Definisi Puasa
Puasa dalam pandangan syariat ialah suatu ibadah kepada Allah dengan cara menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq[1] hingga terbenamnya matahari[2].
Yang diwajibkan berpuasa
Puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang berakal, balig, mampu berpuasa, dan bukan musafir. Bagi wanita ada tambahan syarat, yaitu tidak sedang haid atau nifas.
Yang boleh tidak berpuasa karena suatu sebab syar’i (dibenarkan oleh syariat)
Jika pada ketiga golongan orang di atas sudah hilang sebab yang membolehkan tidak berpuasa, mereka wajib mengganti puasa pada hari lain sejumlah hari yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan.
Karena ketidakmampuannya, orang ini tidak perlu mengganti puasa pada hari lain, tetapi wajib membayar fidyah sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Fidyah ini berupa makanan sekali makan, diberikan kepada seorang miskin, sebagai ganti dari tiap hari yang ditinggalkan. Makanan yang diberikan bukan sekadar makanan pokok, melainkan makanan beserta menu pelengkapnya sebagaimana yang dimakan manusia sehari-hari.[5]
Peringatan: Tidak boleh membayar fidyah mendahului hari yang belum dilewati. Sebagai contoh, pada awal Ramadhan, seseorang tidak boleh membayar fidyah untuk tiga puluh hari yang akan dia tinggalkan. Yang bisa dia lakukan, setiap melewati 1 hari dari bulan Ramadhan—misalnya—dia memberi makan seorang miskin, atau setiap melewati 7 hari dari bulan Ramadhan dia membayar fidyah dengan memberi makan 7 orang miskin. Bisa juga pada akhir Ramadhan dia membayar fidyah sekaligus atas seluruh hari yang telah dia tinggalkan.
Pembatal-pembatal Puasa
Yang Tidak Membatalkan Puasa
Termasuk golongan ini adalah orang yang melakukannya karena tidak tahu, tidak sengaja, atau dipaksa.
Beberapa Sunnah Puasa
Hal ini berdasarkan hadits,
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi, semangat untuk segera berbuka puasa jangan sampai mengakibatkan kita berbuka sebelum waktunya. Di dalam hadits disebutkan ancaman keras terhadap perbuatan ini. Orang yang berbuka sebelum waktunya akan digantung dalam keadaan terikat di bagian urat kakinya, robek kedua sisi mulutnya, dan mengalirlah darah darinya.[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan makan sahur karena berbarakah (HR. al-Bukhari dan Muslim). Di sisi lain, makan sahur merupakan pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahli kitab (HR. Muslim). Adapun anjuran mengakhirkan makan sahur, dalilnya adalah ketika seorang sahabat—yang pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam—ditanya berapa jarak antara makan sahur beliau n dan shalat, dia menjawab, “Sekitar waktu membaca lima puluh ayat” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa lamanya bacaan lima puluh ayat adalah sekitar 10—15 menit.[13]
Zakat Fitri[14]
Dinamakan zakat fitri karena penyebabnya adalah selesai atau berbukanya kaum muslimin dari puasa Ramadhan. Jadi, pada asalnya, zakat fitri wajib dikeluarkan pada malam Idul Fitri setelah berakhirnya Ramadhan. Ia tidak boleh dikeluarkan jauh-jauh hari sebelum berakhirnya Ramadhan. Akan tetapi, sebagian sahabat memberikan keringanan bagi mereka yang khawatir sibuk pada malam Id, boleh membayar zakat fitri satu atau dua hari sebelum berakhirnya Ramadhan (kepada amil, ustadz qamar).
Waktu terakhir pembayarannya adalah saat ditegakkannya shalat Id[15], berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas c, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan kepada kita zakat fitri sebagai pembersihan bagi orang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan jelek; dan sebagai makanan bagi orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum shalat Id, itu adalah zakat yang diterima. Barang siapa membayarnya setelah shalat, itu teranggap sedekah biasa seperti sedekah-sedekah lainnya.”[16]
Dari hadits ini bisa diambil faedah lain bahwa zakat fitri hanya diberikan kepada fakir miskin, tidak diberikan kepada golongan-golongan lain dari delapan golongan penerima zakat mal.
Yang wajib adalah mengeluarkan makanan pokok sebanyak 1 sha’ nabawi. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim. Ukuran 1 sha’ nabawi ini sudah tetap di kalangan ulama, tidak diukur dengan 1 sha’ dari tangan kita.[17] Terkait makanan pokok negeri kita yang berupa beras, alangkah bagusnya kalau kita bisa menimbangnya dengan sha’ nabawi. Kalaupun tidak bisa, ukuran seberat 2,5 kg yang biasa kita keluarkan semoga sudah mencukupi. Seandainya seseorang menambah lebih daripada itu—sebagai bentuk kehati-hatian, tentu yang demikian lebih utama.
Menurut pendapat yang kuat, zakat fitri tidak boleh dikeluarkan dalam bentuk uang.
Kewajiban mengeluarkan zakat fitri berlaku bagi setiap muslim, baik lelaki maupun perempuan, tua maupun muda—bahkan bayi, orang merdeka maupun budak.
Apakah zakat fitri diwajibkan atas janin yang masih dalam kandungan? Ibnul Mundzir menukil ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitri atas janin. Meskipun demikian, jika janin sudah ditiupkan ruh atasnya (sudah berusia lebih dari 120 hari), sebagian ulama berpendapat sunnah (bukan wajib) hukumnya dikeluarkan zakat atas janin ini berdasarkan perbuatan sebagian sahabat.[18]
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Yaitu fajar yang terdapat di sebelah timur, yang membentang secara mendatar/horisontal, bukan yang berbentuk vertikal.
[2] Yaitu tenggelamnya seluruh bulatan matahari di ufuk barat. Adapun sekadar munculnya mega merah di ufuk barat, ini bukan tanda berakhirnya waktu puasa.
[3] Baik musafir mutaraddid (musafir yang selama safarnya sering berpindah-pindah tempat) maupun musafir nazil (yang dalam safarnya berdiam sementara di suatu tempat).
[4] Atau berdasarkan pernyataan dokter ahli yang tepercaya bahwa puasa akan memperparah sakitnya.
[5] Lihat asy-Syarhul Mumti’.
[6] Ihtilam atau mimpi basah tidak membatalkan puasa.
[7] HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani.
[8] Walaupun haid datang lima menit sebelum matahari tenggelam—misalnya—puasanya tetap batal dan wajib diganti pada hari yang lain. Meskipun demikian, tentu Allah Yang Mahaadil tidak akan menyia-nyiakan jerih payah wanita ini.
[9] Hadits yang artinya “Barang siapa muntah tanpa sengaja, dia tidak wajib mengganti (puasa). Akan tetapi, barang siapa sengaja muntah, dia wajib mengganti (puasa),” adalah hadits yang lemah dan cacat sebagaimana ditegaskan oleh para imam, seperti al-Imam Ahmad, al-Bukhari, dan lainnya. Adapun hadits lain yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam muntah kemudian berbuka, hadits ini shahih, tetapi tidak secara jelas menunjukkan bahwa sebab berbukanya beliau adalah sekadar muntah. Bisa jadi, setelah muntah, beliau merasa perlu untuk berbuka, maka beliau pun berbuka. Artinya, mungkin saja beliau berbuka bukan karena semata-mata muntah, melainkan karena kondisi tubuh beliau. Wallahu a’lam.
[10] Asy-Syarhul Mumti’.
[11] Ibid.
[12] HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lainnya; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam berbagai kitab beliau. Lihat Shahih at-Targhib.
[13] Syarh Riyadhish Shalihin.
[14] Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengkritik istilah zakat fitrah dan menegaskan bahwa yang tepat adalah zakat fitri.
[15] Sebagian ulama membolehkan seseorang yang memiliki udzur syar’i—sehingga tidak bisa mengeluarkan zakat fitri sebelum shalat Id—untuk mengeluarkannya setelah shalat Id. Misalnya, seseorang yang terlambat menerima berita tentang Idul FItri, kemudian sampai dilaksanakannya shalat Id dia belum sempat mengeluarkannya kepada orang yang berhak menerima, dia boleh mengeluarkan zakat setelah shalat.
[16] HR. Abu Dawud dan lainnya; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib.
[17] 1 sha’ sama dengan 4 mud; 1 mud adalah seukuran kedua telapak tangan yang disatukan, tidak terlalu terbuka dan tidak terlalu tertutup. Jadi, pada asalnya, ukuran sha’ dan mud berkaitan dengan volume, bukan dengan berat. Akan tetapi, para ulama mengonversikannya ke dalam ukuran berat agar lebih memudahkan dan lebih terjaga.
[18] Namun, asy-Syaikh al-Albani menilai riwayat ini lemah, sebagaimana dalam kitab beliau, al-Irwa’. Lihat pula al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya an-Nawawi.