
Khannas diambil dari dua makna: bersembunyi setelah menampakkan diri, dan kembali ke belakang. Khannas dengan wazan فَعَّالٌ menunjukkan bentuk mubalaghah (sangat) sehingga memberikan makna sangat cepatnya atau seringnya berlari dan kembali. (Bada’i at-Tafsir 5/449)
Setan bersembunyi, lari, dan kembali ke belakang ketika seorang hamba kembali mengingat Rabbnya.
Kata orang Arab tentang setan,
الشَّيْطَانُ كَالذُّبَابِ، إِذَا ذُبَّ فَآبَ
“Setan itu seperti lalat: jika diusir, kembali lagi.”
Berikut ini beberapa tingkah laku setan—berkaitan dengan waswas dan khannasnya—yang disebutkan secara pasti dari Nabi .
Nabi n bersabda, “Barang siapa mendapati seperti ini, hendaknya dia beristi’adzah kepada Allah dan menghilangkan (pikiran tersebut).”[3]
Demikian bersemangatnya setan dan begitu besarnya makarnya untuk melakukan kejelekan dan memengaruhi manusia, sehingga manusia tidak akan selamat dari gangguannya kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala . Jadi, penyebab semua kejelekan di alam semesta ini adalah setan. Berikut ini enam tingkatan kejelekan yang diinginkan oleh setan dari manusia.
Kebid’ahan lebih disukai setan daripada perbuatan maksiat. Sebab, kebid’ahan membahayakan agama, tetapi manusia tidak merasa bersalah ataupun bertobat dari perbuatan bid’ah. Sebaliknya, ia merasa di atas kebenaran. Ahli bid’ah lebih berbahaya daripada pelaku kemaksiatan, karena ahli bid’ah mempunyai pengikut dari kaum muslimin sehingga mereka ikut terjerumus dalam kebid’ahannya.
ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ (dalam dada manusia), dan tidak berfirman, “Fi qulubihim” (dalam hati mereka). Mengapa demikian? Karena dada adalah lapangan dan rumah bagi hati. Setan masuk ke dada dan berkumpul, kemudian membisikkan apa yang diinginkannya ke hati manusia yang ada di dalam dada.
مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ
Jin memberikan waswas (bisikan) ke dalam dada manusia, dan manusia pun bisa memberikan waswas ke dada manusia lainnya. Apa perbedaannya? Perbedaannya adalah media penyampaian waswas tersebut. Manusia memberikan waswas dengan perantara telinga, sedangkan jin tidak memerlukan perantara seperti ini. Jin masuk ke tubuh anak Adam dan mengalir dalam pembuluh darahnya.
Kaidah Menjaga Diri dari Setan
Menjaga diri dari setan dapat ditempuh dengan sepuluh sebab:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sebanyak seratus kali.[14]
[1] Dalam hadits an-Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim, Rasulullah n bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging; jika dia (segumpal daging itu) baik, baiklah semua jasadnya, dan jika dia rusak, rusaklah semua jasadnya. Ketahuilah, dia adalah kalbu.”
[2] Akan tetapi, waswas yang berupa haditsun nafs (pikiran dalam hati) yang belum diucapkan atau belum dilakukan adalah hal yang dimaafkan. Rasulullah n bersabda,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ بِهِ أَوْ تَعْمَلْ
“Sesungguhnya Allah mengampuni umatku dari apa yang dia ucapkan dalam hatinya selama dia tidak berbicara dan tidak melakukannya.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ 7/139)
[3] Hadits Abu Hurairah , diriwayatkan oleh al-Bukhari (6/387) dalam Bab Sifat Iblis dan Pasukannya, dan oleh Muslim (1/339) dalam Bab Ampunan Allah dari Pikiran dalam Hati.
[4] Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala ,
فَإِنِّي نَسِيتُ ٱلۡحُوتَ وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيۡطَٰنُ
“Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu, dan tidaklah ada yang melupakanku untuk menceritakannya kecuali setan.” (al-Kahfi: 63)
[5] HR. al-Bukhari (11/113 no. 6314) dan Muslim (4/2083 no. 2711). Doa tersebut adalah:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami dikembalikan.”
[6] HR. al-Bukhari (6/386) dan Muslim (2/434) dari Abu Hurairah z.
[7] HR. al-Bukhari (3/34) dan Muslim (2/432).
[8] Bid’ah adalah perkara baru yang dibuat-buat, yang tidak dicontohkan oleh Nabi n.
[9] Nabi n bersabda, “Hati-hatilah kalian dari menganggap remeh dosa-dosa kecil.” (HR. Ahmad [5/231] dan ath-Thabarani dalam al-Kabir [5/165—166], dari Sahl bin Sa’d z)
[10] Dalam atsar yang shahih dari Ibnu Mas’ud , beliau berkata, “Adalah kami (para sahabat) melihat dosa kecil seolah-olah gunung yang akan menimpa kami. Adapun pelaku kemaksiatan melihatnya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya.”
[11] Sebagaimana ucapan ulama, “Kemaksiatan adalah pengantar menuju kekufuran.”
[12] Ada kaidah ahli ushul, “Sesuatu (yang mubah) jika melewati batas, akan berubah hukumnya menjadi sebaliknya”, yaitu menjadi makruh atau haram. Misalnya; bergurau sampai melewati batas yang diperbolehkan oleh syariat, seperti memperolok-olok ayat dan hadits, bergurau dengan unsur kebohongan, menjelek-jelekkan atau memaki saudara, bergurau dengan menggunjing saudaranya, dst.
[13] Hadits lemah, diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi (5/145).
[14] HR. al-Bukhari (11/204) dan Muslim (5/546). Zikir ini bisa dibaca seratus kali sehari dan hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh menit.
[15] Lebih-lebih ketika seseorang sedang dikuasai amarah atau syahwat yang kuat, ibarat api yang mendidih dalam hati anak Adam, sedangkan pembuluh darah manusia melebar sehingga setan menguasainya.
[16] Kebanyakan maksiat diakibatkan oleh pandangan mata dan ucapan yang sia-sia. Kedua hal ini adalah pintu lebar masuknya setan.
[17] Makanan menyebabkan penyakit, baik penyakit badan maupun penyakit hati. Sekitar 80% penyakit badan disebabkan oleh makanan. Makan banyak yang sia-sia bisa menggerakkan badan untuk berbuat maksiat dan merasa berat berbuat ketaatan. Manusia lebih mudah dikendalikan oleh setan ketika perutnya penuh makanan. Puasa menjadi benteng untuk membendung syahwat dan mempersempit pembuluh darah sehingga memperkecil ruang gerak setan.
[18] Tentu yang dimaksud adalah bergaul dengan manusia yang tidak memberikan faedah baginya dan justru mencelakakan dirinya. Misalnya, duduk bersama pelaku kemaksiatan, ahli bid’ah, dan semisalnya.