Haid atau Nifas Berhenti pada Siang Hari Ramadhan
Tanya:
Pada bulan Ramadhan, seorang wanita mengalami haid atau berada di akhir masa nifas. Pada suatu hari di bulan tersebut, dia suci setelah terbit fajar. Apakah dia harus menyempurnakan puasa pada hari itu atau tidak? Apa yang harus dia lakukan apabila dia mandi dan mulai berpuasa, kemudian tampak darah setelah selesai masa kebiasaannya haid atau nifas? Apakah dia harus memutus puasanya, atau hal itu tidak berpengaruh baginya?
Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah:
Untuk poin pertama dalam pertanyaan, yaitu apabila seorang wanita telah selesai haid atau nifas di tengah hari Ramadhan, jawabannya adalah dia mandi lalu mengerjakan shalat dan berpuasa pada sisa hari tersebut. Kemudian, dia mengqadha (mengganti) puasa hari tersebut pada hari yang lain (di luar Ramadhan). Ini yang wajib baginya.
Adapun untuk poin kedua dalam pertanyaan, yaitu apabila darah haidnya telah berhenti keluar, lalu dia mandi dan kemudian melihat darah, jawabannya adalah dia tidak perlu menghiraukan darah tersebut. Hal ini berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha,
كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Dahulu kami tidak pernah menganggap cairan keruh atau cairan kuning yang keluar setelah suci sebagai bagian dari haid sedikit pun.” (HR. Abu Dawud dan selainnya)
Jadi, dia tidak perlu menghiraukan darah tersebut.
Terkait dengan wanita yang nifas, apabila darahnya berhenti keluar sebelum hari keempat puluh, kemudian dia mandi lalu darah itu keluar lagi, dalam hal ini dia teranggap masih nifas. Darah yang keluar lagi ini teranggap darah nifas. Tidak sah puasa dan shalat yang dikerjakan selama darah itu masih ada. Sebab, darah itu keluar pada masa nifas.
Adapun apabila nifasnya telah genap empat puluh hari, lalu dia mandi dan kemudian darah keluar lagi, dia tidak perlu menghiraukan darah tersebut. Akan tetapi, apabila keluarnya darah tersebut bertepatan dengan masa kebiasaan haidnya sebelum nifas, dia teranggap haid.
Kesimpulannya, masalah ini harus diperinci.
)Fatawa al-Mar’ah hlm. 171)
Menggauli Istri Ketika Safar pada Siang Hari Bulan Ramadhan
Tanya:
Sesungguhnya Allah membolehkan berbuka bagi musafir. Apabila seorang pria pergi bersama keluarganya lalu menggauli istrinya pada siang hari (Ramadhan), apa hukum syar’i terhadapnya? Berilah kami faedah. Jazakumullahu khairan (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan). Kami mengharapkan faedah Anda dan sabar menantinya.
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Apabila dia musafir dengan safar qashar (safar yang di dalamnya seseorang boleh mengqashar shalat) dan bukan safar yang maksiat, boleh baginya berbuka pada siang hari Ramadhan. Hal itu ditunjukkan oleh al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’. Bahkan, menurut sebagian ulama, dia tidak boleh berpuasa walaupun puasa Ramadhan. Nash-nash dari al-Kitab dan as-Sunnah menunjukkan bolehnya berbuka dengan sebab safar. Tidak ada perbedaan dalam hal pembatal yang dia lakukan, apakah makan, minum, atau jima’. Dia boleh melakukan semuanya tanpa ada perbedaan. Dalam kondisi demikian, tidak ada kewajiban apa pun bagi pria yang berjima’ sebagaimana dalam pertanyaan.
Bahkan, ada masalah yang lebih besar. Apabila dia berpuasa dalam safarnya kemudian berjima’, puasanya saja yang batal. Tidak ada kafarat baginya karena jima’ yang dia lakukan. Sebab, dia dihukumi berbuka ketika berniat untuk jima’. Jima’nya tidak dilakukan ketika dia berpuasa karena dia telah dianggap berbuka dengan sebab niatnya untuk melakukan jima’.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 179)
Wanita Keluar ke Masjid dalam Keadaan Berhias
Tanya:
Sebagian wanita pergi ke masjid dalam keadaan berhias sempurna. Mereka beralasan akan mengunjungi kerabat atau teman setelah shalat. Sebagian dari mereka keluar dalam keadaan memakai minyak wangi, dan sebagian yang lain membawa bakhur (dupa wangi) ke masjid. Apa hukum perbuatan tersebut?
Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah:
Wanita tidak boleh keluar dari rumahnya dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi. Sama saja apakah dia keluar untuk shalat di masjid atau untuk mengunjungi kerabatnya. Sebab, perbuatannya ini mengandung fitnah. Dia hanya boleh keluar dengan pakaian yang menutup aurat, tidak ada hiasannya, dan tidak dipakaikan padanya wewangian.
Adapun membawa bakhur untuk mengharumkan masjid, hal ini tidak apa-apa. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membersihkan masjid dan memberinya wewangian. Akan tetapi, wanita tidak boleh memakai bakhur di masjid karena mereka dilarang memakai wewangian ketika keluar dari rumah. Sama saja apakah mereka memakainya di rumah sebelum keluar, di perjalanan, atau di masjid. Wallahu a’lam. Akan tetapi, boleh mengharumkan tempat shalat mereka di masjid dengan bakhur atau wewangian lainnya.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 275)
Wanita Keluar untuk Shalat Tarawih dengan Memakai Bakhur
Tanya:
Apakah wanita boleh keluar untuk shalat tarawih dengan memakai bakhur saja tanpa minyak wangi?
Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah:
Apabila wanita keluar ke pasar, atau untuk shalat tarawih, atau ke tempat lainnya, dia tidak boleh memakai wewangian, baik berupa bakhur, minyak, maupun jenis wewangian lainnya.
Telah tsabit (pasti) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا صَلَاةَ الْعِشَاءِ
“Siapa pun wanita yang memakai bakhur, janganlah dia mengikuti shalat isya bersama kami.”
Pada kesempatan ini saya ingin memberikan peringatan tentang satu hal terkait dengan sebagian wanita yang hadir ke masjid pada bulan Ramadhan. Mereka datang dengan membawa pedupaan dan kayu gaharu. Mereka membakar kayu tersebut di dalam masjid sehingga wanginya melekat pada mereka. Apabila mereka keluar ke pasar, tercium aroma wangi dari mereka. Ini menyelisihi perkara yang disyariatkan bagi mereka.
Memang wanita boleh datang dengan membawa pedupaan, tetapi untuk mengharumkan masjid saja tanpa mereka ikut menggunakannya. Adapun wanita ikut menggunakannya, tidak boleh.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 277)
Istri Membayar Zakat kepada Suami
Tanya:
Apakah boleh seorang wanita membayarkan zakat perhiasannya kepada suaminya? Ketahuilah, suami tersebut seorang pegawai dengan gaji sekitar 4.000 real, tetapi memiliki utang sebesar 30.000 real.
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah :
Tidak mengapa seorang wanita membayarkan zakat perhiasan atau zakat selain perhiasannya kepada suaminya apabila si suami fakir atau berutang dan tidak mampu melunasinya. Ini menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, berdasarkan keumuman dalil. Di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin….” (at-Taubah: 60)
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 163)
Suami Membayarkan Zakat Harta Istri
Tanya:
Apakah boleh suami saya membayarkan zakat mal (harta) saya? Ketahuilah, dialah yang telah memberi saya harta tersebut. Apakah boleh membayarkan zakat ke putra saudari saya yang janda? Dia adalah pemuda yang sudah berpikir untuk menikah. Berilah saya faedah.
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah :
Zakat harta Anda adalah kewajiban Anda apabila Anda memiliki emas, perak, atau harta-harta zakat lainnya yang telah mencapai nishab atau lebih. Apabila suami Anda mengeluarkan zakat tersebut dengan izin Anda, hal itu tidak mengapa. Demikian pula apabila zakat harta Anda dikeluarkan oleh bapak Anda, saudara Anda, atau selain keduanya dengan izin Anda, hal itu tidak mengapa.
Boleh memberikan zakat kepada putra saudari Anda untuk menolongnya menikah apabila dia tidak mampu menanggung biayanya.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 163)
Membayar Zakat kepada Ibu
Tanya:
Apakah boleh seseorang mengeluarkan zakat dan memberikannya kepada ibunya?
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah :
Tidak boleh seorang muslim membayarkan zakatnya kepada kedua orang tuanya atau kepada anak-anaknya. Bahkan, dia wajib menafkahi mereka dari hartanya jika mereka membutuhkannya dan dia mampu memberikan nafkah tersebut kepada mereka.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 163)
Membayar Zakat kepada Anak Perempuan yang Telah Menikah
Tanya:
Apakah sah mengeluarkan zakat kepada anak perempuan yang sudah menikah tetapi membutuhkan?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah :
Pada asalnya, boleh memberikan zakat kepada setiap orang yang memiliki sifat berhak mendapatkan zakat. Atas dasar ini, seseorang tidak boleh membayarkan zakat kepada putrinya dan anak-anak putrinya. Yang lebih utama, lebih hati-hati, dan lebih bisa menghilangkan tanggungan adalah dia membayarkannya kepada suami putrinya.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 164)
Wanita Menerima Zakat dari Saudaranya, Bolehkah?
Tanya:
Apabila seseorang memiliki saudari kandung yang telah menikah dengan suami yang fakir, apakah boleh wanita ini mengambil zakat saudara-saudaranya?
Dijawab oleh al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’:
Menafkahi istri adalah kewajiban suaminya. Apabila si suami fakir, saudara-saudara istrinya boleh memberikan zakat harta mereka kepada saudari mereka ini agar dia menafkahi dirinya, suaminya yang fakir, dan anak-anaknya. Bahkan, jika si istri memiliki harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, dia boleh memberikan zakat hartanya kepada suaminya agar si suami bisa menafkahi orang-orang yang ada dalam tanggungannya.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 164)
Membelanjakan Harta untuk Membeli Pakaian dan Perhiasan yang Banyak
Tanya:
Dengan beralasan bahwa Allah cinta melihat bekas nikmat-Nya pada hamba-Nya, sebagian wanita membelanjakan banyak harta untuk membeli pakaian dan perhiasan. Apa pendapat Anda tentang masalah ini?
Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah:
Barang siapa diberi rezeki oleh Allah berupa harta yang halal, sungguh Allah telah memberinya kenikmatan yang wajib dia syukuri. Dia bersyukur dengan cara menyedekahkannya, memakannya, dan berpakaian tanpa sikap melampaui batas dan sombong.
Perbuatan yang dilakukan sebagian wanita tersebut, yaitu berlebih-lebihan dalam membeli pakaian yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, dalam rangka berbangga-bangga dan memamerkannya, adalah tindakan pemborosan dan menyia-nyiakan harta. Wajib bagi seorang muslimah bersikap tengah-tengah dalam masalah pakaian. Wajib pula baginya menjauhi perbuatan memamerkan perhiasan dan berlebihan dalam berhias, khususnya ketika keluar dari rumah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ
“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu.” (al-Ahzab:33)
Allah juga berfirman,
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan padangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya.” Sampai pada firman-Nya,
وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (an-Nur: 31)
Harta-harta ini, kelak kita akan ditanya dari mana kita mendapatkannya dan ke mana kita membelanjakannya.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 273)
Shalat dengan Lengan atau Kaki yang Tampak, Sahkah?
Tanya:
Banyak wanita yang bermudah-mudah dalam shalatnya sehingga tampak seluruh atau sebagian lengannya, kakinya, bahkan terkadang betisnya. Apakah shalatnya sah ketika itu?
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:
Wanita merdeka yang sudah mukallaf wajib menutup seluruh badannya ketika shalat, kecuali wajah dan telapak tangan. Sebab, dia adalah aurat seluruhnya. Apabila dia shalat dan tampak sebagian auratnya, seperti betis, telapak kaki, kepala, atau sebagian kepala, shalatnya tidak sah. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak akan menerima shalat seorang wanita yang telah mengalami haid, kecuali apabila ia memakai kerudung.” (HR. al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan, kecuali an-Nasa’i, dengan sanad yang shahih)
Yang dimaksud dengan ha’idh (wanita yang telah haid) di sini adalah wanita yang sudah balig. Hal ini berdasarkan sabda Nabi,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita adalah aurat.”
dan berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud radhiyallahu ‘anhu dari Ummu Salamah bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita yang shalat dengan pakaian rumah dan kerudung tanpa jubah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا
“(Boleh) jika pakaian tersebut luas dan menutupi punggung telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Bulughul Maram, “Para imam menyatakan shahih bahwa hadits tersebut mauquf sampai Ummu Salamah. Apabila di sisinya ada pria asing (bukan mahram), si wanita wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya.”
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 101)
Hukum Melepas Celana Ketika Hendak Shalat
Tanya:
Apakah ada hukum syar’i yang memerintah wanita untuk melepas celana ketika dia hendak shalat? Ketahuilah, dia telah memakai jubah, dan celana itu suci. Apabila hal tersebut dari syariat, apa rahasia di baliknya?
Dijawab oleh al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’:
Tidak ada dalil syar’i yang menuntut seorang wanita dan selainnya untuk melepas celana ketika hendak shalat apabila celana tersebut suci.
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 101)
Bolehkah Shalat dengan Pakaian yang Terkena Najis (Dalam Kondisi Darurat)?
Tanya:
Saat seorang wanita dalam keadaan safar di pesawat, pakaiannya terkena najis dari anaknya yang masih kecil. Tidak memungkinkan baginya berganti pakaian karena pakaiannya yang lain berada di bagasi pesawat. Apakah dia mengerjakan shalat dengan pakaian yang terkena najis ataukah sabar hingga di darat, berganti baju, lalu shalat? Ketahuilah bahwa dia tidak mengerjakan shalat kecuali setelah keluar dari waktunya.
Dijawab oleh al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’:
Wajib baginya mengerjakan shalat pada waktunya walaupun dengan pakaian yang terkena najis. Dia mendapat udzur karena tidak memiliki kemampuan untuk mencucinya atau berganti baju. Tidak ada kewajiban baginya untuk mengulang (shalat), berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, “Apa saja yang kuperintahkan kepada kalian, lakukanlah semampu kalian; dan apa saja yang kularang kalian darinya, tinggalkanlah!” (Muttafaqun ‘alaih)
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 103)