Ramadhan, bulan yang mulia, sudah di ambang pintu. Tentu kaum muslimin akan bertabur kegembiraan menyambut kedatangannya. Beragam acara mereka adakan untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini. Namun, sayang, acara-acara yang mereka adakan itu sebenarnya tidak diperintahkan oleh syariat ini. Mandi keramas di sungai tertentu, berpawai berkeliling kota, saling mengantar makanan dengan tetangga (angkat-angkatan, Jawa), bermaaf-maafan dengan handai tolan—semua ini ritual baru dalam agama yang mulia ini.
Apa yang semestinya dilakukan dalam menyambut Ramadhan? Sungguh merugi jikalau kita bersusah payah melakukan suatu amalan, apalagi tidak sedikit harta yang kita korbankan, tetapi akhirnya, amalan kita bak debu yang beterbangan, ditolak oleh Allah subhanahu wa ta’ala .
Pembaca muslimah, mari kita bekali diri kita dengan ilmu untuk menyambut bulan Ramadhan yang dinanti. Ibadah yang dilandasi ilmu menjadikan pahala yang kita tuai kian melimpah.
Ramadhan, Nikmat yang Wajib Disyukuri
Bulan Ramadhan termasuk nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Pada bulan mulia ini rahmat Allah turun, dosa-dosa dan kesalahan diampuni, pahala dan derajat dilipat gandakan, dan hamba Allah dibebaskan-Nya dari api neraka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Apabila bulan Ramadhan datang, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah setan-setan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, “Barang siapa berpuasa Ramadhan karena beriman dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Barang siapa mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena beriman dan mengharap ridha Allah, akan diampuni pula dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits qudsi, “Seluruh amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalas orang yang menjalankannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, “Sesungguhnya, pada setiap hari dan malam pada bulan Ramadhan, Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari api neraka, dan setiap muslim memiliki doa yang apabila dia berdoa dengannya, akan dikabulkan.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)
Pada bulan ini terdapat Lailatul Qadar.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ ٣
“Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (al-Qadr: 3)
Itulah sebagian keutamaan bulan Ramadhan yang memperlihatkan kebesaran nikmat Allahl kepada hamba-Nya sehingga wajib disyukuri.
Bagaimana Menyambut Bulan Ramadhan?
Hendaknya setiap muslim menyambut datangnya bulan yang mulia ini dengan melakukan hal-hal berikut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (an-Nur: 31)
Hukum-Hukum Puasa
Setiap muslimah wajib mempelajari hukum-hukum puasa—kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, dan adab-adabnya—agar puasa yang dilakukannya benar dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala .
Berikut hukum ringkas puasa Ramadhan bagi wanita.
Berniat puasa sebelum fajar ini merupakan syarat yang dikhususkan pada puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha (mengganti puasa Ramadhan), puasa kaffarah, dan puasa nadzar. Hal ini berdasarkan hadits,
لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ
“Tidak ada (tidak sah) puasa bagi orang yang tidak berniat puasa pada malam hari.” (HR. Abu Dawud)
Pembatal puasa ada lima:
Apabila wanita yang haid atau nifas telah suci pada malam hari, dia berniat puasa dan boleh mandi haid/nifas setelah fajar. Puasanya pun tetap sah.
Apabila wanita yang nifas suci sebelum hari keempat puluh, dia berpuasa dan mandi untuk shalat (al-Mughni dengan asy-Syarhu al-Kabir 1/360). Apabila darah keluar lagi sebelum hari keempat puluh, dia tidak berpuasa karena masih teranggap sebagai wanita nifas. Apabila darah terus keluar setelah hari keempat puluh, pada hari yang ke-41 dia berniat puasa dan mandi (menurut pendapat mayoritas ulama), dan darah yang keluar dianggap sebagai darah istihadhah. Akan tetapi, jika darah tersebut keluar bertepatan dengan kebiasaan waktu haidnya, dianggap sebagai darah haid.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dari Anas bin Malik al-Ka’bi a,
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ شَطْرَ الصَّوْمِ
“Sesungguhnya Allah meletakkan setengah shalat dari musafir dan meletakkan setengah puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. Abu Dawud no. 2408, dinyatakan hasan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani; diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 715, an-Nasa’i no. 2273, dan Ibnu Majah no. 1667)
Ukuran fidyah adalah:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ، إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى
“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah ta’ala.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani t )
Hukum dan Adab Seputar Id
(Hari Raya)
Makna Id (Hari Raya)
Id (اَلْعِيْدُ) adalah nama atau sebutan untuk segala sesuatu yang kembali atau berulang; diambil dari kata يَعُودُ – عَادَyang artinya “kembali”. Ibnul A’rabi mengatakan, “Id dinamakan demikian karena terulang setiap tahun dengan kebahagiaan yang baru.” (al–Lisan hlm. 5)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam datang ke Madinah dalam keadaan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya, ‘Apa (yang kalian lakukan) pada dua hari itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami bermain-main padanya ketika kami masih jahiliah.’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dengan yang lebih baik daripada kedua hari itu, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri’.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani t)
Hukum-hukum Id
Diharamkan berpuasa pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, berdasarkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari Idul Fitri dan hari an-Nahr (Idul Adha). (HR Muslim no. 827)
Menurut pendapat yang terkuat, shalat id hukumnya wajib bagi setiap individu (fardhu ‘ain). Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad t. Pendapat ini dipilih dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah . Argumen mereka adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam terus-menerus mengerjakan shalat id dan tidak pernah meninggalkannya, berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢
“Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Maksudnya, shalat id dan menyembelih hewan kurban setelahnya. Ayat ini mengandung perintah (sedangkan perintah hukumnya wajib, -pen.).
Argumen lainnya adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintah para wanita keluar dari rumah mereka untuk menghadiri shalat Id. Wanita yang tidak memiliki jilbab hendaknya dipinjami oleh saudarinya, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Athiyyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Lihat perinciannya dalam Majmu’ al-Fatawa 24/179—186, as-Sailul Jarrar 1/315, dan Tamamul Minnah hlm. 344)
Waktu Pelaksanaan Shalat Id
Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha dimulai dari naiknya matahari setinggi tombak, sedangkan akhir waktunya adalah saat tergelincirnya matahari. (Lihat Fathul Bari 2/457, al–Mau’izhah al–Hasanah hlm. 43—44, dan Minhajul Muslim hlm. 278)
Adab-Adab Keluar untuk Shalat Id
Berikut adab-adab yang dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ketika keluar menuju shalat Id.
(Lihat asy–Syarhul Mumti’ karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 5/221)
Hukum Shalat Id bagi Wanita
Pada asalnya, wanita adalah saudara kandung pria dalam hal hukum. Apa yang diwajibkan bagi pria, diwajibkan pula bagi wanita, kecuali apabila dikhususkan oleh dalil. Tentang shalat id bagi wanita, ada dalil yang menguatkan bahwa hukumnya wajib ‘ain sebagaimana halnya pria. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintah para wanita untuk keluar melaksanakan shalat id, termasuk para gadis, wanita yang dipingit, dan wanita yang sedang haid. Hanya saja, wanita yang sedang haid menjauhi tempat shalat. Bahkan, wanita yang tidak memiliki jilbab tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain. Hal ini disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memerintah kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu gadis-gadis, wanita haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang sedang haid, dia menjauhi tempat shalat dan tetap ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, ‘Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya’.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ada pula hadits dari Ibnu ‘Abbas xyang mengatakan, “Saya keluar bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pada hari Idul Fitri atau Idul Adha. Beliau shalat, berkhutbah, lalu mendatangi para wanita. Beliau menasihati, mengingatkan, dan memerintah mereka untuk bersedekah.” (HR. al-Bukhari no. 932, an-Nasa’i no. 1586, Ibnu Hibban no. 2823, dan Ahmad no. 3348)
Shalat id mengugurkan kewajiban shalat Jumat apabila keduanya bertepatan dalam satu hari. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.
Di antara dalil yang menguatkan wajibnya wanita keluar ke tempat shalat id adalah hadits dari saudari ‘Abdullah bin Rawahah al-Anshari dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,, beliau bersabda, “Wajib keluar atas setiap yang memiliki pakaian, yaitu pada dua hari raya.” (HR. Ahmad no. 26609, al-Baihaqi no. 6271, dinyatakan shahih oleh asy- Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7105)
Ini adalah pendapat Abu Bakr, ‘Ali, dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum sebagaimana diceritakan oleh al-Qadhi ‘Iyadh dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/87.
Selain itu, hadits-hadits yang memerintah/mewajibkan wanita keluar pada dua hari raya adalah mutlak, tidak membedakan antara gadis dan janda, tua dan muda, yang haid, dan yang lainnya, selama tidak memiliki uzur.
Wanita yang keluar pada hari raya harus memerhatikan adab-adab keluar dari rumah, seperti tidak memakai wewangian, tidak berhias, dan menutup aurat/berhijab. Ini adalah fatwa asy-Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad ‘Ali dalam www.ferkous.com.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Tandanya adalah keluarnya al-qashshatul baidha’ (cairan lendir putih) atau kekeringan yang sempurna, yaitu darah tidak keluar lagi; apabila kapas dimasukkan ke farj lalu dikeluarkan, bersih dan tidak ada noda darah, cairan kuning, ataupun cairan keruh.
[2] Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang cukup kuat di kalangan para ulama.