Qonitah
Qonitah

fatwa wanita edisi 16

10 tahun yang lalu
baca 11 menit
Fatwa Wanita Edisi 16

fatwa-wanita-16Al-Ustadz Abu Fadhl Fauzan

BERPUASA 6 HARI DI BULAN SYAWWAL DAHULU BARU MENGQADHA PUASA

Tanya:

Saya tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadhan karena mengalami nifas, dan telah suci pada hari-hari ‘Id. Saya sangat ingin berpuasa enam hari pada bulan Syawwal. Apakah boleh saya berpuasa Syawwal kemudian mengqadha puasa, atau tidak? Berikanlah fatwa kepada saya! Semoga Allah memberi Anda taufik menuju kebaikan.

Dijawab oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah :

Yang disyariatkan adalah Anda mengqadha puasa terlebih dahulu, berdasarkan sabda Nabi,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنَ شَّوَالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيْحِهِ

“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian mengiringinya dengan enam hari pada bulan Syawwal, dia seperti berpuasa sepanjang masa.” (HR. al-Imam Muslim dalam Shahihnya)

Nabi menjelaskan bahwa puasa enam hari (Syawwal) dilakukan setelah puasa Ramadhan. Maka dari itu, wajib menyegerakan qadha walaupun luput dari Anda enam hari puasa (Syawwal), berdasarkan hadits yang telah disebutkan. Alasan lainnya, perkara wajib didahulukan daripada perkara yang sunnah. Wallahu waliyyut taufiq.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 177)

 

SEORANG WANITA MAHRAM BAGI WANITA LAIN?

Tanya:

Apakah wanita bisa dianggap sebagai mahram bagi wanita ajnabiyyah ketika safar dan yang semisalnya, ataukah tidak?

Dijawab oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah :

Wanita tidak bisa menjadi mahram untuk wanita yang lain. Mahram itu hanya dari kalangan pria yang diharamkan menikahi si wanita, apakah dengan sebab nasab, seperti ayahnya atau saudaranya, atau dengan sebab yang mubah, seperti suami, ayah suami, dan putra suami, atau seperti ayah susu dan saudara-saudara susuan, dan sebagainya.

Tidak boleh seorang pria berduaan dengan seorang wanita ajnabiyyah, dan tidak boleh pula safar bersamanya. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Tidak boleh seorang wanita safar kecuali harus bersama mahramnya. (Muttafaq ‘alaihi)

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita karena setanlah yang menjadi pihak ketiga.” (HR. al-Imam Ahmad dan selainnya dari hadits ‘Umar dengan sanad yang shahih)

Wallahu waliyyut taufiq.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 187)

 

PEMBANTU WANITA (TANPA MAHRAM) SAFAR BERSAMA KELUARGA MAJIKAN

Tanya:

Kami memiliki seorang wanita pembantu di rumah. Apabila kami berkeinginan untuk haji, umrah, atau safar ke negeri lain, bolehkah kami mengajaknya dalam keadaan dia tidak memiliki mahram? Berikanlah faedah kepada kami! Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah :

Bukankah pembantu ini seorang wanita? Apa yang mengeluarkannya dari sabda Rasulullah,

لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya”?

Ya! Kalaulah dianggap pembantu tersebut tidak mungkin tetap di rumah setelah kepergian tuannya, sementara di negeri tersebut tidak ada seseorang yang bisa melindunginya, dalam keadaan seperti ini dia boleh pergi bersama mereka karena darurat.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 188)

 

SEORANG WANITA MENUNAIKAN HAJI BERSAMA SEROMBONGAN WANITA

Tanya:

Apakah boleh bagi saya mengutus pembantu wanita saya untuk menunaikan kewajiban haji bersama sekelompok wanita melalui travel tertentu yang mengurusi pemberangkatan jemaah haji?

Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah:

Tidak boleh seorang wanita safar untuk haji atau untuk selainnya, kecuali bersama mahramnya, baik dia seorang pembantu maupun bukan. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan safar sejarak perjalanan dua hari, kecuali harus bersama mahramnya.”

Sekelompok wanita tidak bisa menggantikan mahram. Begitu pula kelompok-kelompok bimbingan haji, tidak bisa menggantikan wajibnya keberadaan mahram bagi wanita di dalam safarnya. Hal tersebut tidak mengeluarkannya dari larangan yang disebutkan dalam banyak hadits.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 188)

 

WANITA BERZIARAH KUBUR, BOLEHKAH?

Tanya:

Apa hukum seorang wanita berziarah kubur?

Dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah :

Wanita adalah saudara kandung pria. Semua yang boleh bagi pria boleh pula untuk para wanita, dan semua yang disunnahkan untuk pria disunnahkan pula untuk wanita, kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil yang khusus.

Tentang masalah ziarah wanita ke kuburan, tidak didapati dalil khusus yang mengharamkannya atas wanita dengan pengharaman yang umum. Bahkan, disebutkan dalam Shahih Muslim kisah Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau meninggalkan tempat tidurnya dan pergi ke Baqi’ lalu mengucapkan salam atas para penghuni kubur. ‘Aisyah pun keluar mengikuti beliau dari belakang. Kemudian, ketika beliau kembali, ‘Aisyah pun ikut kembali. Ketika beliau berjalan cepat, ‘Aisyah pun berjalan cepat hingga mendahului sampai ke ranjangnya.

Nabi masuk dalam keadaan ‘Aisyah menarik napas panjang. Beliau bertanya, Ada apa denganmu, wahai Aisyah? Apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya berbuat zalim kepadamu? Sesungguhnya Jibril datang kepadaku beberapa saat yang lalu. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Rabbmu mengucapkan salam kepadamu dan menyuruhmu untuk mendatangi Baqi dan memintakan ampun untuk mereka’.”

Disebutkan dalam riwayat di selain ash-Shahih, ‘Aisyah berkata, “Di mana saya dan di mana Anda, wahai Rasulullah?”

Kemudian, dia berkata sebagaimana dalam ash-Shahih, “Apabila saya berziarah ke kuburan, apa yang saya ucapkan?” Beliau menjawab, Ucapkan ….”—beliau menyebutkan doa salam yang ma’ruf (sudah terkenal).

Adapun hadits لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ (Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur), hadits ini terjadi di Mekkah pada fase Mekkah. Sebab, ada hadits yang ma’ruf,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، أَلَا فَزُورُوهَا

“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. Ketahuilah, berziarahlah kalian (sekarang)!”

Tidak diragukan bahwasanya larangan tersebut tidak terjadi di Madinah, tetapi di Mekkah. Sebab, ketika itu para sahabat baru saja meninggalkan kesyirikan, sehingga tidak tergambarkan bahwa larangan ini terjadi di Madinah.

Adapun sabda beliau, أَلَا فَزُورُوهَا (Ketahuilah, berziarahlah kalian [sekarang]), mungkin hal ini terjadi di Mekkah. Akan tetapi, sama saja apakah terjadi di Mekkah atau Madinah, izin ini datang setelah larangan di Mekkah. Hal ini menghasilkan perkara yang penting apabila dinisbahkan pada hadits ‘Aisyah yang terdahulu. Ada kemungkinan hadits ‘Aisyah tersebut mansukh (hukumnya dihapus), tetapi kemungkinan ini sangat jauh.

Yang rajih (kuat) adalah bahwa dahulu, di Mekkah, beliau melarang mereka untuk berziarah kubur, kemudian di akhir fase Mekkah atau di awal fase Madinah, beliau bersabda, Ketahuilah, berziarahlah kalian sekarang.

Tidak diragukan lagi setelah prakata ini bahwa larangan ini mencakup pria dan wanita, dan izinnya pun demikian.

Apabila perkaranya seperti itu, lalu kapankah datangnya hadits “Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur”? Apabila hadits ini datang setelah izin beliau kepada para wanita, berarti naskh (penghapusan hukum) terjadi dua kali apabila dikaitkan dengan para wanita, dan kami tidak mendapati hal ini sedikit pun dari hukum-hukum yang mansukh.

Akhir kata, anggaplah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur” setelah beliau mengizinkan mereka (para wanita) dan para pria (untuk berziarah kubur). Lalu, bagaimana kedudukan hadits ‘Aisyah ketika dia meminta izin kepada Nabi dan beliau mengizinkannya? Apabila dikatakan bahwa hal itu terjadi sebelumnya—dan ini yang kuat di sisi kami, kami katakan bahwasanya larangan ini untuk wanita saja, yaitu larangan berlebih-lebihan dan sering-sering berziarah kubur. Kemudian, bagaimana bisa ziarah wanita ke kuburan itu haram, sedangkan Sayyidah ‘Aisyah masih terus berziarah kubur setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 208)

 

JENAZAH WANITA DITURUNKAN KE LIANG LAHAD OLEH LELAKI NONMAHRAM

Tanya:

Saya ini pria dengan kaki yang telah diamputasi. Saya memiliki istri yang menderita sakit, dan saya bawa dia ke salah satu rumah sakit di Mamlakah (Kerajaan Saudi Arabia). Saya selalu menemaninya hingga dia meninggal. Setelah dia meninggal, saya bawa dia ke pekuburan dengan bantuan mobil ambulans, dibantu oleh beberapa petugas rumah sakit dan saya bersama mereka. Ketika jenazah istri saya diturunkan ke kuburan, para pria ajnabi itulah yang memasukkannya ke kuburannya. Adapun saya tidak mampu dengan sebab kaki saya ini. Saya bingung tentang masalah ini. Apakah saya berdosa karenanya? Dan apakah tindakan menurunkan wanita ke kuburannya oleh pria ajnabi itu mengandung dosa? Berikanlah faedah kepada saya!

Dijawab oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah :

Tidak ada dosa dalam menurunkan jenazah wanita ke kuburannya oleh orang-orang yang bukan mahramnya. Disyaratkannya mahram itu hanya dalam masalah safar bagi wanita, bukan dalam masalah menurunkan jenazahnya ke kuburan. Wallahu waliyyut taufiq.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 212)

 

JUMLAH BATU NISAN PENANDA KUBURAN

Tanya:

Apa pendapat Anda tentang orang yang meletakkan dua batu di atas kuburan laki-laki dan satu batu di atas kuburan perempuan? Apakah pembedaan ini disyariatkan?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah :

Pembedaan ini tidak disyariatkan. Para ulama berpendapat bahwa meletakkan satu atau dua buah batu, atau satu atau dua buah bata, sebagai tanda bahwa tanah itu adalah kuburan sehingga tidak digali lagi, hal ini tidak mengapa. Adapun membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal itu tidak ada asalnya sama sekali.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 212)

 

MENGUBURKAN JENAZAH PEREMPUAN DI PEKUBURAN KAUM LELAKI

Tanya:

Ibu saya berkata bahwa dia memilki anak perempuan yang meninggal dalam keadaan beliau tidak ada di sisinya. Orang-orang menguburkan jenazahnya di pekuburan yang tidak ada kuburan perempuannya. Semua yang dikuburkan di situ laki-laki. Apakah boleh menguburkan perempuan di pekuburan lelaki atau bolehkah memindahkannya? Berilah kami faedah! Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh al-Lajnah ad-Da’imah:

Boleh menguburkan perempuan di pekuburan lelaki, demikian pula sebaliknya. Hanya saja, hendaknya dibuatkan kuburan khusus untuk setiap mayat.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 212)

 

JENAZAH PEREMPUAN DITUTUPI KAIN (ABAYA) KETIKA DITURUNKAN KE KUBURAN

Tanya:

Ketika menurunkan jenazah wanita ke liang lahadnya, sebagian orang menutupi jenazah tersebut dengan kain sehingga jenazah tidak terlihat oleh orang-orang. Apa hukum hal itu?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah :

Ini termasuk tindakan yang dilakukan dan disukai oleh para ulama. Mereka berpendapat bahwa tindakan ini lebih menutupi jenazah. Sebab, ketika jenazah diturunkan ke lahadnya tanpa penutup, terkadang tersingkap (tubuhnya). Akan tetapi, masyarakat di tempat kami, di Unaizah, meletakkan jenazah dengan kain tersebut lalu menarik kain sedikit demi sedikit. Setiap kali meletakkan sebuah bata (di Indonesia papan, –pent.), mereka melepas kain tersebut sehingga dengan cara ini jenazah tetap tertutup.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 211)

 

MENGELUARKAN JANIN YANG MASIH HIDUP KETIKA SANG IBU WAFAT

Tanya:

Apakah boleh membedah perut wanita yang meninggal untuk mengeluarkan kandungannya yang masih hidup?

Dijawab oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah:

Hal itu boleh karena adanya maslahat dan tidak adanya mafsadat. Perbuatan ini tidak teranggap mencacati mayat. Sungguh saya pernah ditanya tentang wanita yang meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup; apakah boleh perutnya dibedah dan janinnya dikeluarkan, atau tidak.

Jawaban saya, telah diketahui pendapat ash-hab (para ulama mazhab) rahimahumullah. Mereka berpendapat, apabila seorang wanita hamil meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup, haram membedah perutnya. Hendaknya para wanita mengeluarkan janin tersebut dengan obat-obatan dan memasukkan tangan untuk mengambil janin yang diharapkan hidupnya. Apabila hal ini tidak bisa dilakukan, mayat tersebut tidak boleh dikubur sampai janin yang di perutnya tadi meninggal. Apabila sebagian tubuh janin telah keluar dalam keadaan hidup, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang tersisa.

Ini pendapat para fuqaha (ahli fikih) yang dibangun di atas pendapat bahwa membedah perut mayat termasuk mencacati mayat. Hukum asalnya adalah haram mencacati mayat, kecuali jika ada maslahat yang kuat dan bisa direalisasikan. Maksudnya, apabila sebagian tubuh janin telah keluar, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang masih di dalam. Sebab, hal itu mengandung maslahat bagi sang bayi. Apabila perut ibunya tidak dibedah, akan menimbulkan mafsadat berupa kematian sang bayi. Penjagaan bagi orang yang masih hidup lebih besar daripada penjagaan bagi orang yang telah mati.

Akan tetapi, pada masa belakangan ini, ketika ilmu bedah telah berkembang, pembedahan perut atau anggota tubuh yang lain tidak dianggap sebagai perbuatan mencacati tubuh. Mereka (para ahli bedah) melakukannya kepada orang hidup dengan keridhaannya dan dengan keinginannya untuk menempuh berbagai cara pengobatan.

Oleh karena itu, apabila para fuqaha melihat keadaan ini, besar kemungkinan bahwa mereka akan menghukumi bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup, khususnya apabila kehamilan telah sempurna, dan dipastikan atau besar kemungkinan bahwa bayi yang dikeluarkan tersebut selamat. Alasan mereka dengan bolehnya mencacati mayat (ketika ada maslahat) menunjukkan hal ini.

Termasuk perkara yang menunjukkan bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup adalah (kaidah) apabila berbenturan beberapa maslahat dan beberapa mafsadat, didahulukan maslahat yang paling besar dan dilakukan mafsadat yang paling ringan. Sesungguhnya keselamatan perut dari pembedahan adalah maslahat, tetapi keselamatan dan kehidupan anak adalah maslahat yang lebih besar. Demikian juga membedah perut adalah mafsadat, tetapi membiarkan anak yang masih hidup tercekik di perut ibunya hingga meninggal adalah mafsadat yang lebih besar. Jadi, membedah (perut) adalah mafsadat yang lebih ringan.

Kemudian, kita kembali, dan kita katakan bahwa membedah perut pada masa ini tidak dianggap sebagai tindakan mencacati tubuh, tidak pula dianggap sebagai mafsadat. Maka dari itu, tidak tersisa sedikit pun alasan yang menghalangi dikeluarkannya bayi tersebut secara keseluruhan. Wallahu a’lam.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 213)

Sumber Tulisan:
Fatwa Wanita Edisi 16