Hajar telah resmi menjadi istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Hajar tetap hormat kepada Sarah meskipun statusnya sekarang bukan lagi pelayan. Sarah yang sejak semula melihat keelokan pribadi Hajar, lebih-lebih setelah Hajar beriman kepada Ibrahim, semakin dekat dan menyayangi Hajar.
Beberapa bulan kemudian, Hajar melahirkan anak dan diberi nama Ismail. Semakin lengkaplah kebahagiaan di rumah itu. Dengan lahirnya Ismail, mulailah terasa manis kehidupan rumah tangga Ibrahim al-Khalil. Setiap ada kesempatan, Nabi Ibrahim bermain-main mesra dengan Ismail.
Bagaimanapun juga, keadaan tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman di hati Sarah.
Di atas sana, terpisah dari makhluk-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan keputusan yang tidak terelakkan. Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui bahwa Ismail akan melahirkan bangsa mulia di antara hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’alaainnya. Ismail tidak ditakdirkan untuk hidup di Palestina bersama ayahandanya, al-Khalil.
Ada urusan besar yang akan ditorehkan dalam sejarah peradaban manusia oleh Ismail bersama sang ayah.
Oleh sebab itu, Allah subhanahu wa ta’ala membimbing Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk membawa Hajar meninggalkan bumi Palestina menuju ke pedalaman Jazirah Arab.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah rasa cemburu atau yang lainnya yang mendorong Ibrahim membawa Hajar dan Ismail ke lembah yang tidak berpenghuni, di Mekah. Yang jelas, semua adalah ketetapan Allah, Dia Maha melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya, tanpa ada yang dapat menghalangi ataupun menolak.
Allah subhanahu wa ta’ala juga Mahatahu.
Setelah jelas mendapat perintah untuk membawa Hajar dan putranya, Nabi Ibrahim pun berangkat melintasi sahara yang panas dan sunyi. Dari Palestina ke Mekah, beliau menembus padang pasir dan kerikil yang membara, lalu kembali ke Palestina. Pada zaman itu, jarak antara kedua wilayah ini ditempuh selama satu bulan perjalanan. Namun, ada yang menukil bahwa beliau mengendarai buraq.
Berbekal tekad melaksanakan perintah Allah yang pasti mengandung kebaikan, Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar dan putranya yang sedang disusuinya sampai di dekat Baitullah. Beliau q meninggalkan mereka di dekat sebatang pohon besar, di atas tempat yang kelak menjadi sumur Zamzam di bagian Masjid yang tertinggi. Pada saat itu, tidak ada seorang manusia pun berada di Mekah selain mereka. Air juga tidak ada di sana.
Begitu tiba di lokasi yang kemudian dibangun di atasnya Baitullah (Ka’bah), Ibrahim segera meninggalkan Hajar dan putranya sambil meletakkan sebuah kantung berisi kurma dan tempat minum. Setelah itu, Nabi Ibrahim berbalik meninggalkan mereka berdua.
Hajar heran melihat Ibrahim pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Dengan cepat dia mengejar Ibrahim sambil bertanya, “Hai Ibrahim, hendak ke mana Anda? Apakah Anda hendak meninggalkan kami di lembah yang tidak berpenghuni dan tidak ada apa-apanya ini?”
Ibrahim tidak menoleh sedikit pun. Hajar semakin heran, tetapi tetap mengikuti langkah Ibrahim dan bertanya. Ibrahim masih diam.
Akhirnya, Hajar berkata, “Apakah Allah Yang menyuruh Anda?”
“Ya,” jawab Ibrahim tegas.
Mendengar jawaban tersebut, Hajar berkata, “Kalau begitu, Dia pasti tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Dengan tenang, Hajar kembali ke tempat semula, sedangkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terus berjalan. Ketika tiba di dekat sebuah tikungan dan tidak terlihat lagi oleh Hajar, Ibrahim berhenti dan memutar tubuhnya menghadap ke arah Baitullah, lalu berdoa sambil mengangkat kedua tangannya, seperti diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفِۡٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ ٣٧
“Wahai Rabb Kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb Kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37)
Setelah itu, Ibrahim ‘alaihissalam kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Palestina.
Hajar yang ditinggalkan di tempat sunyi itu mulai menyusui Ismail dan meminum air yang ada dalam perbekalan mereka. Tidak lama kemudian, air itu pun habis. Hajar mulai kehausan. Bayi mungil itu juga mulai kehausan.
Di lembah yang tandus dan sunyi itu, seorang wanita muda bersama bayinya menghadapi kesulitan. Kalau bukan karena keyakinannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mungkin Hajar rela ditinggal begitu saja bersama putranya yang masih membutuhkan perawatan dan kasih sayang.
Tidak tahan merasakan panas di lembah tandus itu, Ismail yang masih bayi itu pun menangis. Semakin pilu hati Hajar melihat keadaan putranya, sementara dia tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan kepadanya. Air susunya sudah kering, bekal yang ditinggalkan Ibrahim ‘alaihissalam pun sudah habis.
Hajar menoleh ke sana kemari, mencari-cari sesuatu yang mungkin dapat menghentikan tangis anaknya. Akhirnya, karena tidak tahan melihat keadaan putranya, dia pun beranjak dari situ.
Dia memandang ke depan. Dia melihat Bukit Shafa di hadapannya sebagai bukit yang terdekat dengannya. Hajar pun melangkah mendaki bukit itu. Setelah berada di atas, dia memandang ke arah lembah apakah ada orang di sekitar situ. Akan tetapi, dia tidak melihat siapa-siapa. Akhirnya, Hajar turun dari Shafa. Ketika tiba di perut lembah, dia mengangkat ujung kainnya dan berjalan secepat-cepatnya sampai melewati lembah. Ditujunya Bukit Marwah yang berhadapan dengannya, lalu didakinya.
Setelah tiba di atas, dia kembali melihat-lihat apakah ada orang di sekitar situ. Tujuh kali Hajar turun naik antara Shafa dan Marwah.
Perbuatan Hajar ini diabadikan dalam syariat Islam sebagai salah satu amalan haji dan umrah yang sangat penting, yaitu sa’i.
Setelah berada di puncak Marwah, Hajar mendengar suara yang samar, tetapi dia membantah, “Diamlah!” Ucapan itu ditujukannya kepada dirinya sendiri (khawatir halusinasi). Kembali dia mengamati keadaan di sekelilingnya, dan kembali pula dia mendengar suara.
Akhirnya, Hajar berkata, “Anda sudah memperdengarkannya. Kalau memang memiliki air….”
Ketika melihat ke arah putranya, ternyata dia melihat malaikat di dekat lokasi Zamzam. Malaikat itu sedang mengorek sesuatu dengan sayapnya hingga air memancar. Hajar pun mendekat dan segera membendung air itu dengan tangannya. Mulailah dia menuangkan air itu ke dalam tempat minumnya, sedangkan air Zamzam itu terus memancar sesudah diciduk.
Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Semoga Allah merahmati Ummu Ismail. Seandainya dia membiarkan Zamzam’—atau kata beliau, ‘Seandainya Hajar tidak menciduknya’—pastilah Zamzam menjadi mata air yang terus mengalir’.”
Hajar minum sepuasnya kemudian menyusui putranya. Malaikat itu berkata kepadanya, “Jangan takut tersia-sia. Di sini akan dibangun Baitullah oleh anak ini dan bapaknya. Sesungguhnya, Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarga-Nya.”
Rumah itu di tempat tinggi seperti bukit yang dilewati aliran air di kiri kanannya.
Setelah Ismail bertambah dewasa, serombongan bangsa Jurhum datang dari arah Kida` dan singgah di bagian bawah Mekah. Tiba-tiba, mereka melihat burung-burung menuju ke satu arah. Salah seorang dari mereka mengatakan, “Burung-burung ini pasti menuju tempat air, padahal kita sudah sering melewati tempat ini dan tidak pernah ada air di sini.”
Karena penasaran, mereka mengutus beberapa orang untuk melihat-lihat, benarkah ada air di sana. Ternyata, mereka menemukannya. Mereka segera kembali dan menceritakan apa yang mereka lihat. Rombongan itu pun bersiap-siap untuk mendekat ke tempat sumber air itu. Pada waktu itu, Ummu Ismail sedang berada di dekat sumur Zamzam.
Melihat Hajar dan putranya, Ismail, ada di sana, rombongan itu berkata, “Apakah Anda mengizinkan kami tinggal di sini?”
Hajar, yang menyukai kebersamaan, segera saja menerima, “Ya, tetapi kalian tidak berhak terhadap air ini.”
“Baiklah,” kata mereka.
Mereka pun turun dan menetap di sana. Sesudah itu, mereka mulai mengundang keluarga mereka dan tinggal bersama di lembah itu.
Semakin lama, semakin banyaklah orang-orang Jurhum yang pindah dan bermukim di sana. Ismail pun tumbuh dan mulai belajar bahasa Arab dari mereka. Hal ini mengagumkan dan menyenangkan mereka.
Beberapa Faedah
Dari kisah-kisah tentang istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ini, kita dapat memetik banyak pelajaran yang sangat berharga, antara lain sebagai berikut.
Wallahu a’lam.